Lian Hearn Kisah Klan Otori Across The Nightingale Download Ebook Jar Lainnya Di http://zheraf.wapamp.com http://www.zheraf.net SATU IBUKU selalu mengancam akan mencabik-cabik aku menjadi delapan bila aku menjatuhkan ember, atau aku pura-pura tidak mendengar panggilannya untuk segera pulang saat hari telah senja dan teriakan jangkrik kian meninggi. Suara ibuku yang berat dan galak bergema di bukit yang sunyi ini. "Ke mana saja anak celaka itu? Akan kucabik-cabik dia bila kembali." Tapi ketika aku tiba di rumah dengan badan kotor setelah meluncur dari bukit, atau memar karena berkelahi, atau luka di kepala karena terkena batu (bekas lukanya sebesar ibu jari dan berwarna keperakan) dia tidak mencabik-cabikku. Aku bahkan disambut dengan kehangatan api tungku dan juga keharuman sayur sop. Lalu, dia akan berusaha untuk memelukku, membersihkan wajahku atau merapikan rambutku, sedangkan aku selalu berusaha menghindar. Ibuku rajin dan kuat, dan juga masih muda: dia melahirkanku sebelum berumur tujuh belas tahun. Saat dia memelukku, nampak sekali kemiripan kulit kami, namun dalam hal lain, kami tidak mirip. Ibuku lebih tenang, sedangkan aku, menurut orang di desaku (di Mino yang terpencil ini belum ada cermin) lebih halus. Dia selalu menang bergulat dan akhirnya aku pun pasrah dalam pelukannya. Lalu ibuku akan membisikkan kata-kata pemberkatan pada Sang Hidden. Sedangkan ayah tiriku hanya bersungut-sungut saat melihat aku dimanjakan. Kedua adik tiriku yang masih gadis kecil akan melompat kegirangan untuk berbagi pelukan dan juga pemberkatan. Jadi, kurasa, semua itu hanya gaya bicara ibuku. Mino adalah tempat yang damai, letaknya yang terpencil membuat desaku ini tidak tersentuh oleh perang antar klan. Tidak pernah terbayangkan kalau laki-laki dan perempuan di Mino akan dicabik-cabik menjadi delapan, atau kaki mereka terenggut dari sendinya lalu dilempar ke anjing lapar. Besar di lingkungan kaum Hidden membuatku tak pernah membayangkan orang dapat melakukan hal sekejam itu pada orang lain. Ketika umurku beranjak lima belas tahun, ibuku mulai kehilangan saat-saat untuk bergulat denganku. Aku tumbuh enam inci setiap tahun, dan ketika aku berumur enam belas tahun, aku sudah lebih tinggi dari ayah tiriku. Dia lebih sering menggerutu, baginya aku seharusnya berhenti berkeliaran di gunung seperti monyet liar, dan segera menikah. Aku tidak keberatan untuk menikah dengan gadis di desaku, dan bekerja lebih keras selama musim panas agar aku mendapatkan kedudukan. Tapi aku sulit menahan godaan untuk pergi ke gunung. Suatu sore, aku menyelinap pergi melalui rimbunan bambu yang tinggi, berbatang licin dan berdaun hijau, lalu aku mulai menapaki jalan berbatu ke kuil dewa gunung, tempat penduduk desa meninggalkan sesajen berupa padi dan jeruk, tempat beberapa burung perkutut dan burung bul-bul bernyanyi riang, tempat aku memandang musang dan kijang sambil mendengarkan jeritan pilu burung elang di atas kepalaku. Senja itu aku sedang berada di gunung, teparnya di tempat jamur tumbuh dengan subur. Aku penuhi kantongku dengan jamur putih kecil mirip kapas, dan jamur jingga gelap mirip kipas. Ibuku pasti senang kalau melihat jamur yang kubawa, walaupun ayah tiriku pasti marah. Seakan aku sudah dapat merasakan kelezatan jamur-jamur ini. Ketika berlari menerobos pohon bambu dan muncul di sawah, di mana bunga lili merah musim gugur bermekaran, aku mencium bau hangus. Aku mendengar gonggongan anjing, seperti yang biasa mereka lakukan bila hari beranjak malam. Bau itu semakin kuat dan sangit. Ada beberapa pertanda yang membuat jantungku berdebar. Ada kebakaran. Kebakaran sering terjadi di desaku karena hampir semua rumah terbuat dari kayu atau jerami. Tapi, kali ini tidak ada teriakan atau bunyi ember yang dialihkan dari tangan ke tangan, atau suara tangisan dan sumpah serapah. Jangkrik tetap bernyanyi dengan nyaring seperti biasa; kodok pun seakan memanggil dari sawah. Di kejauhan, aku mendengar gemuruh guntur yang bergema di gunung. Udara terasa padat dan lembab. Keringat dingin menetes di keningku. Aku melompat saat melintasi selokan yang ada di ladang yang bertingkat-tingkat, lalu aku memandang ke bawah, ke arah rumah. Rumahku hilang. Aku mendekat. Kobaran api menjalar dan menjilati balok kayu. Tidak ada tanda-tanda keberadaan ibu atau adikku. Aku berusaha memanggil, namun lidahku terasa kelu. Asap tebal yang menyelimuti tubuhku membuat penglihatanku menjadi kabur. Seluruh desa terbakar, tapi ke mana penduduk desa pergi? Kemudian aku mendengar jeritan. Jeritan itu berasal dari kuil, tempat sebagian besar rumah berkumpul. Jeritan itu mirip lolongan anjing yang kesakitan, kecuali lolongan itu mampu menyuarakan bahasa manusia. Ketika sadar kalau itu adalah doa kaum Hidden, bulu kudukku berdiri. Dengan menyelinap bak hantu di antara rumah-rumah yang terbakar, aku berjalan ke asal suara. Desaku kini menjadi sunyi senyap. Tak dapat kubayangkan ke mana penduduk desa pergi. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa mereka telah menyelamatkan diri: ibu telah membawa adik-adikku ke tempat yang aman. Tak lama lagi aku akan bertemu mereka, setelah mencari asal suara tadi. Namun, saat bergegas melewati jalan setapak ke jalan utama, aku melihat ada dua orang terbaring di tanah. Rintik hujan membasahi wajah mereka yang nampak kaget, seakan tidak mengerti mengapa mereka terbaring di bawah rintik hujan. Mereka tak akan bangun lagi, jadi bukan masalah bila pakaian mereka basah. Salah seorang di antaranya adalah ayah tiriku. Seketika dunia terasa berubah. Kabut merebak di mataku dan saat kutepis, semua nampak tidak nyata. Aku merasa seperti telah melintasi dunia lain, dunia yang berada di sisi dunia tempat kita tinggal, dunia yang hanya kita kunjungi di saat kita sedang bermimpi. Ayah tiriku memakai pakaiannya yang terbaik. Pakaian berwarna nila yang kini nampak lebih gelap karena basah air hujan dan darah. Aku sedih melihat pakaiannya rusak karena aku tahu dia bangga sekali memakai pakaian itu. Aku langkahi mayat-mayat itu, melewati pintu kuil. Rintik hujan yang membasahi wajahku terasa sangat dingin. Jeritan tadi tiba-tiba berhenti. Di dalam kuil aku melihat ada beberapa orang yang tidak aku kenal. Mereka seakan-akan sedang berpesta. Mereka memakai ikat kepala; pakaian luar dan perlengkapan perang mereka berkilauan terkena keringat dan air hujan. Mereka terengah-engah dan menggerutu, lalu tertawa lebar hingga terlihat gigi mereka yang putih, seakan membunuh adalah kerja keras layaknya membawa beras hasil panen. Air mengalir dari pancuran tempat orang membasuh tangan dan mulut untuk menyucikan diri sebelum masuk ke kuil. Biasanya selalu ada orang yang membakar dupa di ketel besar. Sisa dupa masih tergeletak, meskipun baunya terhalang oleh pahitnya bau darah. Ada seseorang yang terbaring dalam keadaan tercabik-cabik di atas batu yang basah. Aku masih bisa mengenali orang itu walaupun kepalanya telah remuk. Dia adalah Isao, pemimpin kaum Hidden. Mulutnya menganga, kaku dalam geliatan rasa sakit. Para pembunuh menggantung pakaian luar mereka di tiang yang terpancang rapi di pilar. Dapat kulihat jelas lambang tiga daun oak. Simbol klan Tohan, klan yang beribukota di Inuyama. Aku teringat pada seorang pedagang yang datang ke desa kami pada akhir bulan ketujuh. Dia menginap di rumah kami. Waktu ibuku membaca doa sebelum makan, dia mengatakan. Apakah kalian tidak tahu bahwa Tohan sangat membenci orang Hidden, dan mereka berencana menyerang kalian? Lord Iida telah bersumpah akan membasmi kalian," bisiknya. Keesokan hari, kedua orangtuaku menyampaikan berita itu pada Isao, namun tak seorang pun percaya. Desa kami jauh dari ibukota klan, dan kami tidak pernah terlibat dalam pertikaian antar klan. Kaum Hidden hidup saling tolong-menolong, melihat hal yang sama, bertindak serupa, kecuali saat berdoa. Lalu mengapa ada yang hendak mencelakai kami? Sungguh sulit untuk dipahami. Dan masih saja aku belum memahaminya saat aku berdiri di sini, membeku di dekat pancuran. Air mengalir dan mengalir, ingin rasanya kubasuh darah di wajah Isao dan menutup mulutnya, namun aku tak mampu bergerak. Aku sadar kalau orang-orang Tohan itu akan kembali. Pandangan mereka bisa membuat aku lemah, lalu mereka akan mencabik-cabik diriku. Mereka tidak memiliki belas kasihan. Mereka telah dirasuki oleh kematian setelah mereka berani membunuh orang di dalam kuil. Di kejauhan aku mendengar derap langkah kuda dengan jelas dan tajam. Aku masih seperti bermimpi saat kuda itu kian mendekat. Aku tahu siapa yang akan kulihat, dia ada di gerbang kuil. Aku belum pernah melihat orang itu, tapi ibuku selalu menyebut namanya bila hendak menakuti-nakuti kami: jangan berkeliaran di gunung, jangan bermain di sungai, atau lida akan menangkapmu! Aku langsung tahu kalau dia adalah Iida Sadamu, pemimpin klan Tohan. Kuda itu menendang dan meringkik karena bau darah. Iida tetap duduk kaku di atas kuda seakan-akan dia terbuat dari besi. Dia memakai pakaian zirah hitam dari kepala hingga kaki, dan pelindung kepalanya berhiaskan tanduk rusa. Ada janggut hitam di bawah mulutnya yang terlihat sangat kejam. Matanya menyala, bagaikan sedang berburu rusa. Pandangan kami bertemu. Sekilas saja aku tahu dua hal tentang dirinya: pertama, tak ada satu pun yang dapat membuat dia takut; kedua, dia gemar membunuh hanya untuk bersenang-senang. Saat ini dia sedang memandangku seakan aku tidak ada harapan lagi. Dia menghunus pedang. Satu-satunya yang menolongku yaitu keengganan kudanya untuk melewati gerbang kuil. Kuda itu meringkik dan menendang. Iida lalu berteriak. Pengawalnya yang ada di dalam kuil berbalik dan melihat ke arahku, berteriak dalam aksen Tohan yang kasar. Kuraih batang dupa, tidak sadar kalau bara dupa itu membakar tanganku, lalu aku berlari melewati gerbang. Saat kuda Iida mendekat dengan ragu, aku langsung menikam kuda itu dengan batang dupa. Kuda itu menyepak ke arahku, kakinya yang besar menebas pipiku. Aku mendengar desis pedang di udara. Pengawal Tohan telah mengelilingiku. Di saat aku sudah tidak mungkin lagi lolos lagi, tiba-tiba aku merasa seakan tubuhku terpisah menjadi dua. Pedang Iida menebas ke arahku, namun belum menyentuh tubuhku. Aku terjang kudanya. Kuda itu melenguh kesakitan. Iida, yang hilang keseimbangan karena tebasannya meleset, terjatuh dari kudanya. Kejadian ini membuatku semakin takut dan panik. Aku telah menyebabkan pemimpin Tohan itu terjatuh dari kudanya. Tak ada siksaan maupun derita yang dapat memaaflcan perbuatanku itu. Seharusnya aku langsung menyembah dan memohon dia untuk membunuhku, tapi aku belum mau mati. Seperti ada yang mengatakan kalau dia yang akan mati lebih dulu. Aku tak tahu tentang perang antar klan, tidak juga hukum dan permusuhan di antara mereka. Aku menghabiskan hidupku di antara kaum Hidden, tempat di mana kami diajarkan untuk saling memaafkan dan dilarang membunuh. Tapi dalam sekejap, Balas Dendam telah merasuk ke dalam hatiku. Aku tendang orang yang ada di dekatku, di antara dua kakinya, lalu kugigit tangan orang yang memegang pergelangan tanganku, kemudian aku menerobos keluar dari kepungan dan berlari ke hutan. Ada tiga orang yang mengejarku. Mereka tinggi besar dan larinya pun lebih kencang, tapi aku diunt ungkan karena lebih mengenal daerah ini, dan hari yang semakin gelap. Hujan lebat membuat jalan setapak ke hutan menjadi licin. Dua orang di antara mereka terus berteriak, menyumpah dan mengancamku dalam hahasa yang hanya bisa kutebak, sedangkan orang yang ketiga mengejar tanpa bersuara, dan dialah yang paling aku takuti. Dua orang itu bisa saja berbalik pulang dan melaporkan bahwa aku hilang di pegunungan, namun orang yang satu ini tak akan menyerah. Dia akan terus mengejar hingga berhasil membunuhku. Sampai di jalan setapak yang mendaki, tidak jauh dari air terjun, kedua orang yang selalu berteriak larinya mulai pelan, sedangkan orang yang ketiga justru mengejar semakin cepat. Kami melewati kuil; seekor burung yang sedang mematuk biji-bijian langsung terbang tinggi dengan warna putih kehijauan di sayapnya karena kaget. Jalan yang kulewati agak menikung mengitari pohon cedar raksasa. Saat aku berlari melewati pohon itu sambil menangis, tiba-tiba ada orang yang muncul di depanku. Dia menghadang tepat di jalan setapak yang kulalui. Aku tetap berlari ke arah orang itu. Dia menggerutu seolah-olah aku menghalangi jalannya, dan dia langsung menangkapku. Dia mengamati wajahku, dan aku melihat matanya bersinar: dia nampak kaget, seakan dia mengenaliku. Apa pun alasannya, dia memegangku semakin erat. Kini aku tak mungkin lagi lolos. Orang Tohan yang mengejarku berhenti, dan kedua temannya muncul dari belakang dengan terengah-engah. "Maaf, tuan," kata orang yang paling kutakuti, suaranya tegas. "Kau telah menangkap penjahat yang sedang kami kejar." Orang yang memegangku memutar diriku sehingga aku langsung berhadapan dengan para pengejarku. Ingin rasanya aku menangis, memohon kepadanya, tapi aku tahu itu tak berguna. Pakaian orang ini halus, tangannya pun lembut. Dia pasti seorang bangsawan, seperti Iida. Dia tidak akan menolongku. Aku diam, sambil mengingat-ingat doa yang pernah ibuku ajarkan, berdoa agar aku bisa menjadi burung. "Apa yang penjahat ini lakukan?" tanya orang yang memegangku. Orang yang berada di depanku berwajah panjang, mirip serigala. "Maaf, tuan," dia berkata lagi, kesopanannya mulai berkurang. "Ini bukan urusanmu. Ini urusan Iida Sadamu dan klan Tohan," lanjutnya. "Uuuuh." gerutu sang bangsawan. "Apa benar? Dan siapa kau yang berani menentukan apa yang menjadi urusanku atau bukan?" "Serahkan saja dia!" laki-laki berwajah serigala itu berkata dengan geram, kesopanannya kini sudah benar-benar hilang. Saat sang bangsawan melangkah maju, aku langsung sadar kalau dia tak akan menyerahkanku. Dengan gerakan lembut dia memutarku ke belakang punggungnya lalu melepasku. Dan untuk kedua kalinya, aku mendengar desis pedang petarung, seakan pedang adalah penyelamat. Si wajah serigala mencabut sebilah belati. Dua orang lainnya menggenggam tongkat. Sang bangsawan menggenggam pedang dengan kedua tangannya, mengelak dari pukulan tongkat, dan memenggal kepala salah seorang yang memegang tongkat. Lalu dengan secepat kilat dia dekati si wajah serigala dan menebas tangan kanan orang itu yang sedang memegang belati. Semua itu terjadi dalam sekejap. Terjadi di saat remang-remang dan rintik hujan, meskipun kupejamkan mata, tetap saja dapat kulihat kejadian itu secara rinci. Kepala yang telah terlepas dari badan itu menggelinding di lereng bukit dengan darah yang masih menyembur. Orang yang ketiga menjatuhkan tongkatnya, lalu lari sambil berteriak minta tolong. Si wajah serigala berlutut, berusaha menahan darah yang keluar dari sisa lengannya yang tertebas. Dia tidak mengerang atau pun bicara. Sang bangsawan membersihkan pedangnya, lalu dia masukkan ke dalam sarung yang melekat di sabuknya. "Mari," katanya padaku. Aku berdiri dalam keadaan gemetar, tak mampu bergerak. Orang ini muncul entah dari mana. Dia telah membunuh demi menolong diriku. Aku menyembah, berusaha mencari kata yang tepat untuk mengucapkan terima kasih padanya. "Bangunlah" katanya. ""Tidak lama lagi mereka akan datang mengejar." "Aku tak bisa pergi," aku berusaha bicara. "Aku harus mencari ibuku." "Jangan sekarang. Kita harus segera pergi!" Dia menarikku berdiri, dan menyuruhku bergegas. "Apa yang terjadi di bawah sana?" "Mereka membakar desa dan membunuh... " Aku teringat ayah tiriku sehingga aku tidak mampu meneruskan ucapanku. "Hidden?" "Ya," bisikku. "Ini terjadi di mana-mana. Iida membantai kaum Hidden. Kurasa kau salah seorang dari mereka?" "Ya." Aku menggigil kedinginan. Meskipun saat ini musim panas dan air hujan terasa hangat, tapi belum pernah aku kedinginan seperti sekarang ini. "Bukan hanya itu alasan mereka mengejarku. Aku menyebabkan Lord Iida terjatuh dari kuda." Aku kagum saat melihat sang bangsawan tertawa. "Kejadian itu patut dilihat! Tapi juga menempatkan dirimu dalam bahaya. Penghinaan yang kau lakukan membuatnya ingin membunuhmu. Tapi kau aman bersamaku. Tak akan kubiarkan Iida mengambilmu." "Kau telah selamatkan aku," ujarku. "Sejak saat ini, hidupku adalah milikmu." Entah mengapa, dia tertawa lagi. "Kita terpaksa melakukan perjalanan jauh dalam keadaan lapar dan pakaian yang basah. Kita harus keluar dari wilayah ini sebelum fajar, sebelum mereka datang mengejar." Langkahnya begitu cepat sehingga aku terpaksa berlari sambil berharap kakiku tidak gemetar. Aku tak tahu siapa dia, namun aku ingin dia bangga dan tidak menyesal telah menyelamatkanku. "Namaku Otori Shigeru," dia berkata ketika jalan mulai menanjak. "Dari klan Otori di Hagi. Tapi, selama perjalanan ini aku tidak memakai nama itu, jadi jangan menyebut namaku." Hagi bagiku sama jauhnya seperti ke bulan, dan meskipun pernah mendengar tentang Otori, tapi aku tidak tahu apa-apa, selain mereka pernah dikalahkan Tohan dalam pertempuran dahsyat sepuluh tahun lalu di Yaegahara. "Siapa namamu, nak?" "Tomasu." "Nama yang umum di kalangan kaum Hidden. Sebaiknya kau ganti." Dia tak berbicara apa pun selama beberapa lama, dan dalam gelap, dia berkata singkat. "Kau kuberi nama Takeo." Demikianlah, di antara air terjun dan puncak gunung, aku kehilangan namaku dan menjadi orang baru, dan menyatukan takdirku dengan Otori. Fajar menghampiri kami yang kedinginan dan kelaparan ketika tiba di Hinode. Desa ini terkenal dengan sumber air panasnya. Kini aku sudah jauh dari rumah, dan belum pernah aku sejauh ini. Aku pernah mendengar tentang Hinode dari cerita teman-temanku di desa: laki-lakinya sangat licik dan wanitanya panas seperti sumber air panas yang ada di desa ini. Namun aku belum pernah membuktikan kebenarannya. Di tempat ini hanya ada satu wanita yang kutemui, isteri penjaga penginapan yang menyediakan makan. Aku malu pada penampilanku saat ini, dalam balutan pakaian usang yang penuh tambalan, sulit untuk mengatakan warna aslinya, kotor dan juga penuh noda darah. Aku kaget ketika Lord Otori menyuruhku tidur sekamar dengannya. Aku mengira dia akan menyuruhku tidur di istal, tapi tampaknya dia tak ingin aku jauh darinya. Dia menyuruh wanita di penginapan untuk mencucikan bajuku, dan mengantarku ke tempat pemandian air panas untuk membersihkan diri. Sewaktu kembali ke kamar, dalam keadaan mengantuk karena pengaruh air panas dan juga karena kurang tidur, sarapan pagi telah tersedia. Lord Otori yang sedang makan memberi isyarat padaku untuk bergabung. Aku berlutut di lantai dan membaca doa sebelum makan. "Jangan takukan itu lagi," Lord Otori mengatakan dengan mulutnya yang penuh nasi dan acar. "Tak juga di saat kau sendiri. Kalau ingin tetap hidup, kau harus melupakan sebagian dari hidupmu. Itu semua telah berakhir." Dia menelan kemudian mengambil makanan lainnya untuk dimasukkan ke mulutnya. "Ada banyak alasan yang lebih pantas untuk mati." Menurutku, orang yang beriman harus berdoa. Aku yakin orang-orang di desaku berdoa sebelum mati. Saat aku teringat tatapan mata mereka yang kosong dan juga kaget, aku langsung berhenti berdoa. Selera makanku pun langsung hilang. "Makan," kata Lord Otori ketus. 'Aku tidak mau menggendongmu sampai di Hagi." Aku memaksakan diri untuk makan agar dia tidak membenciku. Setelah makan, dia menyuruhku mengatakan pada istri penjaga penginapan untuk membentangkan alas tidur kami. Aku merasa tidak nyaman ketika memberi perintah pada wanita itu, bukan saja karena aku merasa dia akan tertawa lalu bertanya apakah tanganku sudah tidak berfungsi lagi, tetapi juga karena ada sesuatu yang terjadi pada suaraku. Suaraku hilang, seakan-akan Iidahku terlalu lemah untuk mengungkapkan apa yang telah kulihat. Tapi, begitu pelayan itu mengerti maksudku, dia langsung membungkuk, seperti yang dia lakukan pada Lord Otori, dan langsung ke kamar untuk melakukan apa yang aku minta. Lord Otori berbaring sambil memejamkan mata. Dia langsung tertidur. Aku tidak bisa tidur. Pikiranku kacau, terguncang dan letih. Tanganku yang terbakar gemetar dan aku mendengar suara-suara yang ada di sekitarku dengan sangat jelas-aku dapat mendengar percakapan yang ada di dapur, setiap bunyi yang berasal dari kota. Berulangkali pikiranku kembali ke ibu dan adik-adik kecilku. Aku meyakinkan diriku bahwa aku tidak melihat mayat mereka, sehingga mungkin saja mereka selamat; mereka pasti selamat. Semua penduduk desa sayang kepada ibuku. Dia tak akan dibunuh. Meskipun lahir di Hidden, ibuku bukan orang yang fanatik. Dia selalu menyalakan dupa di kuil dan membawa persembahan bagi dewa gunung. Tentu saja ibuku, yang memiliki raut wajah yang lebar dan tangan yang kasar serta kulit yang berwarna madu, masih hidup. Dia tidak mungkin terbaring dengan tatapan mata yang kosong dan terkejut, dan adik-adikku di sisinya! Air mataku merebak. Aku membenamkan wajah ke kasur dan berusaha menghapus air mata. Aku tak kuasa menahan pundak yang bergetar atau napasku yang menderu karena menangis. Lalu aku merasa ada tangan di pundakku dan Lord Otori berkata perlahan, "Kematian datang tiba-tiba, dan hidup juga singkat. Tidak ada yang bisa mengubahnya, tidak dengan doa atau pun mantra. Anak-anak boleh menangis, tapi laki-laki tak akan menangis. Seorang laki-laki harus bisa menahan tangisnya." Suaranya tertahan saat mengucapkan kalimat yang terakhir. Lord Otori pun nampak sedih seperti diriku. Dia meneteskan air mata, meskipun wajahnya mengeras. Aku tahu siapa yang kutangisi, namun aku tidak berani bertanya siapa yang dia tangisi. Aku pasti tertidur, karena aku bermimpi sedang di rumah, makan malam dengan memakai mangkuk kesayanganku. Di dalam sup yang sedang kumakan tampak ketam hitam, namun kemudian ketam itu melompat dan lari ke hutan. Aku mengejarnya, tapi sesudah itu aku tak tahu di mana aku berada. Aku berusaha berteriak "Aku tersesat!" namun ketam itu telah mencuri suaraku. Aku terbangun dari tidur karena Lord Otori mengguncang pundakku. "Bangunlah!" Hujan telah reda. Sinar matahari menyadarkan aku bahwa hari telah siang. Ruangan ini tampak tertutup dan lembab. Bau kecut keluar dari tikar jerami yang kami gunakan sebagai alas tidur. "Aku tak ingin dikejar Iida dengan ratusan prajuritiiya hanya karena seorang bocah yang membuat dia terjatuh dari kuda," gerutu Lord Otori, "Kita harus segera berangkat." Aku tidak berkata apa-apa. Pakaianku yang telah dicuci dan sudah kering tergeletak di lantai. Aku memakai pakaian itu tanpa bersuara. "Meskipun kau berani pada Iida Sadamu, tapi kau takut bicara padaku..." Aku tidak takut-aku hanya segan. Bagiku dia adalah malaikat atau roh hutan atau pahlawan dari masa lalu yang muncul dan membawaku ke dalam perlindungannya. Aku hampir tidak dapat menggambarkan penampilannya karena aku tidak berani menatapnya secara langsung. Ketika mencuri pandang, aku melihat wajahnya yang tenang-tidak keras, tapi kurang ekspresif. Umurnya mungkin tiga puluh tahun atau sedikit lebih muda, tidak terlalu tinggi, dan berbahu lebar. Tangannya berkulit terang, hampir putih, dan dihiasi dengan jari yang kuat dan panjang, jari-jari itu seperti mengikuti lekukan gagang pedang. Saat ini, jari-jari itu sedang mengangkat pedang dari atas tikar. Mengingat pedang itu telah menyentuh daging dan darah manusia, aku langsung merasa takut dan juga terpesona. "Jato," kata Lord Otori ketika melihat aku memperhatikan pedangnya. Dia tertawa dan memasukkan pedang itu ke sarungnya yang hitam lusuh. "Pedang ini memiliki busana perjalanan, seperti aku saat ini. Di tempatku, aku dan pedang ini memakai pakaian yang anggun!" Jato, aku mengulangi nama pedang itu di dalam hati. Pedang ular yang telah mencabut nyawa orang demi menyelamatkan hidupku. Kami melanjutkan perjalanan melewati sumber air panas Hinode yang berbau belerang, lalu kami mendaki gunung. Pemandangan sawah kini telah berganti dengan rumpun bambu, mirip yang ada di sekitar desaku; lalu nampak pohon chestnut, pohon maple, dan pohon cedar. Hutan ini terasa hangat, meskipun tidak tertembus sinar matahari karena sangat lebat. Dua kali aku melihat ular di jalan, yang satu ular hitam kecil yang berbisa, sedangkan ular yang kedua lebih besar dan berwarna seperti teh. Ular itu melingkar bak cincin, lalu melompat ke semak-semak seakan-akan tahu akan ditebas Jato jika tak segera menyingkir. Terdengar nyanyian jangkrik yang melengking, dan serangga min-min yang mengerang seakan kepalanya akan pecah. Kami berjalan dengan cepat meskipun udara sangat panas. Terkadang Lord Otori mendahuluiku dan aku akan berusaha mendaki seolah-olah aku berjalan sendiri. Aku hanya bisa mendengar langkah kakinya di depan, dan aku berhasil menyusulnya di atas puncak. Dari puncak bukit ini kami dapat melihat hutan dan gunung yang terbentang. Dia mengenal jalan di wilayah liar ini. Kami berjalan berhari-hari dan hanya tidur sebentar di malam hari, kadang menginap di rumah petani yang terpencil, ladang di gubuk kosong. Kami hanya berhenti ketika bertemu orang: seorang penebang pohon, dua gadis yang sedang mengumpulkan jamur dan langsung lari begitu melihat kami, serta seorang biarawan dalam perjalanan menuju kuil. Setelah beberapa hari melintasi punggung wilayah ini, masih ada beberapa lereng bukit yang harus didaki, meskipun lebih banyak jalan menurun. Laut mulai tampak jelas, awalnya hanya seperti kilauan, tapi kemudian terlihat seperti sutra. Pulau-pulau nampak seperti bukit yang tenggelam. Belum pernah aku melihat pemandangan seperti ini, dan tiada henti aku pandangi. Kadang laut itu nampak seperti tembok tinggi yang rubuh dan menutupi daratan. Luka bakar di tanganku mulai sembuh dengan meninggalkan warna keperakan yang melintang di telapak tangan kananku. Akhirnya kami berhenti di suatu tempat yang hanya pantas disebut kota kecil. Letaknya di jalan utama atara Inuyama dan tepi pantai. Di kota ini ada banyak penginapan dan rumah makan. Kota ini masuk dalam wilayah Tohan sehingga lambang daun oak berhelai tiga ada di mana-mana. Ini membuatku takut keluar dari penginapan. Aku dapat merasakan kalau orang-orang di penginapan ini telah mengenal Lord Otori. Penghormatan mereka terkesan dalam, sesuatu kesetiaan lama yang harus dirahasiakan. Mereka memperlakukan aku dengan penuh kasih sayang, meskipun aku hanya diam. Sudah beberapa hari aku tidak bicara, tidak juga pada Lord Otori. Nampaknya hal ini tidak mengganggunya. Dia sangat pendiam, sibuk dengan pikirannya sendiri. Kadang aku mencuri pandang padanya dan ternyata dia sedang melihatku dengan tatapan belas kasih. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi dia hanya bersungut-sungut, "Tidak apa-apa, banyak hal yang tidak dapat dihindari." Pelayan di sini senang bergosip dan aku sering mendengarnya. Mereka tertarik pada seorang wanita yang datang menginap sehari sebelumnya. Mungkin wanita itu ke Inuyama untuk menemui Lord Iida. Dia hanya ditemani beberapa pelayan, dan bukan suami, saudara atau ayahnya. Menurutnya, wanita itu berumur tiga puluh tahun, sangat cantik, baik dan juga sopan pada semua orang, tapi-dia mengembara sendiri! Sungguh misterius! Juril masak mengaku kalau dia tahu tentang wanita itu. Menurutnya, wanita itu baru saja menjanda dan akan menemui anaknya di Inuyama, tapi kepala pelayan menganggap kalau si juru masak hanya membual. Menurut dia, wanita itu belum mempunyai anak, belum menikah. Penjaga kuda, dengan mulut penuh makanan menceritakan apa yang dia dengar dari pembawa tandu bahwa wanita itu mempunyai dua orang anak, anak laki-lakinya telah meninggal sedangkan anak gadisnya kini ditawan di Inuyama. Para pelayan menarik napas panjang dan bergumam bahwa kekayaan dan status tinggi pun tidak mampu terhindar dari takdir, dan si penjaga kuda itu melanjutkan, "Beruntung sekali anak gadisnya masih hidup karena klan Maruyama dipimpin oleh wanita." Berita ini membuatku ingin tahu lebih banyak tentang Lady Maruyama, satu-satunya wilayah yang diatur oleh wanita, bukan laki-laki. "Tidak heran dia berani mengembara sendiri," kata si juru masak. Terlena oleh keberhasilannya mengungkap tentang Lady Maruyama, si penjaga kuda melanjutkan, "Tapi Lord Iida menganggap itu sebagai suatu penghinaan. Dia berusaha mengambil alih wilayah Lady Maruyama, baik melalui kekuatan atau, seperti orang bilang, dengan menikahi wanita itu." Juru masak menjewer telinga orang itu, "Hati-hati kalau bicara! Mungkin saja ada yang mendengar!" "Dulu kita adalah kaum Otori, dan kelak kita akan menjadi orang Otori," sungut si penjaga kuda. Kepala pelayan melihat aku berdiri di pintu, dan memberi tanda untuk masuk, "Ke mana tujuanmu? Kau pasti telah menempuh perjalanan jauh!" Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. Seorang pelayan datang menyentuhku dan berkata, "Dia tidak mau bicara. Kau malu, ya?" "Mengapa?" tanya si juru masak. "Apakah ada yang melempar kotoran ke Mereka mengolok-olokku, tapi tidak kasar, dan saat pelayan itu kembali, dia datang bersama seorang lakilaki vang aku duga sebagai salah seorang nelavan Lady Maruyama. Dia memakai jaket bersimbol puncak gunung yang dikelilingi lingkaran. Dia berkata padaku dengan sopan, "Tuanku ingin bertemu denganmu!" Aku ragu untuk menerima ajakannya. Tapi wajahnya nampak tulus dan aku juga ingin melihat wanita misterius itu sehingga aku memutuskan untuk ikut dengannya. Kami melewati koridor yang panjang, lalu taman yang di kelilingi tembok. Dia mulutmu?" melangkah ke beranda dan berlutut di pintu. Dia berbicara singkat, lalu berbalik ke arahku dan memberi tanda agar aku segera masuk. Seteiah memandangnya sekilas, aku berlutut dan menundukkan kepala hingga menyentuh lantai. Aku merasakan kehadiran seorang ratu. Rambutnya yang hitam lembut menyentuh lantai dalam satu sapuan panjang. Kulitnya seputih salju. Kimononya berwarna krem gelap, gading, dan abu-abu lembut serta dihiasi bordir berwarna merah dan juga merah muda. Dia tenang seperti sungai di gunung, namun tiba-tiba bayangan tentang ketenangannya itu berubah menjadi seperti Jato, pedang ular dari baja yang tajam. "Mereka mengatakan kau tidak bisa bicara," dia berkata. Suaranya sebening dan sejelas air. Aku merasa ada pandangan iba di matanya, dan darah berdesir di wajahku. "Kau boleh bicara padaku," lanjutnya. Dia meraih tanganku dan jarinya menggambarkan simbol Hidden di telapak tanganku. Apa yang dia lakukan membuatku tersentak, aku seperti tersengat jelatang. Aku tak mampu menarik tanganku. "Ceritakan padaku apa yang telah kau lihat," dia berkata, kelembutan suaranya tidak berkurang meskipun nada bicaranya memaksa. Ketika aku masih juga tidak menjawab, dia berkata, "Pasti karena ulah Iida Sadamu, kan?" Tanpa sadar aku memandangnya. Dia tersenyum tanpa rasa senang. "Dan kau orang Hidden," tambahnya. Lord Otori telah memperingatkanku untuk menyembunyikan jati diriku yang sebenarnya. Kupikir aku telah mengubur masa laluku bersama namaku, Tomasu. Tapi di hadapan wanita ini, aku merasa tak kuasa menghindar. Hampir saja aku menganggukkan kepala, ketika aku mendengar langkah Lord Otori melintasi taman. Aku mengenal langkah kakinya, dan aku tahu ada yang datang bersamanya, seorang wanita dan laki-laki yang tadi bicara padaku. Kemudian aku sadar bila memperhatikan, aku bisa mendengar semua suara di penginapan ini. Aku bisa mendengar penjaga kuda yang berdiri dan pergi dari dapur. Aku bisa mendengar gosip di antara pelayan dan aku bisa tahu siapa yang bicara hanya dari suaranya. Pendengaranku semakin tajam sejak aku tak bisa bersuara dan kini semua suara berdengung di telingaku. Semua bunyi dan suara membuat kepalaku sakit. Aku bertanya-tanya, apakah wanita di depanku ini adalah penyihir yang hendak menyihirku. Aku tak berani membohonginya, tapi aku tidak mampu bicara. Aku tertolong oleh kedatangan seorang wanita, dia masuk ke dalam ruangan kemudian berlutut dan berbicara perlahan pada Lady Maruyama, "Tuannya sedang mencari anak itu." "Suruh dia masuk," balas sang Lady, "Dan, Sachie, maukah kau menyiapkan jamuan minum teh?" Lord Otori masuk, dia dan Lady Maruyama bertukar salam dengan membungkuk. Mereka berbicara dengan sopan layaknya orang asing, sang Lady tak menyebut namanya, tapi aku rasa mereka telah saling mengenal. "Pelayan mengatakan bahwa kau mengembara bersama seorang bocah," katanya. "Aku ingin melihatnya." "Ya, aku membawanya dari Hagi. Hanya dia yang selamat. Aku tak akan menyerahkan dia pada Sadamu." Lord Shigeru tampak seperti tidak ingin melanjutkan ucapannya lagi, tapi kemudian dia menambahkan, "Aku namakan dia Takeo." Lady Maruyama tersenyum-sekali ini dia benar-benar tersenyum. "Aku senang," katanya, "Wajahnya memang mirip." "Benarkah? Aku sependapat denganmu." Sachie datang dengan membawa nampan, ketel teh, dan sebuah mangkuk. Meskipun dalam keadaan membungkuk, aku dapat melihat Sachie meletakkan perlengkapan itu di atas karpet. Mangkuk itu memantulkan warna hijau hutan dan biru awan. "Suatu saat kalian akan mengunjungi rumah teh milik nenekku di Maruyama," ujar sang Lady. "Di sana kalian akan disambut dengan upacara jamuan teh yang layak. Tapi saat ini kami hanya dapat menyediakan seadanya." Bau manis kepahit-pahitan tercium saat sang Lady menuangkan air panas ke mangkuk. "Duduklah, Takeo," katanya. Setelah mengaduk teh hingga berbuih hijau, dia lalu berikan kepada Lord Otori yang menerima dengan dua tangan, memutarnya tiga kali lalu meminumnya. Setelah membersihkan bibir mangkuk dengan ibu jarinya, dia mengembalikan kepada Lady sambil membungkuk. Sang lady mengisi lagi mangkuk dan dia berikan kepadaku. Aku meniru semua gerakan Lord Otori dengan hati-hati, mendekatkan mangkuk ke bibirku dan meminum cairan berbuih ini. Rasanya pahit, tapi dapat menjernihkan pikiran. Teh ini membuatku agak tenang. Belum pernah aku minum teh seperti ini di Mino, teh kami terbuat dari tumbuhan pegunungan. Kubersihkan mangkuknya, lalu kuberikan pada Lady Maruyama sambil memberi hormat dengan kaku. Aku takut Lord Otori sedang memperhatikan dan malu karenanya, tapi saat melirik, aku melihat mata Lord Otori sedang terpaku pada sang Lady. Lady Maruyama meminum tehnya. Kami duduk dalam keheningan. Seperti ada sesuatu yang sakral di ruangan ini, seolah-olah kami sedang melakukan ritual makan di Hidden. Aku merasa seperti berada di rumah bersama keluargaku, keluargaku yang dulu. Mataku terasa panas, tapi tak akan kubiarkan diriku menangis. Aku akan belajar untuk bertahan. Masih terasa goresan jari-jari Lady Maruyama di telapak tanganku. Penginapan ini lebih besar dan lebih mewah dari yang pernah kami singgahi, dan makanannya pun berbeda. Kami makan belut dengan saus pedas, dan ikan manis dari tambak, dan nasinya lebih putih dibandingkan nasi yang kami makan di Mino. Sangat beruntung bila kami bisa makan nasi tiga kali sehari di desaku. Inilah untuk pertama kalinya aku minum sake. Lord Otori nampak bersemangat "mengawang-awang" itu istilah yang ibuku berikan-dan kesedihan telah lenyap dari wajahnya, sake ini juga telah menularkan sihirnya padaku. Setelah selesai makan, dia menyuruhku tidur: dia masih hendak jalan jalan untuk menjernihkan pikiran. Pelayan datang menyiapkan kamar. Aku berbaring dan mendengar suara-suara di malam hari. Entah belut atau sake yang membuatku sulit tidur. Setiap ada suara dan bunyi di kejauhan, aku langsung terjaga. Aku mendengar anjing menggonggong di kota, pertama hanya seekor kemudian anjing yang lainnya ikut meramaikan. Setelah beberapa saat, aku mulai bisa membedakan setiap suara. Aku memikirkan tentang anjing yang bisa tidur dengan telinga yang terus bergerak-gerak namun hanya bunyi tertentu yang akan membuatnya terjaga. Aku harus belajar seperti anjing atau aku tak akan bisa tidur lagi. Aku terbangun ketika terdengar bunyi lonceng kuil tanda malam telah larut. Aku pergi ke kamar mandi. Bunyi air seniku terdengar seperti air terjun. Kutuangkan air dari wadah air ke telapak tanganku dan berdiri sebentar, mendengarkan. Malam yang begitu tenang, bulan purnama di bulan kedelapan bercahaya lembut. Penginapan sunyi: semua orang telah tidur. Kodok sedang bernyanyi riang di Sungai dan sawah, dan sekali atau dua kali terdengar burung hantu bernyanyi. Ketika berjalan ke beranda aku mendengar suara Lord Otori. Sejenak aku mengira dia ke kamar dan berbicara padaku, tapi kemudian ada suara yang membalasnya. Suara Lady Maruyama. Tidak sepantasnya aku mendengarkan percakapan berbisik mereka yang tidak mungkin orang lain bisa dengar. Aku berjalan ke kamar, menggeser pintu agar tertutup, lalu aku berbaring sambil berharap bisa segera tidur. Tapi pembicaraan mereka tidak mampu kuhindari, dan setiap kata dapat kudengar dengan jelas. Mereka berbincang tentang kisah-kasih mereka, tentang pertemuan mereka yang sebelumnya, dan juga rencana mereka di masa depan. Banyak perkataan tertahan dan singkat, dan banyak juga yang tidak aku mengerti. Aku menangkap bahwa Lady dalam perjalanan ke ibukota untuk mengunjungi anak gadisnya, dan dia takut dipaksa menerima lamaran Iida yang kesekian kalinya. Istri Iida sedang sakit dan diperkirakan tidak lama lagi akan meninggal. Satu-satunya anak laki-laki Iida, yang juga sakit, telah membuatnya kecewa. "Kau tidak boleh menikah selain denganku," bisik Lord Otori, dan Lady Maruyama membalas, "Hanya itu yang kuinginkan. Kau tahu itu." Sang Lord pun bersumpah tak akan menikah atau tidur dengan wanita lain, selain dengan Lady Maruyama, dan dia menyebut beberapa strateginya, tapi dia tidak mengatakan secara terperinci. Aku mendengar dia menyebut namaku dan kurasa dia melibatkan diriku dalam rencananya. Aku tahu ada permusuhan antara Lord Otori dan Iida, semua kembali ke masa lalu saat terjadi pertempuran di Yaegahara. "Kita akan mati di hari yang sama," kata Lord Otori, "Aku tidak bisa hidup tanpa dirimu." Kini bisikan mereka berubah menjadi suara gairah antara laki-laki dan wanita. Aku menutup kedua telingaku dengan jari. Aku mengerti tentang gairah, tapi aku tak tahu apa pun tentang cinta. Aku bersumpah tak akan mengatakan apa yang kudengar. Akan kujaga rahasia ini layaknya seorang Hidden menjaga rahasia mereka. Aku bersyukur tak bisa bicara. Keesokan harinya aku tidak bertemu sang Lady lagi. Kami melanjutkan perjalanan tidak lama setelah matahari terbit. Pelayan penginapan membekali kami dengan teh, nasi, dan sop, salah seorang di antara mereka bahkan menyiapkan makanan sambil menguap, dia lalu meminta maaf kepadaku dan tertawa. Dia adalah wanita yang menyentuh lenganku kemarin, dan ketika kami hendak berangkat, dia menangis, "Selamat jalan, tuan muda! Selamat berkelana! Jangan lupakan kami!" Ingin rasanya aku menginap semalam lagi. Lord Otori tertawa, menggodaku dan berkata kalau dia terpaksa harus melindungiku dari para wanita di Hagi. Meskipun tidak tidur semalaman, tetapi dia tetap bersemangat. Dia melangkah dengan penuh semangat. Saat diperjalanan, aku mengira kami akan melewati pos perbatasan di Yamagata, ternyata kami keluar dari kota, mcngikuti sungai yang lebih kecil dari sungai yang mengalir di sisi jalan utama. Sungai kecil itu mengalir deras dan kemudian menyempit di antara bebatuan. Sekali lagi kami mendaki gunung. Kami dibekali cukup makanan untuk beberapa hari, sekali waktu kami berada jauh di luar desa yang terletak di tepi sungai, dan tidak bertemu seorang pun. Jalan yang kami lalui sempit, sunyi, dan terjal. Saat sampai di puncak gunung, kami berhenti lalu makan. Hari menjelang senja, matahari membiasi bayangan di dataran yang telah kami lalui. Deretan gunung di timur kini berwarna nila dan abu-abu. "Itulah ibukota", ujar Lord Otori, mengikuti pandanganku. Aku mengira yang dia maksud adalah Inuyama, Sehingga aku menjadi bingung. Melihat aku bingung, dia melanjutkan, "Bukan, itu adalah ibukota yang sebenarnya-tempat Kaisar memerintah. Tempatnya lebih jauh dari gunung yang paling jauh itu. Inuyama terletak di tenggara." Dia menunjuk ke arah kami datang. "Karena kita jauh dari ibukota dan kekuasaan Kaisar sangat lemah, sehingga bangsawan yang gemar berperang seperti Iida bisa berbuat sesuka hatinya." Semangat Lord Otori lenyap lagi. "Dan di bawah kita adalah tempat kekalahan terburuk Otori yang menewaskan ayahku. Itu adalah Yaegahara. Otori dikhianati Noguchi yang membelot pada Iida. Lebih dari sepuluh ribu orang tewas." Dia memandangku, "Aku tahu rasanya melihat orang-orang yang terdekat meninggal. Saat itu usiaku tidak lebih tua darimu." Aku menatap nanar dataran kosong itu. Tak bisa kubayangkan pertempuran macam apa yang terjadi. Terbayang darah sepuluh ribu orang menodai bumi Yaega-hara. Dalam kabut yang lembab, cahaya matahari berubah merah seolah membiaskan darah dari dataran. Seekor elang terbang berputar-putar di atas lembah, seakan memanggil dengan penuh duka. "Aku tak ingin ke Yamagata," kata Lord Otori saat kami menuruni jalan setapak. "Karena di sana aku akan mudah dikenali, dan juga karena ada beberapa alasan lain. Kelak akan kukatakan padamu. Malam ini kita terpaksa tidur di luar, berbantalkan rumput karena tak ada kota di dekat sini. Esok kita akan menyeberangi perbatasan melalui rute rahasia, dan itu berarti kita sudah tiba di wilayah Otori, selamat dari jangkauan Sadamu." Aku tak ingin menginap di dataran yang sunyi ini. Aku takut saat membayangkan ada sepuluh ribu hantu dan monster serta peri yang menjadi penunggu hutan ini. Arus sungai terdengar seperti suara roh. Setiap kali ada lolongan serigala atau teriakan burung hantu, aku langsung terjaga, denyut nadiku berpacu. Terkadang terasa bergetar seperti ada gempa, pohon-pohon berdesir dan bebatuan berhamburan nun jauh di dataran ini. Aku seperti mendengar jerit kematian, teriakan pembalasan. Aku mencoba berdoa, namun yang kurasakan hanyalah kehampaan. Tuhan kaum Hidden telah lenyap bersama keluargaku. Terpisah dari keluarga membuat hubunganku dengan tuhan terputus. Di sampingku, Lord Otori tertidur dengan damai seakan-akan dia sedang tidur di kamar penginapan. Meskipun begitu aku tahu dia lebih waspada dariku. Aku ragu sekaligus takut tentang dunia yang kini aku masuki-dunia yang belum aku kenal, dunia para klan, dengan aturan yang ketat dan hukuman yang kejam. Aku masuk ke dunia ini hanya dengan berbekal orang ini, seorang bangsawan yang memenggal kepala orang di depan mataku, dan dialah yang kini memiliki diriku. Aku menggigil dalam kabut udara malam yang dingin. Kami bangun sebelum fajar dan, ketika langit berubah menjadi keabuan, kami telah menyeberangi sungai yang menjadi batas wilayah Otori. Setelah perang Yaegahara, klan Otori yang sebelumnya menguasai wilayah tengah dipaksa mundur oleh Tohan sehingga wilayah Otori menyempit hanya antara gugusan gunung dan laut di utara. Di pos utama perbatasan, para prajurit Iida selalu berjaga-jaga, tapi di daerah terpencil seperti ini ada banyak tempat untuk menyelinap. Sebagian besar petani dan buruh di daerah ini menganggap diri mereka anggota klan Otori. Mereka tidak menyukai Tohan. Lord Otori mengatakan ini ketika kami berjalan hari itu. Dia juga bercerita tentang daerahnya, menjelaskan berbagai metoda pertanian, cara membangun waduk untuk irigasi, cara membuat jaring ikan, dan cara mengekstrak garam dari laut. Dia tertarik pada segala hal dan tahu segalanya. Tak lama kemudian, kami melewati jalan besar yang penuh dengan kesibukan. Para petani membawa hasil panen berupa umbi-umbian, sayuran, telur, jamur, akar teratai, dan juga bambu untuk dijual ke desa tetangga. Kami berhenti di pasar untuk membeli sandal karena sandal yang kami pakai sudah hancur. Ketika kami sampai di penginapan, semua orang mengenal Lord Otori. Mereka berlari menghampiri dan menyalaminya sambil berseru sukacita. Mereka menyembah pada Lord Otori. Kamar terbaik pun disiapkan, dan makan malam lezat disajikan. Kini dia nampak seperti orang yang berbeda. Aku tahu kalau dia memiliki status yang tinggi, berasal dari klas ksatria, tapi tetap saja aku tidak tahu siapa dia atau apa posisinya dalam klan. Tapi sudah pasti posisinya tinggi. Ini membuatku malu. Aku merasa seakan-akan semua orang memandangku dari ujung rambut hingga ujung kuku sambil bertanya-tanya apa yang sedang aku lakukan, mereka seperti ingin mengusirku jauh-jauh. Pagi itu, Lord Otori memakai pakaian yang sesuai dengan statusnya; kuda telah menanti, dan juga empat atau lima pelayan laki-laki. Mereka agak meringis saat mengetahui kalau aku tidak tahu sedikit pun soal kuda, dan mereka agak kaget ketika Lord Otori menyuruhku berjalan di belakang kudanya, walaupun mereka tidak berani membantah. Berkali-kali mereka mengajakku bicara-mereka menanyakan asal dan namaku-tapi karena aku selalu membisu, mereka lalu menganggapku idiot, dan juga tuli. Mereka lalu berbicara dengan suara kencang serta kata-kata yang sederhana sambil menggunakan bahasa tubuh. Aku tidak terlalu peduli kalau harus berlari kecil mengikuti kuda Lord Otori. Satu-satunya kuda yang pernah dekat denganku adalah kuda Lord Iida dan kurasa semua kuda marah padaku karena aku pernah inembuat teman mereka menderita. Aku terus bertanya-tanya, apa yang akan kulakukan di Hagi. Aku membayangkan akan dijadikan pelayan, tukang kebun atau bertugas mengurusi kuda. Namun ternyata Lord Otori inemiliki rencana lain. Pada sore hari ketiga setelah kami bermalam di Yaegahara, kami tiba di ibukota Hagi, sebuah kota kecil tempat kastil Otori berada. Kastil itu dibangun di pulau yang dikelilingi laut dan dua sungai. Ada jembatan batu yang menghubungkan daratan dengan kastil. Jembatan yang sangat panjang, jembatan itu memiliki empat tiang penyangga dari batu yang tersusun rapi. Kurasa jembatan ini dibangun dengan sihir, dan saat kuda melangkah ke jembatan, aku memejamkan mata. Gemuruh sungai seperti bunyi guntur di telingaku, dan di kejauhan aku mendengar sesuatu yang berbeda-sesuatu yang membuatku gemetar. Saat di tengah jembatan, Lord Otori memanggilku. Aku menyalip dari belakang kuda ke tempat dia berhenti. Ada batu besar yang disusun seperti dinding. Di batu itu terukir tulisan. "Kau bisa baca, Takeo?" Aku menggelengkan kepala. "Sungguh malang nasibmu. Kau harus belajar!" Dia tertawa. "Dan kurasa gurumu akan membuatmu menderita! Kau pasti akan menyesal telah meninggalkan kehidupan liarmu di gunung." Dia membacakan tulisan itu dengan lantang, "Klan Otori menjunjung tinggi keadilan dan kesetiaan. Ketidakadilan dan pengkhianatan harus berhati-hati." Di bawah tulisan itu tergambar lambang burung bangau. Aku terus berjalan di samping kudanya hingga tiba di ujung jembatan. "Orang yang membangun jembatan ini dikubur hidup-hidup di bawah batu besar itu," kata Lord Otori tanpa ekspresi, "Agar dia tidak bisa membuat jembatan yang seperti ini lagi, dan dia pun bisa menjaga jembatan ini selamanya. Kau dapat mendengar arwahnya berbicara dengan sungai di malam hari." Membayangkan ada hantu yang sedih terpenjara di bangunan indah yang dia bangun sendiri membuat aku merinding. Tapi begitu sampai di kota tempat kastil klan Otori, suara kematian berganti dengan hiruk-pikuk suara kehidupan. Hagi adalah kota besar pertama yang pernah aku kunjungi. Bagiku kota ini tidak berujung dan sangat memusingkan. Kepalaku penuh dengan berbagai suara: teriakan para pedagang jalanan, bunyi mesin tenun dari dalam rumah yang sempit, tukang batu yang sedang mcnempa, geraman suara gergaji, dan banyak lagi bunyi y,mg belum pernah aku dengar sebelumnya. Jalanan penuh dengan kuli. Bau tanah lempung dan tempat pembakaran menusuk hidung. Inilah pertama kali aku mcndengar bunyi gerobak atau gemuruh bunyi tungku iulcang besi. Sayup-sayup aku juga mendengar percaIwpan, caci-maki dan tawa, dan tidak ketinggalan, bau husuk sampah yang selalu hadir. Di kejauhan terlihat kastil yang dibangun memhelakangi lautan. Aku mengira kastil itu yang menjadi tujuan kami, dan semangatku langsung lenyap melihat I:esuramannya. Tapi ternyata kami memutar ke arah timur, mengikuti sungai Nishigawa yang bermuara di Higashigawa. Di sebelah kiri kami terbentang wilayah yang ada jalan berliku serta kanal yang dikelilingi sejumlah rumah besar. Matahari bersembunyi di balik awan gelap dan kini mulai tercium bau hujan. Langkah kuda kian cepat, seakan tahu kalau kami hampir sampai di tujuan. Di ujung jalan, ada sebuah gerbang besar terbuka. Beberapa pengawal keluar dari pos jaga lalu berlutut, membungkuk saat kami lewat. Kuda Lord Otori merendahkan kepala dan menggosok-gosokkan moncongnya padaku dengan kasar. Kemudian kuda itu meringkik dan kuda lain yang di ada istal membalasnya. Aku pegang tali kekang kuda itu, dan Lord Otori turun. Seorang pelayan laki-laki segera mengambil tali kekang semua kuda yang menyertai perjalanan kami lalu menggiring mereka. Lord Otori melangkah melewati taman ke arah sebuah rumah. Aku berdiri diam selama beberapa saat, ragu, tidak tahu harus mengikutinya atau mengikuti para pelayan, tapi ternyata dia berbalik dan memanggilku, melambaikan tangannya kepadaku. Ada sebuah taman yang dipenuhi dengan pohon dan tanaman yang berdiri dengan tenang dan berderet rapi, berbeda sekali dengan pohon-pohon di gunung yang tumbuh padat dan sesak. Aku merasa seolah-olah sebuah gunung ditangkap dan dibawa ke tempat ini dalam bentuk miniatur. Taman ini penuh dengan bunyi-bunyian-riak air yang mengalir melalui bebatuan dan juga dari saluran air. Aku dan Lord Otori berhenti, mencuci tangan di pancuran. Gemericik air mengalir mirip bunyi lonceng yang mempesona. Para pelayan rumah telah berdiri di beranda untuk menyambut. Aku kaget karena pelayan di rumah ini tidak banyak, namun kelak aku tahu bahwa Lord Otori memang hidup sederhana. Pelayannya hanya ada tiga orang wanita muda, seorang wanita agak tua, dan satu orang laki-laki yang umurnya sekitar lima puluh tahun. Setelah membungkuk hormat, ketiga pelayan itu langsung menarik diri, sedangkan kedua orang itu menatapku dengan takjub, hampir tidak bisa disembunyikan. "Dia mirip sekali... " bisik wanita itu. "Luar biasa!" ujar laki-laki tua itu sepakat sambil menggeleng-gelengkan kepala. Lord Otori tersenyum sambil melepas sandal lalu masuk ke rumah. "Aku bertemu dengannya saat hari telah gelap. Aku tidak menyadarinya hingga keesokan paginya. Ini hanyalah kebetulan." "Tidak, tapi lebih dari itu," kata wanita tua itu sambil menuntunku masuk ke dalam rumah. "Dia mirip sekali," sambungnya. Laki-laki yang menyambut di luar menatapku dengan bibir terkatup seolah-olah ldahnya tergigit saat mengunyah acar plum-dari tatapannya seolah-olah dia mengatakan kalau aku hanya akan membawa masalah. "Oh ya, aku memanggilnya Takeo," kata Lord dari balik pundak orang tua itu. "Panaskan air untuk dia mandi dan carikan pakaian untuknya." perintah Lord. Orang tua itu menggerutu dalam kekagetannya. "Takeo!" seru wanita itu. "Siapa nama aslimu?" Melihat aku hanya mengangkat bahu dan tersenyum, laki-laki itu berkata tajam, "Dia dungu!" "Tidak, dia bisa berbicara dengan sempurna," balas Lord Otori dengan nada tidak sabar. "Dia pernah berbicara kepadaku. Tapi ada kejadian mengerikan yang membuat dia tidak bisa bicara. Kelak dia pasti bisa bicara lagi." "Tentu saja," ujar wanita itu sambil tersenyum dan mengangguk ke arahku, "Ayo ikut denganku. Aku akan mengurusmu." "Maaf, Lord Shigeru," ujar laki-laki tua dengan sikap yang keras kepala-kurasa kedua orang ini telah mengenal Lord Shigeru sejak kecil dan mereka yang telah merawatnya hingga besar-"Apa rencanamu pada anak ini? Dia akan bekerja di dapur atau di taman? Apa keahliannya?" "Aku hendak mengangkatnya menjadi anakku," balas Lord Otori. "Urus prosedurnya besok, Ichiro." Suasana hening. Ichiro keheranan. Chiyo berusaha untuk tidak tersenyum. Kemudian Chiyo dan Ichiro berbicara secara bersamaan. Chiyo lalu bersungut-sungut meminta maaf, dan membiarkan Ichiro berbicara lebih dulu. "Sungguh tak terduga," ucapnya gusar. "Kau telah merencanakan semua ini?" "Tidak, ini hanya kebetulan. Kau tahu aku sangat berduka setelah kematian adikku dan aku berusaha menutupi kesedihanku dengan pergi mengembara. Kesedihanku berkurang sejak bertemu anak ini." Chiyo melipat kedua tangannya di dada dan berkata, "Takdir telah mengirimnya untukmu. Begitu lihat, aku tahu kau telah berubah-ada sesuatu yang membuatmu sembuh. Namun, tentu saja, tak ada yang bisa menggantikan Lord Takeshi... " Takeshi! Jadi Lord Otori memberiku nama mirip nama adiknya yang telah meninggal. Dan dia hendak mengangkatku menjadi anaknya, menjadikanku keluarganya. Kaum Hidden percaya kalau orang dapat terlahir kembali melalui air. Tapi aku terlahir kembali melalui sebilah pedang. "Lord Shigeru, kau melakukan kesalahan fatal," kata Ichiro. "Dia ini bukan siapa-siapa, hanya orang biasa... bagaimana tanggapan bangsawan Otori yang lain? Pamanmu tidak akan setuju. Bahkan memintanya saja sudah dianggap penghinaan." "Lihat dia," kata Lord Otori. "Siapa pun orangtuanya, pastilah bukan dari orang biasa. Lagipula aku telah menyelamatkan dia dari Tohan. Iida hendak membunuh anak itu. Karena telah menyelamatkannya, maka dia menjadi tanggung jawabku, dan berarti aku harus mengangkatnya menjadi anakku. Agar selamat dari Tohan, dia harus dalam perlindungan klan. Aku telah membunuh satu orang, mungkin dua, demi dirinya." "Sungguh harga yang mahal. Semoga saja tidak menambah mahal." Kata Ichiro tajam. "Apa yang dia lakukan sehingga Iida ingin menangkapnya?" "Dia hanya berada di tempat dan pada waktu yang salah, itu saja. Tak perlu mengutak-atik lagi sejarahnya. Anggap saja dia saudara jauh ibuku. Karang saja sesukamu!" "Ada kabar bahwa Tohan telah membantai kaum Hidden. Jangan kau katakan kalau dia salah seorang dari kaum itu." "Andaikan dia dulu orang Hidden, maka kini dia bukan bagian dari mereka," balas Lord Otori seraya bernapas panjang. "Itu masa lalu. Jangan berdebat lagi, Ichiro. Aku telah berjanji untuk melindungi anak ini, dan tak akan ada yang bisa mengubahnya. Lagipula, aku suka padanya." "Tak ada untungnya mengangkat dia," sahut Ichiro. Mereka saling berpandangan. Tangan Lord Otori membuat gerakan tak sabar, dan Ichiro menurunkan pandangannya, membungkuk hormat dengan enggan. Sungguh beruntung menjadi bangsawan-mereka bisa mendapatkan apa pun yang mereka inginkan. Angin berhembus kencang, daun jendela berderit, dan suara-suara kehidupan terdengar seperti tak nyata. Seakan-akan ada yang berbicara di kepalaku: Inilah takdirmu di masa depan. Ingin sekali aku kembali ke hari sebelum aku pergi mencari jamur di gunung- kembali pada kehidupanku bersama ibu dan orang-orang di desaku. Namun aku tahu masa kecilku adalah masa lalu dan tak akan pernah kembali. Aku harus menjadi laki-laki dan menjalani takdirku. Dengan tekad itulah aku mengikuti Chiyo ke tempat permandian. Dia memperlakukan aku seperti anak kecil, membukakan bajuku lalu menggosok sekujur tubuhku sebelum membiarkanku berendam di air panas. Tak lama kemudian dia datang membawa kimono dari bahan katun dan menyuruhku memakainya. Aku menuruti perintahnya. Apa lagi yang dapat kulakukan? Dia mengeringkan rambutku dengan sehelai kain, dan menyisir rambutku ke belakang, lalu dia ikat dengan gaya simpul di atas. "Rambutmu perlu di potong," sungutnya sambil menyentuh rambutku. "Janggutmu belum tumbuh. Berapa umurmu? Enam belas tahun?" Aku mengangguk. Dia menggeleng-gelengkan kepala dan menghela napas panjang. "Lord Shigeru ingin kau makan bersamanya," ujarnya, "Kuharap kau tidak menambah kesedihannya." Ichiro pasti telah menyampaikan keraguannya pada Chiyo. Aku mengikutinya ke rumah yang lain, sambil mengamati setiap bagian bangunan ini. Hari mulai gelap; lampu memancarkan cahaya jingga di sudut ruangan, tapi masih kurang terang untuk melihat lebih banyak lagi. Chiyo mengantarku hingga ke tangga di sudut ruang utama. Rumahku di Mino juga ada tangga, tapi tidak sebagus yang ini. Kayunya yang gelap dipelitur dengan halus- mungkin dari pohon oak-dan setiap anak tangganya mengeluarkan bunyi halus ketika aku melangkah di atasnya. Tangga ini seperti dibangun dengan sihir, dan rasanya dapat kudengar suara orang yangg membuatnya. Ruangan kosong ini sangat indah, jendelanya yang menghadap ke taman terbuka lebar. Langit mendung, rintik hujan mulai turun. Chiyo membungkuk hormat padaku-dengan sungkan-lalu berbalik pergi. Aku mendengar langkah kaki dan suaranya saat dia berbicara dengan pelayan di dapur. Setelah aku mulai tahu tentang kastil, istana dan rumah para bangsawan, masih saja semua itu tidak bisa dibandingkan dengan pemandangan dari ruang atas di rumah Lord Otori ini di saat hari semakin gelap dan bulan purnama bersinar diiringi tetesan hujan lembut di taman. Di belakang ruangan ada pilar besar dari pohon cedar, dipelitur sehingga terlihat corak dan serat kayu nya. Tiang-tiang di ruangan ini terbuat dari kayu cedar, warnanya coklat kemerahan sehingga kontras dengan warna dinding yang putih krem. Alas lantai yang terhampar berwarna keemasan, pinggirannya dijahit secarik bahan nila lebar yang dihiasi motif bangau putih, lambang klan Otori. Sebuah gulungan kertas perkamen bergambar seekor burung kecil tergantung di ruangan kecil, masih dalam ruangan ini. Burung itu sedang mengepakkan sayapnya yang putih kehijauan, mirip burung yang pernah kulihat di hutan. Lukisan itu begitu hidup hingga burung itu seperti akan segera terbang tinggi. Sungguh menakjubkan bahwa pelukis yang begitu hebat dapat mengenal burung biasa yang ada di pedesaan. Terdengar langkah kaki di ruangan bawah dan aku segera duduk bersila. Dari jendela yang terbuka lebar, aku melihat seekor bangau putih abu-abu besar berdiri di kolam di taman. Paruhnya berada di dalam air dan, saat muncul, ada seekor ikan kecil yang menggelepar di paruhnya. Lalu bangau itu terbang dengan anggun. Lord Otori datang diikuti oleh dua gadis pelayan yang membawa makanan. Dia menoleh ke arahku lalu mengangguk. Aku membungkuk sebagai tanda hormat. Dia seperti burung bangau dan aku seperti ikan kecil yang menggelepar, diambil dari duniaku dan dibawa terbang ke dunianya. Hujan semakin deras, rumah dan taman mulai bernyanyi bersama percikan air. Curahan air dari saluran air di atap rumah membentuk arus yang mengalir dari satu kolam ke kolam lain. Setiap tetesan air yang jatuh mengalunkan nada yang berbeda. Rumah ini bernyanyi untukku sehingga aku jatuh cinta dengan nyanyiannya. Ingin aku menjadi bagian dari rumah ini. Aku akan melakukan apa saja untuk rumah ini, apa pun keinginan pemilik rumah. Setelah melahap semua makanan dan mangkuk telah dipindahkan, kami duduk di dekat jendela yang terbuka, mengiringi malam yang semakin larut. Dalam keremangan, Lord Otori menunjuk ke ujung taman. Aku melihat riak air di parit yang berasal dari atap rumah, alirannya bergerak ke sungai besar. Sungai itu bergemuruh dalam dan pasti, warna airnya yang hijau abu-abu memenuhi saluran air bagaikan sebuah layar yang terlukis. "Senang rasanya berada di rumah," dia berkata dengan tenang, "Namun, sebagaimana sungai itu selalu berada di luar pintu rumah, begitu pula dunia ini. Dunia tempat kita tinggal." DUA DI tahun yang sama sewaktu Lord Otori menyelamatkan seorang anak laki-laki di Mino yang berganti nama menjadi Otori Takeo, terjadi beberapa peristiwa di kastil nun jauh di wilayah selatan. Kastil itu adalah pemberian Iida Sadamu kepada Noguchi karena turut membantunya.dalam perang Yaegahara. Setelah berhasil mengalahkan klan Otori, musuh utamanya, Iida lalu memaksa mereka untuk menerima beberapa syarat yang menguntungkan dirinya. Target Iida berikutnya adalah klan terbesar ketiga dari Tiga Negara, Seishuu, yang menguasai sebagian besar wilayah selatan dan barat. Tapi karena Seishuu memilih untuk bersekutu dengan Tohan, maka kedua klan berbagi tawanan. Anak gadis dari pemimpin klan Maruyama diberikan pada Tohan, sedangkan anak gadis pimpinan klan Shirakawa, kerabat dekat Maruyama, diberikan pada Seishuu. Putri sulung Lord Shirakawa, Kaede, dibawa ke Kastil Noguchi sebagai tawanan saat masih gadis cilik, dan kini ia telah melewatkan setengah masa hidupnya-waktu yang cukup lama untuk menimbun rasa benci. Di malam hari, saat tidak bisa tidur, Kaede tidak berani membalikkan badan karena takut ada pelayan datang menamparnya. Ia selalu mengingat nama-nama gadis pelayan yang sering menamparnya. Ia menyimpan semua itu di kepalanya karena ia takut mereka tahu apa yang ia pikirkan sehingga mereka akan menamparnya. Ia tahu kalau banyak gadis yang tidak sabar lagi ingin menamparnya. Ia tahu itu karena mereka sering menampar dan memukulinya. Kenangan masa kanak-kanak yang masih ia ingat hanyalah rumah yang telah ia tinggalkan sejak umur tujuh tahun. Sejak dibawa ayahnya ke kastil ini, ia tidak pernah lagi bertemu ibu atau adik perempuan lagi. Tiga kali ayahnya datang menjenguk, dan itu pun hanya untuk melihat Kaede tinggal dengan pelayan, bukan dengan anak-anak Noguchi. Penghinaan pada ayahnya lengkap sudah: ayahnya, Lord Shirakawa, bahkan tidak bisa protes. Dan Kaede yang masih belia dapat melihat kemarahan di mata ayahnya. Pada dua kunjungan awal, Kaede diijinkan berbicara dengan ayahnya. Kenangan yang masih ia ingat saat itu adalah saat ayahnya memegang bahunya dan berkata dengan nada tertekan, "Andai saja kau laki-laki!" Pada kunjungan yang ketiga, mereka hanya bisa saling memandang, mereka tidak diijinkan berbincang. Sejak itu, ayahnya tidak pernah lagi datang dan Kaede pun tidak pernah mendengar kabar tentang rumahnya. Ia memahami alasan ayahnya tidak datang lagi. Saat umurnya dua belas tahun, dengan membuka mata dan telinga serta bergaul dengan orang yang bersimpati padanya, akhirnya ia tahu kalau dia adalah tawanan, bidak dalam peperangan antar klan. Ia tak ada nilai bagi orang yang menguasai dirinya selain menjadi nilai tambah dalam tawar-menawar kekuasaan. Ayahnya seorang pemimpin klan yang menguasai wilayah Shirakawa yang strategis; ibunya adalah kerabat dekat klan Maruyama. Karena tak mempunyai anak laki-laki, maka ayahnya akan mengangkat suami Kaede sebagai penggantinya. Dengan menguasai Kaede, berarti Noguchi telah mendapatkan kesetiaan, persekutuan dan tahta klan Shirakawa. Kaede tidak memikirkan yang lain-rasa takut, kerinduan pada kampung halaman, atau rasa sepi-yang ada hanyalah rasa benci karena Noguchi tidak menghargai dirinya sebagai seorang tawanan. Sama seperti rasa bencinya pada para pelayan yang selalu mencelanya, dan rasa bencinya pada bau aneh dari ruang penjaga di dekat gerbang, atau ketika harus menaiki tangga yang curam sambil membawa sesuatu.... Dan, parahnya lagi, dia selalu membawa sesuatu: entah itu baskom berisi air dingin, ketel air panas, makanan bagi para penjaga yang rakus, atau barang lain yang malas mereka bawa. Dia membenci kastil ini, membenci batu-batu besar yang menyusun fondasi, dan ruang atas kastil yang gelap, di mana balok-balok yang malang-melintang seakan menggemakan keinginan untuk segera bebas dari tempat ini, kembali ke hutan tempat mereka berasal. Kaede juga membenci para penjaga. Semakin ia beranjak dewasa, semakin sering penjaga melecehkaniiya. Gadis pelayan seumurnya berlomba-lomba mencari perhatian penjaga. Mereka memuji-muji dan bersikap manja kepada para penjaga, suara mereka dibuat manja dan berpura-pura lembut, bahkan kadang terlalu konyol. Semua itu mereka lakukan untuk memperoleh perlindungan. Ia tidak menyalahkan mereka-ia percaya bahwa semua wanita harus bisa menggunakan apa pun yang mereka miliki untuk melindungi diri dari peperangan yang telah menjadi bagian dari hidup ini-tapi ia tak mau melakukan hal seperti itu. Dia tidak bisa. Satu-satunya harapannya agar terbebas dari kastil ini yaitu menikahi orang dari klas yang setara. Jika kesempatan itu tidak juga datang, ia ingin mati saja. Kaede sadar kalau ia tidak seharusnya memikul semua itu sendirian. Ia harus mendekati seseorang. WaIaupun tak mungkin untuk bicara pada Lord Noguchi, tapi ada kemungkinan ia bisa mendekati Lady Noguchi. Setelah memikirkannya lagi, ia yakin tidak akan diberi kesempatan bertemu dengan Lady Noguchi. Tidak ada tempat baginya untuk mengadu. Tak ada orang yang bisa melindunginya. Ia sendiri yang harus melindungi dirinya. Tapi para penjaga begitu kuat. Kaede memang termasuk tinggi untuk ukuran seorang gadis-terlalu tinggi, begitu kata pelayan dengan iri-dan ia juga tidak lemah, ia selalu bekerja keras. Tapi pernah ada seorang penjaga yang bercanda dan menariknya dengan kasar dan mendekapnya hanya dengan satu tangan, dan ia tak mampu melepaskan diri. Ia menggigil setiap teringat kejadian itu. Semakin lama, semakin sulit ia menghindar dari perhatian para penjaga. Di akhir bulan kedelapan, saat umurnya lima belas tahun, terjadi hujan lebat disertai angin topan yang bertiup dari arah barat selama berhari-hari. Kaede membenci hujan. Baginya, hujan hanya akan membuat semuanya menjadi lembab dan berbau. Ia membenci hujan karena terpaksa berjalan dengan kimono basah yang melekat di badan sehingga lekuk tubuhnya terlihat jelas, dan ini membuat penjaga semakin menggodanya. "Hei, Kaede, gadis kecil!" seorang penjaga berteriak saat dia berlari dari dapur menerobos hujan, melewati menara di gerbang kedua. "Jangan tergesa-gesa! Ada pesan untukmu! Tolong panggil Kapten Arai turun! Dia diminta untuk memeriksa seekor kuda baru." Seluruh kastil dibasahi air hujan. Dalam sekejap ia telah basah kuyup, dan sandalnya yang basah sempat membuat dia tergelincir dan tersandung saat melangkah di tangga batu. Namun ia tidak mengeluh karena Arai adalah satu-satunya orang yang tidak ia benci. Arai selalu sopan, tidak pernah mencela atau melecehkan dirinya. Kaede tahu bahwa tanah kekuasaan Arai berbatasan dengan wilayah ayahnya, tidak heran bila gaya bicara Arai beraksen wilayah Barat yang halus seperti dirinya. "Hei, Kaede!" tegur penjaga lain saat melihat Kaede berlari ke menara utama. "Kau selalu berlari! Berhentilah dan mari kita bicara!" Ketika Kaede mengabaikan ajakan penjaga itu dan terus menaiki anak tangga, penjaga itu berteriak lagi, "Mereka mengatakan bahwa kau laki-laki! Kemarilah dan buktikan bahwa kau perempuan!" "Bodoh!" gerutu Kaede, ia terpeleset saat melangkah ke anak tangga kedua. Para penjaga di lantai atas sedang bermain judi dengan menggunakan sebilah belati. Arai langsung berlari dan menyapa dengan sopan begitu melihat Kaede datang. "Lady Shirakawa." Kapten Arai memiliki postur yang besar, berpenampilan menarik dan mata yang nampak cerdas. Kaede menyampaikan pesan kepadanya. Arai menngucapkan terima kasih dan menatap Kaede sejenak seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudian dia berubah pikiran. Arai menuruni tangga dengan tergesagesa. Kaede berdiri mematung, memandang ke luar jendcla. Hembusan angin dari gunung terasa dingin dan lembab. Pemandangan di luar hampir tertutup kabut, namun ia masih dapat melihat rumah Lord Noguchi di bawah menara. Ia membayangkan dirinya tinggal di rumah itu, bukan berlarian kesana-kemari dalam hujan uniuk memanggil orang. "Jika Lady Shirakawa hendak menunggu hujan reda, lebih baik bergabung bersama kami," ajak seorang penjaga sambil menepuk punggungnya. "Jangan sentuh aku!" seru Kaede marah. Si penjaga tertawa. Kaede takut membayangkan suasana hati mereka yang jenuh dan tertekan, muak pada hujan karena hanya berjaga-jaga dan menunggu, dan tidak dapat melakukan apa-apa. "Oh, kapten lupa membawa belatinya," salah seorang penjaga berkata, "Kaede, cepat kejar dia." Kaede mengambil belati itu dengan tangan kiri, menimbang-nimbang berat serta ukurannya. "Dia tampak berbahaya!" canda seorang penjaga. "Jangan sampai melukai dirimu, gadis kecil!" Kaede segera menuruni tangga, namun Arai telah keluar dari menara. Ketika mendengar suara Arai di taman, ia hendak mengejarnya, tapi belum sempat ia keluar menara, penjaga yang tadi menegurnya keluar dari pos jaga. Kaede berhenti, ia sembunyikan belati di belakang punggungnya. Penjaga itu berdiri tepat di depannya, sangat dekat, dan membelakangi cahaya keabuabuan yang datang dari luar menara. "Ayolah Kaede, tunjukkan bahwa kau bukan lakilaki!" Dengan kasar, penjaga itu meraih tangan kanan Kaede dan menariknya sambil menekan satu kakinya di antara kedua kaki Kaede, memaksa paha Kaede agar terbuka. Tanpa pikir panjang Kaede menikam belati yang ada di tangan kirinya ke leher orang itu. Seketika itu juga si penjaga berteriak lalu melepaskan Kaede, kedua tangan penjaga itu memegang lehernya dan menatap Kaede dengan mata terbelalak. Penjaga itu tidak terluka parah, tapi darah mengucur dcngan deras. Kaede tidak mempercayai apa yang ia perbuat. Aku pasti mati, pikirnya. Seiring dengan teriakan minta tolong si penjaga, Arai datang. Sekilas Arai mengamati situasi, merebut belati dari tangan Kaede, dan langsung menggorok leher si penjaga. Penjaga itu pun jatuh dengan terseguk. Arai menarik Kaede ke luar, dan di bawah guyuran air hujan dia berbisik, "Penjaga itu hendak memperkosa dirimu. Aku datang dan membunuhnya. Begitulah kejadiannya, bila kau tak ingin kita berdua mati." Kaede mengangguk. Ia telah menusuk seorang penjaga sedangkan Arai telah meninggalkan belatinya: dua peIanggaran yang tidak termaafkan. Kini Arai telah melenyapkan saksi. Bukannya takut atas kematian si penjaga, Kaede bahkan merasa gembira. Semoga mereka semua mati, pikirnya, klan Noguchi, Tohan, dan seluruh klan. "Akan kukabarkan ini kepada pimpinannya, Lady Shirakawa," ujar Arai. "Seharusnya kau tidak dibiarkan tanpa perlindungan." Lalu dia menambahkan, "Laki-laki terhormat tak akan melakukan hal itu." Arai berteriak ke atas menara untuk memanggil pengawal, lalu berkata pada Kaede, "Jangan lupa, aku telah menyelamatkan nyawamu." Kaede menatapnya lurus. "Jangan lupa juga, belati itu milikmu," jawabnya. Arai tersenyum kecut, "Kalau begitu, nasibku ada di tanganmu dan nasibmu ada di tanganku." "Bagaimana dengan mereka?" tanya Kaede ketika mendengar langkah kaki penjaga di tangga. "Mereka tahu aku yang membawa belati." "Mereka tak akan mengkhianatiku," balasnya. "Aku bisa mempercayai mereka." 'Aku tak mempercayai siapa pun," bisik Kaede. "Kau harus percaya padaku," ucapnya. Keesokan hari, Kaede dikabari kalau dia akan dipindahkan ke kediaman Noguchi. Sambil membungkus semua barang miliknya dengan kain, ia mengusap-usap kain bergambar sungai putih dengan latar belakang matahari Seishuu, lambang keluarganya. Ia malu karena hanya mempunyai sedikit barang. Kejadian sehari sebelumnya masih terlintas di benaknya: belati di tangan kirinya, dekapan dan kematian si penjaga. Juga ucapan Arai: Seorang laki-laki terhormat tidak akan melakukan hal itu! Tidak seharusnya Arai berkata seperti itu pada tuannya. Ia tak akan berani, tidak juga di depan Kaede, kecuali bila dia ada niat untuk memberontak. Mengapa Arai memperlakukan aku begitu baik? Apakah dia mencari dukungan dari klanku? Dia sudah terkenal dan berkuasa; Kaede curiga Arai memiliki ambisi yang lebih besar. Arai mampu bertindak cepat dalam memanfaatkan setiap kesempatan. Kaede mengatur semua barangnya dengan hati-hati agar barang sekecil apa pun tak akan menyulitkan saat dibawa. Hari itu, semua gadis pelayan menghindar darinya, mereka berbicara bergerombol dan langsung diam saat ia lewat. Dua di antara gadis itu nampak seperti habis mcnangis; mungkin mereka kekasih penjaga yang mati itu. Tak seorang pun bersimpati padanya. Kemarahan gadis-gadis itu bahkan semakin menumbuhkan kebenciannya pada mereka. Sebagian dari mereka memiliki rumah; mereka bisa kembali ke orangtua dan keluarga, kapan saja mereka mau. Mereka bukan tawanan seperti dirinya. Lagipula, penjaga itu yang menarik ia dengan kasar, hendak mem-perkosa. Siapa pun yang mencintai orang seperti seperti itu tentu orang idiot. Seorang pelayan yang belum Kaede kenal datang mcnyapa dan membungkuk hormat lalu meminta Kaede mengikutinya. Kaede mengikuti pelayan itu menuruni anak tangga curam dari batu yang menghubungkan kastil dengan kediaman Lord Noguchi. Saat mereka melewati ruang tahanan di bawah gerbang raksasa, para penjaga memalingkan muka dengan marah. Kaede dan gadis itu berjalan ke taman yang mengelilingi rumah Noguchi. Ia sering melihat taman ini dari kastil, namun inilah pertama kali ia ke sini sejak umurnya tujuh tahun. Sewaktu sampai di bagian belakang rumah, gadis itu menunjuk ke sebuah ruangan kecil. "Tunggulah sebentar di sini, Lady." Setelah gadis itu pergi, Kaede berlutut di lantai. Ruangan ini tertata rapih, meskipun ukurannya tidak besar, dan pintu-pintunya yang terbuka menghadap ke taman. Hujan telah reda dan matahari bersinar cerah, butiran air di dedaunan memantulkan sinar berkilauan. Kaede memandangi lentera batu yang ada di tengah kolam. Kodok dan jangkrik bernyanyi riang. Kedamaian dan keheningan tempat ini mencairkan sesuatu yang telah mengendap keras di hatinya, dan mendadak Kaede ingin menangis. Kaede berusaha menahan tangis dengan cara memunculkan rasa bencinya pada Noguchi. Ia menyelipkan kedua tangannya ke dalam lengan baju dan merasakan memar di lengannya. Ia semakin membenci keluarga Noguchi karena mereka tinggal di tempat yang indah ini, sedangkan ia, anak Lord Shirakawa, hanya tinggal bersama pelayan. Pintu yang berada di belakangnya bergeser dan seorang wanita berlutut di pintu, "Lord Noguchi ingin bertemu Anda, Lady." "Bantulah aku untuk bersiap-siap," ujar Kaede. Ia tidak mau bertemu Noguchi dengan penampilannya saat ini, rambut yang tidak tertata rapih, dan pakaian yang usang serta kotor. Pelayan itu masuk dan Kaede berpaling melihatnya. Dia sudah tua, kulit tangannya pun berkeriput, namun wajahnya halus dan rambutnya hitam. Dia memperhatikan Kaede dengan kagum. Lalu, tanpa banyak bicara dia membuka bungkusan kain milik Kaede, mengeluarkan kimono ringan yang agak bersih dan sisir serta penjepit rambut. "Mana baju lainnya?" "Aku dibawa kemari saat umur tujuh tahun," kata Kaede dengan marah. "Kau pikir aku kecil terus? Ibuku mcngirimkan pakaian yang lebih baik, namun aku dilarang menyimpannya!" Wanita itu mendecak kagum. "Untung saja nona sangat cantik sehingga tidak perlu banyak polesan." "Apa maksudmu?" tanya Kaede karena ia belum pernah melihat wajahnya sendiri. "Aku akan menyisiri rambutmu dan mencarikan alas kaki yang bersih. Aku Junko. Lady Noguchi mengirimku untuk melayanimu. Akan kusampaikan bahwa Anda tak memiliki pakaian yang pantas." Junko pergi dan kemudian datang bersama dua orang gadis yang membawa semangkuk air, kaus kaki hersih, dan kotak kayu kecil berukir. Junko membersihkan wajah, tangan dan kaki, lalu menyisir rambut Kaede yang panjang dan hitam. Mereka bergumam takjub. "Ada apa?" tanya Kaede dengan gugup. Junko membuka kotak kecil itu dan mengeluarkan cermin yang bulat. Di belakang cermin itu terukir motif bunga dan burung. Junko menggenggam cermin itu agar Kaede dapat bercermin. Kaede langsung terdiam saat melihat wajahnya. Perhatian dan kekaguman para wanita itu membuat Kaede agak percaya diri, namun rasa percaya dirinya langsung hilang ketika dia mengikuti Junko ke ruangan utama rumah ini. Ia pernah melihat Lord Noguchi dari jauh, saat kunjungan ayahnya yang terakhir. Ia tidak pernah menyukai Lord Noguchi, dan kini ia cemas saat akan menemuinya. Junko berlutut dan menggeser pintu lalu masuk sambil menyembah. Kaede melakukan hal yang sama. Alas lantai terasa dingin dan tercium bau rumput di musim panas. Di dalam ruangan, Lord Noguchi sedang berbicara dengan sesecrang dan tidak memperhatikan kehadiran Kaede. Mereka sedang membahas soal pajak pertanian: tentang terlambatnya para petani membayar pajak. Tak lama lagi musim panen baru tiba, tapi petani belum membayar pajak panen yang sebelumnya. Orang yang diajak bicara kadang memberi komentar yang menenangkan Lord Noguchi-dengan memberi alasan cuaca yang sering berubah, musim angin topan yang sebentar lagi tiba, pengabdian para petani, dan kesetiaan para penyewa tanah-dan Lord Noguchi akan menggerutu, kemudian diam beberapa saat, lalu mulai mengeluhkan hal yang sama lagi. Akhirnya Lord Noguchi diam lagi. Salah seorang kepercayaannya mendehem sekali dua kali. Lord Noguchi memberi perintah dan orang itu pun mundur dengan berlutut ke pintu. Lord Noguchi mendekati Kaede yang tak berani mengangkat kepalanya. "Panggil Arai," perintahnya. Sepertinya dia telah merencanakan semua ini. Kini dia akan berbicara padaku, pikir Kaede, tapi ternyata Lord Noguchi hanya diam membisu. Kaede tetap diam tak bergerak. Setelah cukup lama menunggu, Kaede mendengar Arai yang masuk ke ruangan dan melihat Arai menyembah di sampingnya. Lord Noguchi juga tidak mengacuhkannya. Dia menepuk tangan dua kali dan beberapa orang segera masuk. Kaede merasa seakan-akan mereka hendak menginjak-injak dirinya saat melewati dirinya. Ketika memandang sekilas ke mereka dari samping, ia tahu kalau kedudukan mereka cukup penting. Ada yang memakai lambang Noguchi di kimononya, dan ada juga yang memakai lambang Tohan, gambar daun oak berhelai tiga. Ia yakin mereka akan dengan senang hati menginjak-injak dirinya, seakan-akan ia adalah kecoa. Kaede bersumpah tidak akan membiarkan orang-orang Tohan dan Noguchi melukai dirinya. Orang-orang itu duduk di atas alas lantai. "Lady Shirakawa," akhirnya Lord Noguchi berkata. "Duduklah." Saat Kaede melakukan perintah Lord Noguchi, ia merasa semua laki-laki di ruangan itu menatapnya. Semua orang nampak tegang, ada sesuatu yang tidak ia pahami. "Sepupu," kata Lord Noguchi, ada nada keheranan dalam suaranya. "Kuharap kau baik-baik saja." "Terima kasih atas kepedulian Anda, aku baik-baik saja," balas Kaede dalam kalimat sopan walaupun kata-kata yang diucapkan terasa seperti racun yang membakar lidahnya. Ia merasa rapuh di dalam ruangan ini, satu-satunya perempuan di antara laki-laki yang kuat dan kejam. Ia mencuri pandang ke Lord Noguchi dari bawah bulu mata. Bagi Kaede, wajah itu adalah wajah orang yang pemarah, lemah dan bodoh. Wajah yang penuh dengan kebencian. "Ada kejadian yang tidak menyenangkan di pagi ini," kata Lord Noguchi. Kesunyian kian mencekam. "Arai telah menceritakan kejadiannya. Kini aku ingin mendengar langsung darimu." Kaede menyembah dengan gerakan lambat, pikirannya berpacu dengan cepat. Saat ini ia yang menguasai nasib Arai. Dan Lord Noguchi tak lagi memanggilnya kapten, sebagai tanda penghormatan. Apakah dia mencurigai kesetiaan Arai? Apakah dia tahu kejadian yang sebenarnya? Jangan jangan ada pengawal yang berkhianat? Jika membelanya, apakah kami berdua justru akan masuk dalam jebakan? Arai adalah satu-satunya orang di kastil ini yang memperlakukan aku dengan baik, pikir Kaede. Aku tak akan mengkhianatinya. Lalu Kaede duduk dan berkata sambil menunduk, ia berkata dengan nada yang meyakinkan. "Aku ke ruang penjaga di kastil untuk menyampaikan pesan kepada Lord Arai. Lalu aku mengikuti dia turun; dia dibutuhkan di istal. Pengawal di gerbang menghalang-halangiku. Saat aku menjauh, dia menangkapku." Kaede memperlihatkan memar di lengannya, bekas jari jari penjaga tampak merah keungu-unguan di kulitnya yang putih pucat. "Aku berteriak. Mendengar teriakanku, Lord Arai datang menolong." Ia kembali membungkuk. 'Aku berhutang padanya dan juga pada Anda, tuanku, karena telah melindungku." Ia menunggu dengan kepala di lantai. "Uuuuh," gerutu Lord Noguchi. Suasana menjadi hening. Beberapa serangga berdengung di sore yang panas ini. Keringat membasahi alis para laki-laki yang duduk diam tak bergerak. Kaede bahkan mampu mencium bau keringat mereka yang seperti bau binatang, dan ia merasakan keringat yang menetes di dadanya. Ia menyadari bahaya yang ia hadapi. Andai ada penjaga yang membuka rahasia soal belati yang tertinggal dan ada seorang gadis yang mengambil, menggenggam belati itu... Kaede langsung membuang pikiran itu jauh-jauh, takut ada yang bisa membaca pikirannya. Akhirnya Lord Noguchi berkata seperti tidak terjadi apa-apa, bahkan terkesan setuju, "Bagaimana dengan kudanya, Kapten Arai?" Arai mengangkat kepala untuk bicara. Suaranya tenang. "Masih sangat muda dan berpenampilan menarik. Kuda itu berasal dari peternakan yang bagus dan mudah dijinakkan." Mendengar itu, semua orang gembira. Kaede merasa bahwa mereka sedang menertawai dirinya, dan darah berdesir di pipinya. "Kau memiliki banyak keahlian, Kapten," kata Lord Noguchi. "Sungguh menyesal bila kami harus kehilangan semua keahlianmu, tapi kurasa isteri dan anak-anakmu mungkin butuh perhatian untuk sementara, sekitar setahun atau dua tahun... " "Lord Noguchi," Arai membungkuk tanpa menunjukkan reaksi apa pun. Bodoh sekali Lord Noguchi ini, pikir Kaede. Ingin aku yakinkan dia agar Arai tetap di sini, agar dapat kuawasi. Mengirim Arai ke sana hanya akan memberinya kesempatan untuk memberontak. Arai mundur keluar, tanpa menoleh ke arah Kaede. Mungkin Noguchi berencana untuk membunuh Arai saat dia pulang, pikir Kaede dengan sedih. Aku tak akan bertemu dia lagi. Suasana tegang agak mencair setelah Arai pergi. Lord Noguchi mendehem untuk menjernihkan tenggorokkannya. Para prajurit berganti posisi, menyamankan kaki dan punggung. Kaede merasakan mata mereka tetap menatapnya. Memar di tangannya dan kernatian penjaga telah membangkitkan gairah mereka. Mereka tidak ada bedanya dengan si penjaga yang mati. Pintu di belakangnya terbuka, dan pelayan yang mengantarnya dari kastil ke kediaman Lord Noguchi datang membawa teh. Dia melayani semua orang dan ketika hendak keluar, Lord Noguchi membentaknya. Pelayan itu membungkuk dengan bingung, lalu menyiapkan secangkir teh untuk Kaede. Kaede minum teh sambil menunduk, mulutnya terasa kering hingga sulit menelan. Arai telah diasingkan sebagai hukuman, bagaimana dengan dirinya? "Lady Shirakawa telah bertahun-tahun kau bersama kami. Kau adalah bagian dari rumah ini." "Kau telah berjasa padaku, tuanku," balasnya. "Tapi kurasa kesenangan yang terjadi antara kau dan keluarga ini tidak akan berlangsung lama. Aku telah kehilangan dua anak buahku karenamu. Aku tidak yakin bisa menahanmu lebih lama lagi!" Dia tertawa perlahan diikuti dengan tawa para laki- laki. Dia akan mengirimku pulang! Harapan palsu mendebarkan hatinya. "Kau sudah cukup umur untuk menikah. Semakin cepat semakin baik. Akan kukabarkan pada orangtuamu siapa calon suamimu. Kau akan tinggal bersama isteriku hingga hari pernikahanmu." Kaede membungkuk lagi, tapi ia sempat melihat tatapan antara Lord Noguchi dengan seorang laki-laki yang lebih tua. Pasti dengan orang itu, pikirnya, atau dengan laki-laki yang seperti orang itu: tua, tamak, dan keiam. Gagasan untuk menikah dengan siapa pun membuat Kaede takut. Bahkan membayangkan kalau ia akan diperlakukan lebih baik di rumah Noguchi tetap membuatnya tidak bersemangat. Junko menemani Kaede kembali ke ruangan, lalu menuntunnya ke kamar mandi. Hari mulai senja dan Kaede merasa letih. Junko memandikan, dan menggosok pimggung serta kaki Kaede dengan butiran beras. 'Aku akan mencuci rambutmu besok," janji Junko. "Rambutmu terlalu panjang dan tebal bila dicuci malam ini. Sulit kering dalam waktu singkat, dan kau pun akan kedinginan." "Lebih baik aku mati kedinginan," kata Kaede. "Itu yang terbaik untukku." "Jangan berkata seperti itu," tegur Junko seraya membantu Kaede masuk ke bak mandi untuk berendam di air hangat. "Kau akan memiliki hidup yang indah. Kau sangat cantik! Kau akan menikah dan mempunyai banyak anak." Dia mendekatkan mulutnya ke telinga Kaede dan berbisik, "Kapten Arai menyampaikan rasa terima kasih karena kau telah membelanya. Dia menyuruhku melindungimu." Apa yang bisa dilakukan wanita di dunia laki-laki ini? pikir Kaede. Perlindungan macam apa yang kami punya? Apakah ada yang dapat menjagaku? Kaede teringat bayangan wajahnya di kaca dan tak sabar ingin melihatnya lagi.* TIGA SETIAP sore selalu ada burung bangau yang datang ke taman, mengapung bak hantu kelabu di kolam, melipat tubuhnya dengan cara yang menakjubkan, dan berdiri di Icolam yang sedalam paha, tenang tidak bergerak layaknya patung Jizo. Di kolam itu ada banyak ikan mas merah keemasan yang sering diberi makan oleh Lord Otori, walaupun ikan itu nampak terlalu gemuk untuk selalu diberi makan. Bangau itu diam tidak bergerak selama beberapa saat hingga ikan-ikan lupa kehadirannya dan berani bergerak. Lalu sang bangau menyambar ikan itu dengan cepat, lebih cepat dari . gerakan mata, kemudian terbang membawa ikan yang masih menggelepar di paruhnya. Kepakan sayapnya yang pertama terdengar sekencang suara kipas, dan kemudian bangau itu terbang dengan hening, sehening saat dia datang. Hari-hari masih terasa panas di musim gugur yang melelahkan ini. Di satu sisi kau tidak sabar menanti semua ini berakhir, namun di sisi lain kau tidak ingin semua ini berlalu karena hawa panas yang menusuk ini adalah penghujung musim. Sebulan sudah aku di rumah Lord Otori. Musim panen telah berlalu, banyak tumpukan jerami kering di sawah dan di sekitar rumah petani. Lili merah musim gugur mulai layu. Buah persimmon menguning, daunnya mulai rapuh berguguran, dan kulit chestnut terserak di jalan, memuntahkan isinya yang mengkilap. Bulan purnama musim gugur datang dan pergi. Chiyo meletakkan chestnut, jeruk, dan beras di kuil sebagai persembahan. Aku ingin tahu apakah ada orang yang melakukan hal serupa di desaku saat ini. Pelayan mengumpulkan berbagai bunga hutan, dan diletakkan berdiri di buket yang berada di sisi luar antara dapur dan kamar mandi, baunya yang harum menutupi bau masakan, sampah, dan juga bau kotoran manusia. . Aku belum bisa bicara. Mungkin aku masih bersedih. Begitu pula di rumah Otori, semua orang bukan hanya berduka atas kematian adik Lord Otori, tapi juga atas kematian ibunya akibat penyakit yang terjadi di musim panas lalu. Chiyo yang menceritakan tentang keluarga ini padaku. Sebagai anak sulung, Shigeru turut membantu ayahnya dalam perang melawan Tohan di Yaegahara. Dan ketika kalah, salah satu syaratnya yaitu Shigeru tidak boleh mewarisi kepemimpinan klan dari ayahnya. Dan pamannya, Shoichi dan Masahiro, yang Iida tunjuk sebagai pemimpin klan. "Iida Sadamu sangat membenci Lord Shigeru," kata Chiyo. "Dia iri dan takut padanya." Shigeru juga dibenci kedua pamannya karena dia adalah pewaris sah klan Otori. Saat ini Shigeru menarik diri dari kancah politik dan mengabdikan dirinya bagi tanah leluhurnya, mencoba berbagai metoda bercocok tanam. Dia menikah muda. Isterinya meninggal dua tahun kemudian pada saat melahirkan, dan sang bayi turut meninggal bersama ibunya. Meskipun hidupnya penuh penderitaan, namun Lord Shigeru tidak pernah menunjukkannya. Aku tidak akan tahu jika tidak diceritakan Chiyo. Hampir setiap hari aku bersama Shigeru, mendampinginya berkeliling layaknya seekor anjing di sisi tuannya, kecuali saat aku belajar pada Ichiro. Hari-hari berlalu dengan sangat menjemukan. Ichiro mengajariku baca-tulis, dan jika tidak bisa menulis dan membaca apa yang diajarkan, aku dimarahi. Dia juga tampak tidak menyetujui gagasan untuk menerimaku menjadi anggota klan. Pemimpin Otori juga menentang gagasan itu dengan alasan: Lord Shigeru sebaiknya menikah lagi, karena dia masih muda, dan pengangkatan itu dirasa terlalu dini setelah kematian ibunya. Semua keberatan itu tampak tak ada habisnya. Kurasa Ichiro sependapat dengan para pemimpin Otori, dan bagiku, itu ada benarnya. Aku giat belajar agar Lord Shigeru tidak kecewa, meskipun aku tak yakin mampu belajar dengan keadaanku saat ini. Hampir setiap sore Lord Shigeru mengajakku duduk di depan jendela, melihat ke taman. Tak banyak yang dia katakan, tapi dia selalu mengamatiku. Dia seperti menunggu sesuatu: menungguku bicara atau menungguku memberi suatu pertanda- tapi aku tidak tahu apa itu. Hal ini membuatku gelisah, aku takut telah membuatnya kecewa, dan ini makin membuatku sulit belajar. Suatu sore Ichiro datang ke ruang atas dan mengeluhkan tentang diriku. Tadi pagi dia begitu gusar hingga hampir saja memukulku. Aku sedang duduk di sudut ruangan dengan kesal, sambil mencoret-coret beberapa bentuk huruf yang dia ajarkan tadi pagi, aku berusaha dengan putus asa untuk mengingat berbagai bentuk huruf itu. "Kau membuat kesalahan," ujar Ichiro. "Tidak ada yang berprasangka buruk jika kau mau mengakui itu. Semua orang mengerti bahwa kau baru saja kehilangan adikmu. Kirim saja anak itu ke desanya dan lanjutkan lagi hidupmu." Dan biarkan aku melanjutkan lagi hidupku. Itu kira-kira maksud Ichiro. Ia tidak pernah membiarkan aku lupa dengan pengorbanan yang telah dia lakukan saat berusaha mengajariku. "Kau tak bisa menciptakan orang seperti Lord Takeshi," tambahnya dengan nada yang lebih lembut. "Dia adalah hasil didikan dan pelatihan selama bertahun-tahun dan berasal dari keturunan yang terbaik untuk mempelajari semua itu." Aku cemas Ichiro berhasil memperoleh keinginannya. Lord Shigeru terikat pada Ichiro dan Chiyo dalam suatu hubungan tugas dan tanggung jawab, begitu pun sebaliknya. Meskipun Lord Shigeru berkuasa di rumah ini, namun Ichiro juga memiliki pengaruh dan dia tahu cara menggunakannya. Di sisi lain, kedua pamannya memiliki kuasa atas Lord Shigeru. Dia harus patuh pada perintah pemimpin klan. Tidak ada alasan untuk mempertahankan diriku. "Lihat bangau itu, Ichiro," kata Lord Shigeru. "Lihat kesabarannya. Bangau itu diam tidak bergerak untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Aku juga memiliki kesabaran yang sama, kesabaran yang tak kenal lelah." Bibir Ichiro terkatup rapat dengan raut muka masam seperti masamnya acar plum kesukaannya. Di saat vang sama, bangau itu menyambar mangsanya dan kemudian mengepakkan sayapnya, terbang. Kelelawar mulai keluar dari tempat persembunyianiiva. Kuangkat kepala dan melihat dua ekor kelelawar wrbang saling menyambar di taman. Aku mendengar Ichiro sedang berkeluh-kesah dan Lord Shigeru menjawab dengan singkat, dengan sabar. Aku dengar percakapan itu dari ruangan lain. Kini aku mulai terbiasa dengan pendengaranku yang semakin tajam. Aku belajar menyaring suara yang tidak ingin kudengar. Aku tidak memberitahukan kalau aku bisa mendengar semua percakapan di rumah ini. Tak ada yang tahu kalau aku mampu mendengar apa yang mereka bicarakan. Saat ini aku sedang mendengar bunyi air mendidih yang siap dituang ke bak mandi, gemerincing bunyi piring di dapur, desau pisau juru masak yang sedang memotong, langkah seorang gadis yang memakai kaus kaki di teras, ringkik kuda di istal, seekor kucing yang sedang memberi makan keempat anaknya yang tidak pernah kenyang, bunyi bakiak di jembatan kayu, suara anak-anak bernyanyi, dan bunyi lonceng dari kuil Tokoji dan Dalshoin. Aku mengenal seluruh bunyi-bunyian di rumah ini, siang maupun malam, dikala matahari bersinar maupun di saat hujan deras. Malam ini aku merasa seperti ada sesuatu yang tak biasa. Sesuatu yang akan terjadi. Sesuatu yang aku pun seperti menantinya. Kenapa? Setiap malam sebelum tertidur aku selalu membayangkan pemandangan bukit, kepala yang hancur, dan orang berwajah serigala yang sedang memegang lengannya yang terpotong. Aku dapat melihat Iida Sadamu di tanah, dan mayat ayah tiriku dan Isao. Apakah aku sedang menunggu Iida dan orang berwajah serigala itu datang menangkapku? Ataukah aku sedang menunggu kesempatan untuk balas dendam? Dari waktu ke waktu aku tetap berdoa dengan cara kaum Hidden, dan malam ini aku berdoa agar ditunjukkan jalan yang harus kutempuh. Aku tetap tak bisa tidur. Udara terasa lembab dan separuh bulan bersembunyi di balik kumpulan awan tebal. Serangga malam sibuk bernyanyi tanpa pernah merasa lelah. Aku mendengar langkah cicak yang sedang memburu serangga. Ichiro dan Lord Shigeru sudah terlelap. Ichiro mendengkur. Aku tidak ingin meninggalkan rumah yang mulai aku cintai ini, tapi tampaknya aku hanya membawa masalah. Mungkin akan lebih baik bagi semua orang bila aku menghilang malam ini. Jika aku pergi tanpa tujuan yang pasti-apa yang dapat kulakukan?-aku mulai memikirkan cara menyelinap tanpa membangunkan penjaga dan tanpa membuat anjing menggonggong. Saat memikirkan ini, aku berusaha mendengar gonggongan anjing. Biasanya aku selalu mendengar gonggongan yang bersahut-sahutan, tapi aku belajar untuk mengabaikannya. Kali ini aku berusaha mendengar, tapi tetap saja tidak terdengar gonggongan. Aku berusaha mendengar suara penjaga: langkah kaki di bebatuan, dentingan besi, atau pun percakapan berbisik. Keadaan sangat sunyi. Suara yang biasanya selalu terdengar setiap malam kini tidak terdengar lagi. Aku menjadi waspada. Kupasang telinga untuk mendengarkan riak air di taman. Arus sungai sangat tenang-hujan tak lagi turun sejak berganti bulan. Lalu terdengar bunyi yang pelan, seperti getaran, di mitara jendela dan tanah. Sejenak aku mengira ada gempa bumi, seperti yang sering terjadi di wilayah Tengah. Getaran halus itu terus terdengar. Ada yang memanjat sisi samping rumah ini. Naluriku mengatakan kalau aku harus berteriak, tapi akal sehatku langsung mengambil alih. Teriakan bukan hanya akan membangunkan seluruh penghuni rumah ini, si penyusup pun akan waspada. Aku bangkit dari alas tempat tidur dan merangkak pelan ke sisi Lord Shigeru. Aku sangat mengenal lantai rumah ini, aku tahu bagian mana yang akan berbunyi bila diinjak. Aku berlutut di sampingnya dan seakan-akan tidak pernah kehilangan suara, aku berbisik, "Lord Shigeru, ada orang di luar." Dia langsung terbangun, memandangku sejenak lalu meraih pedang dan belati yang tergeletak di sampingnya. Aku menunjuk ke arah jendela. Getaran kini mulai terasa lagi, terdengar seperti berat tubuh yang bergeser di sisi rumah. Lord Shigeru memberiku belati lalu dia mendekat ke dinding dengan perlahan. Dia tersenyum padaku sambil menunjuk, aku bergerak ke sisi lain jendela. Kami menunggu si penyusup masuk. Selangkah demi selangkah orang itu memanjat dinding, tidak bersuara dan sangat perlahan, seakan-akan waktu di dunia ini hanyalah miliknya. Dia melangkah dengan penuh percaya diri seolah-olah tak akan ada orang yang tahu kehadirannya. Kami menunggu dengan sabar, seperti bermain petak-umpet. Hanya saja, akhir dari semua ini bukanlah suatu permainan. Penyusup itu berhenti di jendela untuk mengeluarkan garotte*. Begitu dia meloncat masuk, Lord Shigeru langsung mencekiknya. Licin seperti belut, si penyusup berkelit ke belakang. Aku melompat ke arahnya, namun belum sempat aku tusuk dengan belati, kami bertiga jatuh ke taman, ribut seperti kucing sedang berkelahi. Laki-laki itu terjatuh lebih dulu, melintang di parit, kepalanya membentur batu yang besar. Lord Shigeru mendarat di tanah dengan kaki, sedangkan aku terjatuh di semak-semak, belatiku terlempar. Saat aku sedang mencari-cari belati, si penyusup berteriak, berusaha berdiri, tapi dia tergelincir dan terjatuh ke sungai. Dia tenggelam; dia jatuh di bagian sungai yang dalam. Lord Shigeru menariknya; memukul wajahnya dan berteriak, "Siapa? Siapa yang menyuruhmu? Darimana asalmu?" Penyusup itu mengerang lagi, napasnya tersengal-sengal, parau seperti suara mendengkur. "Ambil lampu," perintah Lord Shigeru padaku. Aku mengira semua penghuni di rumah ini sudah terbangun, tapi karena perkelahian itu terjadi begitu cepat dan tenang, sehingga mereka semua masih tertidur. Aku berlari ke rumah pelayan. "Chiyo," panggilku. "Bawakan lampu, bangunkan semua laki-laki!" "Siapa itu?" balasnya dengan suara mengantuk. Dia tidak mengenali suaraku. "Ini aku, Takeo! Cepat bangun! Ada yang ingin membunuh Lord Shigeru!" Kuambil lampu yang masih menyala dan membawanya ke taman. Penyusup itu tak sadarkan diri. Lord Shigeru berdiri sambil memandang ke arah orang itu. Aku mendekatkan lampu ke orang itu. Orang ini memakai pakaian hitam tanpa simbol atau tanda. Tinggi dan ukuran badannya sedang, rambutnya pendek. Tak ada ciri-ciri yang dapat menunjukkan identitasnya. Di belakang kami terdengar hiruk-pikuk orang yang terbangun, mereka menjerit saat melihat dua penjaga yang tewas akibat garrotte, juga tiga anjing yang mati diracun. Ichiro keluar dalam keadaan pucat dan gemetar. "Siapa yang berani melakukan ini?" dia berkata. "Di rumahmu, di jantung kota Hagi? Ini adalah penghinaan bagi klan Otori!" "Kecuali bila pemimpin klan Otori yang menyuruhnya," balas Lord Shigeru pelan. "Sepertinya ini perbuatan Iida," kata Ichiro. Dia melihat belati yang ada dalam genggamanku dan langsung mengambilnya. Dia mengiris pakaian hitam dari leher sampai pinggang sehingga punggung laki-laki itu terlihat. Ada bekas luka goresan pedang yang melintang di bahunya, dan di punggungnya ada tato dengan pola gambar yang halus. Bersinar seperti ular di bawah cahaya lampu. "Dia pembunuh bayaran," kata Lord Shigeru, "dari kalangan Tribe. Pasti ada yang membayarnya." "Ini pasti perbuatan Iida! Dia pasti tahu kau telah mengambil bocah incarannya! Kini kau akan menyingkirkannya?" "Jika bukan karena dia, orang ini pasti telah berhasil membunuhku," balas Lord Shigeru. "Dia yang membangunkanku di saat yang tepat... Dia berbicara padaku!" teriaknya ketika sadar kalau aku sudah bisa bicara. "Dia yang berbisik padaku, membangunkan aku!" Ichiro nampak tidak terkesan. "Sadarkah kau mungkin saja dia sasarannya, dan bukan dirimu?" "Lord Otori," kataku, suaraku parau karena telah berminggu-minggu tidak bicara. "Kehadiranku hanya membawa bencana. Biarkan aku pergi, perintahkan aku pcrgi." Meskipun aku yang meminta, aku tahu dia tak akan melepaskanku. Aku telah menyelamatkannya, seperti juga dia menyelamatkanku, dan ikatan antara kami justru semakin kuat. Ichiro mengangguk setuju, namun Chiyo berkata, "Maaf, Lord Shigeru. Aku tahu ini tak ada hubungannya denganku dan aku hanyalah seorang wanita tua yang bodoh. Tapi tidak benar Takeo hanya membawa bencana. Sebelum dia datang, kau selalu bersedih. Kini kau telah pulih. Anak ini membawa kegembiraan, harapan, dan juga bahaya. Siapa yang bisa meraih kebahagiaan tanpa ada pengorbanan?" "Bagaimana mungkin aku tak menyadari itu?" balas Lord Shigeru. "Takdir telah menyatukan hidup kami berdua. Aku tak kuasa melawannya, Ichiro." "Semoga saja otak anak itu pulih seiring pulihnya suaranya," jawab Ichiro tajam. Si penyusup mati tanpa sempat siuman. Ternyata dia mempunyai sebutir racun di mulutnya dan tertelan saat terjatuh. Tak ada yang tahu identitasnya, meskipun banyak rumor yang berkembang. Penjaga yang tewas dikubur dengan upacara khidmat penuh duka, namun hanya aku yang berduka atas kematian anjing-anjing itu. Aku bertanya-tanya kesepakatan apa yang anjing-anjing itu buat, sumpah setia apa yang telah mereka janjikan sehingga terperangkap di antara perseteruan manusia sehingga menjadi korban. Anjing-anjing di sini tidak dilatih untuk menerima makanan hanya dari satu orang agar tidak bisa diracun. Ada beberapa penjaga yang memberi makan anjing-anjing itu. Lord Shigeru hidup sederhana dan hanya ada sedikit penjaga, meskipun banyak orang yang bersedia melayaninya dengan senang hati, dan jumlahnya cukup untuk menjadi satu pasukan, seandainya dia mau. Usaha pembunuhan itu tidak membuat Lord Shigeru gelisah atau tertekan. Dia bahkan terlihat gembira karena lolos dari kematian. Dia nampak "mengawang-awang" persis seperti saat dia bertemu Lady Maruyama. Dia senang karena suaraku pulih dan juga pendengaranku yang tajam. Sikap Ichiro kepadaku mulai melunak. Apa pun alasannya, sejak peristiwa itu, belajar menjadi lebih mudah bagiku. Aku mulai mengingat dan memahami makna huruf. Aku bahkan mulai menikmatinya, semua mengalir seperti air. Aku tidak mengatakan pada Ichiro kalau aku senang menggambar. Ichiro guru yang sangat hebat, terkenal karena keindahan tulisan tangannya dan kedalaman pelajarannya. Dia terlalu hebat untuk mengajariku. Aku bukan murid yang berbakat, namun kami berdua tahu kemampuanku meniru perilaku. Aku berperan sebagai murid dengan baik, sama baiknya seperti aku meniru cara dia melukis dengan gerakan bahu, bukan dengan pergelangan tangan. Lukisanku cukup memuaskan. Hal yang sama terjadi saat Lord Shigeru mengajariku menggunakan pedang. Aku cukup kuat dan lincah, mungkin di atas rata-rata anak seusiaku, tapi aku telah kehilangan masa-masa belajar sewaktu kecil. Anak seorang ksatria telah diajari berpedang, memanah dan herkuda sejak kecil, namun aku sadar kalau aku tak akan dapat memperbaiki semua itu. Menunggang kuda pun tak terasa sulit. Saat aku melihat Lord Shigeru dan laki-laki lain menunggang kuda, aku langsung tahu kalau itu hanyalah masalah keseimbangan. Aku menirukan apa yang kulihat dan kuda pun tampaknya tidak menolak. Aku juga sadar bahwa kuda adalah hewan yang pemalu dan mudah gugup. Aku harus bergaya seperti bangsawan, menyembunyikan perasaan dan berpura-pura tenang serta tahu pasti apa yang akan kulakukan sehingga kuda akan tenang dan senang saat ditunggangi. Aku diberi seekor kuda berwarna abu-abu pucat dengan surai yang berwarna gelap. Kuda itu kuberi iiama Raku. Kami menjadi akrab. Aku tidak mengikuti pelajaran memanah, tapi ketika latihan pedang aku meniru gerakan Lord Shigeru, hasilnya tidak mengecewakan. Aku diberi sebilah pedang panjang yang kuselipkan dibaju baruku, sama seperti yang dimiliki anak seorang ksatria. Namun, selain pedang dan pakaian, aku sadar bahwa aku hanyalah seorang peniru ksatria. Minggu demi minggu berlalu. Orang-orang mulai menerima keinginan Lord Shigeru untuk mengangkatku, dan sedikit demi sedikit sikap mereka mulai berubah. Mereka memanjakan, menggoda, serta mengomel sama banyaknya. Aku tak diijinkan keluar sendirian, meskipun ada waktu lengang di sela-sela waktu belajar dan berlatih. Tapi kegemaranku untuk menjelajah tak pernah mati, dan setiap ada kesempatan untuk menyelinap, aku akan menjelajahi kota Hagi. Aku suka sekali pergi ke pelabuhan, dari sana aku bisa melihat kastil di barat dan gunung berapi di timur sehingga teluk nampak seperti cangkir di dua tangan. Aku memandangi laut dan pulau-pulau yang melegenda terbentang di atas horison seraya merasa cemburu pada para pelaut dan nelayan yang kulihat. Ada saru perahu yang selalu kuamati. Seorang anak seumur denganku bekerja di sana. Namanya Terada Fumio. Ayahnya berasal dari keluarga ksatria klas rendah yang lebih memilih untuk berdagang dan memancing daripada mati kelaparan. Chiyo mengenal keluarga itu, tidak heran dia dapat menceritakan tentang mereka. Aku sangat mengagumi Fumio. Dia bisa berenang dan mengenal laut serta sungai dalam berbagai kondisi, sedangkan aku belum bisa berenang. Saat pertama kali bertemu, Fumio hanya mengangguk, namun setelah beberapa minggu kami menjadi sahabat karib. Aku sering naik ke kapalnya, kami duduk sambil makan jeruk, lalu memuntahkan bijinya ke laut. Kami berbincang tentang berbagai hal yang biasa dibicarakan oleh anak seusiaku. Lambat-laun kami berbincang tentang pemimpin Otori; Terada membenci kesombongan dan ketamakan mereka. Penduduk menderita akibat tingginya pajak dan tempat berdagang yang dibatasi. Kami membahas masalah ini dengan suara perlahan di sisi perahu yang menjorok ke Iaut. Mata-mata ada di mana-mana, katanya. Pada suatu sore, Ichiro dipanggil seorang saudagar untuk menyelesaikan perhitungan. Setelah menunggu beberapa saat, aku lalu menyelinap pergi karena yakin Ichiro belum akan pulang untuk waktu lama. Saat ini udara sejuk dan penuh bau jerami yang dibakar. Kabut yang menggantung di atas ladang yang terletak di antara sungai dan gunung berwarna emas keperakan. Tadi Fumio mengajariku berenang, tak heran rambutku basah dan tubuhku menggigil kedinginan. Aku membayangkan air panas dan aku ingin tahu apakah Chiyo akan memberiku sesuatu untuk dimakan sebelum waktu makan malam tiba, atau mungkin suasana hati Ichiro sedang buruk sehingga dia akan memukulku. Dari jalan, aku berusaha mendengar kejadian di rumah, seperti yang biasa kulakukan. Terdengar nada yang berbeda dari biasanya. Aku seperti mendengar ada sesuatu yang lain, sesuatu yang memaksaku berhenti dan melihat dua kali ke sudut dinding sebelum masuk ke gerbang. Aku tidak menduga kalau ada orang di sana, namun sekilas aku melihat ada orang yang sedang berjongkok di atap. Jaraknya hanya beberapa meter di seberang jalan. Aku yakin dia sedang memperhatikanku. Kemudian dia berdiri dengan perlahan seakan-akan menunggu aku mendekat. Dia seperti kebanyakan orang, tidak tinggi tapi juga tidak pendek, bentuk tubuhnya biasa saja, rambutnya beruban, kulit mukanya pucat, dan penampilannya sulit diingat. Bahkan saat aku melihatnya lagi, penampilannya nampak seperti berubah. Ada yang luar biasa pada dirinya, tapi aku tak tahu apa itu. Dia memakai pakaian lusuh yang berwarna abu-abu kebiru-biruan dan tidak membawa senjata. Dia tidak mirip pekerja atau pedagang atau seorang ksatria. Aku tak tahu status yang sesuai untuknya, namun instingku mengatakan bahwa dia sangat berbahaya. Ada sesuatu pada orang itu yang membuatku tertarik. Aku tak akan lewat begitu saja tanpa menyadari kehadirannya. Aku jauh di seberang jalan, dan sedang mengira-ngira jarak ke gerbang, penjaga, dan anjing penjaga. Dia mengangguk lalu tersenyum. "Selamat siang, tuan muda!" dia menyapa dengan suara rendah. "Kau benar bila tidak mempercayaiku. Menurut kabar, kau memang cerdas. Tapi aku tak akan menyakitimu, aku janji." Kurasa ucapannya sama liciknya seperti penampilannya sehingga aku tidak menanggapi. "Aku ingin berbicara denganmu," ucapnya, "dan juga dengan Shigeru." Aku kaget mendengar dia menyebut nama Lord Shigeru seperti sahabat karibnya. "Apa yang hendak kau bicarakan?" "Aku tak mau berbicara sambil berteriak," balasnya sambil tertawa. "Ayo kita bicara di gerbang." "Kau jalan dari seberang sana, dan aku dari sini," kataku sambil mengamati tangannya, berjaga jaga jika dia mengambil senjata rahasia. "Aku akan menyampaikan pada Lord Otori bahwa kau ingin menemuinya dan hiar dia yang memutuskan apakah dia mau bertemu denganmu atau tidak." Orang itu tersenyum sambil mengangkat bahu, lalu kami berjalan terpisah ke gerbang. Dia berjalan dengan santai seakan sedang jalan jalan sore, sedangkan aku gelisah seperti kucing yang sadar akan ada badai. Setelah sampai di gerbang dan para penjaga menyapa kami, orang itu terlihat lebih tua dan lebih lusuh. Dia tampak seperti orang tua yang lemah. Aku merasa malu karena tidak mempercayainya. "Kau dalam masalah, Takeo," kata seorang penjaga. "Ichiro mencarimu!" "Hei, kek," penjaga lainnya memanggil laki-laki tua itu. "Apa yang kau cari, semangkuk mie atau yang lain?" Orang itu memang kelihatan seperti pengemis. Dia menunggu dengan gaya seperti pengemis, tak berkata apa-apa, hanya menunggu di gerbang. "Di mana kau temukan dia, Takeo? Kau mudah sekali iba, itulah masalahmu! Suruh dia pergi!" "Aku telah berjanji untuk menyampaikan pesannya kepada Lord Otori, dan akan kulakukan itu," balasku. "Tapi, awasi setiap gerakannya, dan jangan biarkan dia masuk." Aku melihat ke orang itu dan berkata, "Tunggu di sini," dan terlihat seperti ada cahaya keluar dari dirinya. Dia seperti membiarkan aku melihat sisi dirinya yang dia sembunyikan dari para penjaga. Semula aku cemas membiarkan dia dengan penjaga, tapi aku ingat bahwa kedua penjaga itu membawa pedang. Mereka pasti bisa menghadapi seorang laki-laki tua. Aku menerobos taman, melempar sandalku, kemudian menaiki anak tangga hanya dalam dua lompatan. Lord Shigeru sedang duduk di ruang atas sambil memandangi taman. "Takeo," katanya, "Aku sedang memikirkan untuk membangun sebuah ruang minum teh di taman." "Lord..." aku tidak melanjutkan perkataanku karena ada sesuatu yang bergerak di taman. Semula aku menduga itu bangau, berdiri tegak dan berwarna abu-abu. Namun setelah aku perhatikan, ternyata yang berdiri itu adalah orang tua yang kutinggalkan di pintu gerbang. "Ada apa?" tanya Lord Shigeru ketika melihat raut wajahku. Aku takut akan adanya percobaan pembunuhan untuk yang kedua kalinya. "Ada orang di taman," aku berteriak, "Awasi dia!" Lalu aku teringat pada kedua penjaga. Aku berlari turun dan keluar rumah. Jantungku berdebar kencang ketika sampai di gerbang. Semua anjing baik-baik, mereka kegirangan saat melihatku, ekor mereka mengibas-ngibas senang. Aku berteriak, dan para penjaga datang dengan keheranan. "Ada apa, Takeo?" "Kalian biarkan dia masuk!" kataku dengan marah. "Orang itu kini ada di taman." "Tidak, dia masih ada sana." Mataku mengikuti arah yang mereka tunjuk dan aku merasa seperti orang bodoh. Aku benar-benar melihat dia duduk dengan sopan, sabar dan tidak berbahaya. Tapi saat aku melihat lagi, ternyata orang itu sudah tidak ada. "Dasar bodoh!" kataku. "Bukankah sudah kubilang kalau dia berbahaya? Bukankah sudah kubilang agar kalian tidak membiarkan dia masuk? Kalian memang bodoh, dan kalian sebut diri kalian Otori? Pulang saja dan jaga ayam, dan sudah pasti musang akan melahap semua ayam!" Mereka terpana melihatku. Kurasa tak seorang pun di rumah ini pernah mendengar aku berbicara begitu panjang. Aku marah karena merasa bertanggung jawab atas keselamatan mereka. Tapi mereka harus patuh. Aku hanya bisa melindungi mereka bila mereka patuh. "Beruntung kalian masih hidup!" lalu aku mencabut pedang dan berlari mencari orang itu. Orang itu sudah tidak ada di taman. Saat aku ragu apakah tadi hanyalah halusinasi saat melihat dia di taman, aku mendengar orang berbincang di ruangan atas. Lord Shigeru menyebut namaku. Sepertinya dia tidak dalam bahaya-dia sedang tertawa. Ketika aku masuk dan membungkuk hormat, orang tua itu sedang duduk bersama Lord Shigeru sambil tertawa, seakan-akan mereka sahabat lama. Orang asing itu tidak lagi terlihat tua. Dia hanya beberapa tahun lebih tua dari Lord Shigeru, dan kini dia tampak lebih terbuka dan hangat. "Jadi, dia tidak mau jalan berdampingan denganmu, eh?" kata Lord Shigeru. "Benar. Dan dia bahkan menyuruhku menunggu di luar." Mereka tertawa terbahak-bahak sambil menepuk-nepuk alas lantai dengan telapak tangan. "Oh ya, Shi-geru, kau seharusnya melatih penjaga dengan lebih baik. Takeo benar dengan memarahi mereka." "Dia selalu benar selama ini," kata Lord Shigeru dengan nada bangga. "Dia hanya satu dalam seribu-dia memang terlahir seperti itu, bukan melalui latihan. Dia pasti berasal dari Tribe. Duduk tegak Takeo, aku ingin melihatmu." Aku mengangkat kepala dari lantai dan duduk bertumpu pada kedua tumitku. Wajahku memerah karena merasa telah dipermainkan. Dia tidak bicara, dia hanya mengamatiku. Lord Shigeru berkata padaku. "Dia adalah Muto Kenji, teman lamaku." "Lord Muto," kataku sopan tapi dingin, berusaha tidak menunjukkan perasaanku. "Jangan panggil aku Lord," kata Kenji. "Aku bukan bangsawan, walaupun temanku banyak yang bangsawan." Dia mendekat. "Perlihatkan tanganmu." Dia memegang tangan kanan dan tangan kiriku secara bergantian, melihat punggung tanganku lalu telapak tangan. "Dia mirip Takeshi," ujar Lord Shigeru. "Uuuuh. Dia memang mirip wajah orang Otori." Kenji mundur ke posisi duduknya yang semula dan menatap taman. Warna-warni di akhir musim gugur intilai luluh. Hanya pohon maple yang tetap berwarna mcrah berkilauan. "Aku turut berduka atas kematian keluargamu," ucapnya. "Aku ingin mati saat itu," balas Lord Shigeru. "Tapi seiring dengan berjalannya waktu, aku menyadari keinginanku untuk tetap hidup. Aku tidak dilahirkan untuk berputus asa." "Ya, tentu saja," Kenji menyetujui dengan nada bersahabat. Mereka memandang keluar dari jendela yang terbuka. Udara musim gugur terasa dingin, hembusan angin mengguncang pohon maple hingga daunnya berguguran dan jatuh ke parit. Warna daunnya berubah menjadi merah gelap di dalam air, sebelum terbawa arus ke sungai. Ingin sekali aku mandi di air panas. Kenji memecah kesunyian. "Bagaimana anak yang mirip Takeshi ini, walaupun sudah pasti berasal dari Tribe, bisa bersamamu, Shigeru?" "Kau datang dari jauh hanya untuk menanyakan ini?" balas Shigeru sambil tersenyum tipis. "Aku tidak keberatan mengatakan alasanku ingin tahu. Menurut kabar angin, ada seorang penyusup yang memanjat rumahmu. Akibatnya, salah seorang pembunuh yang paling berbahaya di Tiga Wilayah tewas." "Kami merahasiakan hal ini," ujar Lord Shigeru. "Kami merasa perlu untuk mengungkap rahasia ini. Apa yang Shintaro lakukan di rumahmu?" "Dia hendak membunuhku," balas Lord Shigeru. "Jadi, namanya Shintaro. Aku memang sudah curiga, tapi kami tidak memiliki bukti." Setelah beberapa saat dia menambahkan. "Pasti ada yang ingin aku mati. Apakah dia suruhan Iida?" "Shintaro memang pernah bekerja pada Tohan. Tapi kurasa Iida tidak akan membunuhmu secara diam-diam. Melihat perilakunya, Iida pasti lebih senang melihatmu mati di depan matanya. Siapa lagi yang menginginkan kematianmu?" "Aku mencurigai satu atau dua orang," jawab Lord Shigeru. "Sulit dipercaya Shintaro sampai gagal melakukan tugasnya," lanjut Kenji. "Kami harus tahu tentang anak yang menggagalkan Shintaro. Di mana kau bertemu dengannya?" "Kabar angin apa yang kau dengar?" tantang Lord Shigeru sambil tersenyum. "Menurut kabar yang bisa dipercaya: ia salah seorang kerabat jauh ibumu; menurut kabar yang sulit dipercaya, kau telah kehilangan akal sehat dan yakin bahwa dia penjelmaan Takeshi; kabar lain menyebut bahwa dia adalah anakmu dari seorang wanita petani di Timur." Lord Shigeru tertawa, "Umurku belum dua kali lipat dari usia anak ini. Dan itu artinya aku telah menjadi ayahnya ketika umurku dua belas tahun. Dia bukan anakku." "Tentu saja bukan, dan aku juga tidak percaya dia adalah kerabatmu atau penjelmaan Takeshi. Lagipula dia pasti dari Tribe. Di mana kau bertemu dengannya?" Salah seorang pelayan, Haruka, datang menyalakan lampu, dan seekor serangga besar berwarna biru kehijauan telah melakukan kesalahan besar ketika masuk ke ruangan ini dan terbang ke arah sumber cahaya. Aku herdiri menangkapnya, lalu kulepaskan serangga itu di kegelapan malam, setelah itu aku menutup pintu sebhelum kembali duduk. Lord Shigeru masih belum menjawab pertanyaan Kenji saat Haruka datang lagi membawa teh. Kenji tidak marah atau frustasi, dia bahkan mengagumi mangkuk teh buatan penduduk yang bercorak merah jambu. Dia minum teh tanpa berkata, tapi selalu mengamatiku. Akhirnya dia bertanya padaku. "Jawab Takeo, waktu anak-anak, pernahkah kau tarik bekicot dari tempurungnya atau mencabut capit ketam?" Aku tidak mengerti apa yang dia maksud. "Mungkin," kataku sambil pura-pura minum, walaupun sebenarnya mangkukku sudah kosong. "Pernahkah?" "Tidak." "Mengapa?" "Karena ibuku mengatakan itu perbuatan kejam." "Sudah kuduga." Nada suaranya terdengar sedih seolah-olah dia kasihan padaku. "Hati anak ini amat lembut, ada rasa enggan untuk berbuat kejam. Dia pasti dibesarkan di antara kaum Hidden." "Sejelas itukah?" tanya Lord Shigeru. "Hanya bagiku." Kenji lalu duduk bersila, matanya menyipit, dan tangannya di atas lutut. "Kini aku tahu siapa dia." Lord Shigeru menarik napas dalam-dalam, wajahnya berubah kaku dan waspada. "Kalau begitu, sebaiknya kau katakan." "Dia memiliki semua ciri-ciri Kikuta: jari yang panjang, garis lurus yang melintang di telapak tangan, pendengaran yang tajam. Pendengaran yang tajam ini akan datang tiba-tiba di masa puber, terkadang diikuti dengan tidak bisa berbicara, umumnya sementara, tapi bisa juga selamanya.... " "Kau membual!" kataku, tak mampu menahan diri. Rasa takut menjalar di sekujur tubuhku. Aku tak tahu apa pun tentang Tribe, kecuali pembunuh di malam itu adalah salah satunya. Aku merasa kalau Muto Kenji telah membuka pintu kegelapan yang selama ini takut kumasuki. Lord Shigeru menggelengkan kepala, "Biarkan dia bicara. Apa yang dia katakan sangatlah penting." Kenji mencondongkan tubuhnya ke arahku dan berkata, "Akan kuceritakan tentang ayahmu." Lord Shigeru berkata dengan acuh tak acuh, "Sebaiknya kau mengawali ceritamu tentang Tribe. Takeo tidak mengerti saat kau mengatakan bahwa dia adalah Kikuta." "Benarkah?" Kenji menaikkan alisnya. "Baiklah kalau begitu, mengingat dia dibesarkan oleh kaum Hidden, aku tidak heran. Aku akan mulai dari awal. Ada lima keluarga Tribe. Mereka telah ada sebelum munculnya para bangsawan dan klan. Kisah ini berawal dari masa ketika sihir lebih kuat dari senjata, dan dewa-dewa inasih berjalan di bumi. Saat klan mulai bermunculan, dan orang-orang mulai membentuk ikatan berdasarkan kekuatan, Tribe tidak bergabung dengan salah satu klan. Guna melestarikan anugrah yang mereka miliki, mereka memilih untuk menjadi pengelana, pedagang, pemain drama, pemain sirkus, dan juga pemain sulap." "Awalnya mereka menjadi salah satu dari semua itu," potong Lord Shigeru. "Tapi, banyak juga yang menjadi pedagang, kaya dan memiliki pengaruh yang kuat." Lalu dia berkata kepadaku, "Kenji memiliki usaha yang sangat berhasil dalam bidang produksi kacang kedelai dan usaha peminjaman uang." "Waktu berubah," kata Kenji. "Dari waktu ke waktu, kami mulai melayani dari satu klan ke klan lainnya dan bergabung menjadi bagiannya, atau juga bekerja untuk klan yang telah menjadi sahabat kami, seperti Lord Otori Shigeru. Tapi kami tetap memelihara bakat yang sudah ada sejak jaman dulu. Hingga kini kami tak pernah melupakannya." "Kau bisa berada di dua tempat di waktu yang bersamaan," kataku. "Para penjaga melihatmu di luar, sementara aku melihatmu di taman." Kenji membungkuk. "Kami dapat memisahkan diri dan meninggalkan tubuh. Kami bisa menghilang dari pandangan dan bergerak lebih cepat dari yang bisa diikuti mata. Penglihatan dan pendengaran yang tajam adalah sifat kami yang lain. Tribe mengasah kemampuan ini dengan latihan yang keras. Dan seandainya kemampuan itu berguna di wilayah yang sedang berperang, kami akan dibayar mahal. Bahkan, sebagian besar anggota Tribe pernah menjadi mata-mata atau pembunuh." Darahku serasa mengering. Aku teringat bagaimana aku seperti terbelah dua di bawah pedang Iida. Dan pendengaranku yang makin kuat, aku bisa mendengar semua bunyi dan suara yang berasal dari rumah, taman dan juga dari kota. "Kikuta Isamu, yang aku yakini adalah ayahmu, termasuk salah satunya. Ibu dan ayah Isamu adalah sepupu sehingga dia menggabungkan anugrah paling kuat yang dimiliki Kikuta. Saat berumur tiga puluh tahun, dia menjadi pembunuh yang paling sempurna. Tak ada yang tahu berapa banyak yang telah dia bunuh; sebagian besar korbannya nampak seperti mati alami. Orang tidak tahu banyak tentang dirinya. Dia ahli membuat racun dari ramuan dari tumbuhan gunung yang dapat membunuh tanpa ada jejak." "Saat dia ke wilayah Timur-kau tahu daerah yang kumaksud-untuk mencari ramuan racun, dia menginap di desa milik kaum Hidden. Orang desa itu mengatakan tentang tuhan mereka, larangan untuk membunuh, dan tentang pembalasan di hari akhir-kau tahu itu semua, tak perlu kuceritakan lagi. Di tempat terpencil yang jauh dari pertempuran antar klan itu, Isamu merasa muak dengan hidup yang dia jalani. Mungkin dia menyesal. Mungkin juga karena kematian telah memanggilnya. Lalu, dia menarik diri dari Tribe dan bergabung dengan kaum Hidden." "Itukah alasannya sehingga dia dibunuh?" tanya Lord Shigeru dengan nada murung. "Dia telah melanggar aturan Tribe, dan mereka tak senang ditinggalkan dengan cara seperti itu, apalagi orang itu memiliki kemampuan yang begitu hebat. Kemampuan yang sangat langka. Tapi, sejujurnya, aku tak tahu apa yang terjadi padanya. Bahkan aku tak tahu kalau dia punya anak. Takeo, atau siapa pun nama aslinya, pasti terlahir setelah ayahnya mati." "Siapa yang membunuhnya?" tanyaku, mulutku teras kering. "Tak ada yang tahu! Banyak orang yang ingin dia mati. Tentu saja tak akan ada yang bisa mendekatinya, seandainya dia tidak bersumpah untuk tidak membunuh lagi." Suasana menjadi hening. Selain lingkaran cahaya dari lampu, ruangan ini gelap gulita. Aku tidak bisa nielihat wajah mereka berdua, meskipun aku yakin Kenji bisa melihatku. "Apakah ibumu tidak pernah bercerita tentang ayahmu?" Akhirnya dia bertanya. Aku menggeleng. Banyak hal yang tidak diceritakan kaum Hidden, banyak pula rahasia yang mereka rahasiakan satu sama lain. Mereka tidak akan membongkar rahasia walaupun disiksa. Jika kau tidak tahu rahasia saudaramu, kau tak akan bisa berkhianat. Kenji tertawa. "Akuilah, Shigeru. Kau pasti tak tahu siapa yang kau bawa ke rumah ini. Bahkan Tribe tidak tahu keberadaannya-seorang anak dengan bakat Kikuta yang tersembunyi!" Lord Shigeru tidak menjawab. Dia mencondongkan badannya ke lampu, bisa kulihat senyumnya, gembira dan tulus. Kurasa ada sesuatu yang berlawanan antara kedua orang ini; Lord Shigeru nampak sangat terbuka, sedangkan Kenji nampak licik dan penuh tipu daya. "Aku perlu tahu semua kejadian ini. Aku tidak berbohong, Shigeru. Aku memang ingin tahu." kata Kenji memaksa. Aku mendengar Chiyo bergumam di tangga. Lord Shigeru berkata, "Ayo kita mandi dan makan dulu. Nanti kita lanjutkan lagi." Dia tidak ingin lagi aku di rumahnya setelah tahu aku anak seorang pembunuh. Itulah yang pertama kali terlintas di benakku saat aku berendam di bak yang berisi air panas, setelah Lord Shigeru dan Kenji mandi. Aku mendengar suara mereka di lantai atas sedang minum sake sambil mengenang masa lalu. Aku memikirkan ayahku, orang yang belum pernah kukenal. Aku sedih karena dia tidak bisa lari dari latar belakangnya. Dia telah bertekad untuk tidak membunuh, tapi pembunuhan yang tidak membiarkan dia lepas. Kematian memburunya hingga jauh di Mino. Pada tempat yang sama, bertahun-tahun kemudian, Iida membantai kaum Hidden. Aku menatap jari-jariku yang panjang. Untuk apa jari-jariku ini diciptakan? Apakah untuk membunuh? Apa pun yang kuwarisi dari ayahku, tetap saja aku anak ibuku juga. Diriku adalah jalinan dua darah yang berbeda, dan keduanya saling memanggil dari dalam darah, otot, dan tulangku. Aku teringat akan kemarahanku pada penjaga. Aku bertingkah layaknya tuan mereka. Apakah ini darah yang ketiga di dalam diriku, dan akankah Lord Shigeru mengusirku setelah dia tahu diriku yang sebenarnya? Semua pikiran itu terasa begitu menyakitkan, terlalu sulit untuk diluruskan. Chiyo memanggilku untuk segera makan. Air tempatku berendam sudah tidak panas lagi dan aku pun merasa lapar. Ichiro telah bergabung dengan Lord Shigeru dan Kenji, dan makanan telah disiapkan. Mereka sedang membicarakan hal-hal sepele saat aku masuk: tentang cuaca, penataan taman, kemampuan belajarku yang lemah dan juga tentang kelakuanku yang buruk. Ichiro masih kesal karena aku menghilang sore itu. Makanan yang disajikan jauh lebih enak dari biasanya, tapi hanya Ichiro yang menikmatinya. Kenji makan dengan rakus, sedangkan Lord Shigeru hampir tidak menyentuh makanannya. Rasa lapar dan mual datang silih berganti, aku takut tapi juga tak sabar menantikan saat-saat makan berakhir. Ichiro makan sangat banyak dan pelan hingga aku berpikir dia tak akan pernah selesai makan. Dua kali aku mengira dia akan berhenti makan, tapi ternyata dia masih menambah "sesuap nasi" lagi. Akhirnya, dia mengelus-elus perutnya dan bersendawa. Dia hendak melanjutkan obrolan tentang taman, tapi Lord Shigeru memberi isyarat untuk diam. Setelah mengeluarkan beberapa komentar dan lelucon tentang diriku, dia pun diam. Haruka dan Chiyo datang membereskan tempat makan. Langkah kaki dan suara mereka terdengar menjauh ke dapur. Kenji duduk di depanku, tangannya terulur dengan telapak tangan terbuka ke arah Lord Shigeru. "Bagaimana?" dia bertanya. Ingin rasanya aku pergi bersama kedua pelayan itu. Aku tak ingin duduk di sini sementara mereka menentukan nasibku. Karena kuyakin itu yang akan terjadi. Kenji pasti akan berusaha meyakinkan bahwa aku adalah bagian dari Tribe. Dan Lord Shigeru tentu akan melepasku pergi. "Aku tidak tahu mengapa informasiku ini begitu penting bagimu, Kenji," kata Lord Shigeru. "Aku senang kau belum mengetahuinya. Bila aku katakan, kuharap hal ini tidak menyebar. Bahkan di rumah ini tak ada yang tahu selain Ichiro dan Chiyo." "Kau benar ketika mengatakan aku tidak tahu siapa yang aku bawa. Semua ini hanya kebetulan. Waktu itu hari menjelang senja, aku tersesat dan mencari tempat menginap, yang kemudian aku tahu bahwa nama desa itu adalah Mino. Telah berminggu-minggu aku berkelana setelah kematian Takeshi." "Kau hendak membalas dendam?" tanya Kenji. "Kau sudah tahu permusuhanku dengan Iida-dan bagaimana tingkahnya setelah perang Yaegahara. Tapi aku tidak menduga akan bertemu Iida di tempat yang terpencil itu. Suatu kebetulan yang aneh kalau kami berdua, musuh bebuyutan, berada di tempat dan hari yang sama. Seandainya aku bertemu Iida di sana, aku pasti sudah membunuhnya. Tapi anak ini malah lari ke arahku." Dia menceritakan sekilas tentang pembantaian itu, peristiwa Iida terjatuh dari kuda, dan beberapa laki-laki mengejarku. "Semua itu terjadi dalam sekejap. Mereka mengancamku. Mereka bersenjata. Tentu saja aku harus membela diri." "Mereka tahu siapa kau sebenarnya?" "Tidak, kurasa. Aku memakai pakaian pengembara, tidak ada simbol apa pun. Saat itu cuaca gelap dan hujan." "Tapi, kau tahu kalau mereka orang Tohan?" "Mereka mengatakan bahwa Iida mengejar anak itu. Satu alasan yang cukup bagiku untuk memberi perlindungan pada anak ini." Kenji berkata, berusaha mengganti topik pembicaraan. 'Aku dengar Iida sedang membentuk persekutuan resmi dengan Otori." "Benar. Kedua pamanku ingin berdamai, walaupun kami tidak setuju." "Jika Iida tahu anak ini ditolong olehmu, maka persekutuan tak akan terjadi." "Kau tak perlu mengatakan apa yang aku sudah tahu," sahut Lord Shigeru dengan nada kesal. "Lord Otori," kata Kenji dengan caranya yang sinis sambil membungkuk. Semua terdiam. Kemudian Kenji menghela napas. "Baiklah, takdir yang memutuskan hidup kita akan seperti apa, tak peduli apa yang kita pikirkan atau kita rencanakan. Siapa pun yang mengirim Shintaro untuk melawanmu, akibatnya tetap sama. Dalam seminggu, Tribe akan tahu tentang Takeo. Aku harus mengatakan bahwa kami memiliki kepentingan atas anak ini dan kami tak akan melepaskannya." Aku berkata dengan lemah, "Aku telah diselamatkan Lord Otori dan aku tak akan meninggalkannya." Lord Shigeru menepuk-nepuk bahuku layaknya seorang ayah. "Aku tak akan pernah menyerahkan dia," kata Lord Shigeru pada Kenji. "Kami mengutamakan keselamatannya," balas Kenji. "Selama dia aman, dia boleh tinggal di sini. Tapi, ada satu hal yang harus kau waspadai. Berapa orang Tohan yang kau bunuh di sana?" "Satu," jawab Lord Shigeru, "mungkin dua." "Satu," Kenji meralat. Alis mata Lord Shigeru terangkat, "Kau sudah tahu. Lalu kenapa kau tanya lagi?" 'Aku hanya ingin mengetahui yang sebenarnya dan seberapa banyak yang kau tahu." "Satu, dua-apakah itu penting?" "Orang yang kehilangan lengannya masih hidup. Namanya Ando. Dia orang terdekat Iida." Aku langsung teringat wajah orang yang mirip serigala itu. Dia yang mengejarku hingga ke jalan setapak di gunung, dan aku tidak mampu menahan badanku yang menggigil ketakutan. "Dia tidak tahu siapa kau sebenarnya, dan juga belum tahu di mana Takeo berada. Tapi dia sedang mencari. Dengan ijin Iida, dia telah bersumpah untuk membalas dendam." "Aku sudah tidak sabar menantinya," jawab Lord Shigeru. Kenji berdiri dan berjalan berkeliling ruangan. Kenji duduk, dia tersenyum, seakan-akan kami sedang bersenda-gurau dan berbincang tentang taman. "Bagus," katanya. "Karena kita sudah tahu bahaya yang dihadapi Takeo, maka aku akan ajari dia cara untuk melindungi diri." Lalu dia melakukan sesuatu yang membuatku heran: dia membungkuk di hadapanku dan berkata, "Selama aku hidup, kau akan aman. Aku bersumpah." Kupikir dia sedang mengejek, tapi tidak terlihat kepura-puraan di wajahnya. Selama beberapa saat, aku melihat raut muka yang jujur di wajahnya. Aku seperti melihat Jato dalam keadaan hidup. Lalu raut wajah itu menghilang, dan Kenji bergurau. "Tapi kau harus menuruti perintahku!" Dia menyeringai padaku. "Kau pasti telah membuat Ichiro repot. Orang seusianya tak seharusnya direpotkan oleh pemula sepertimu. Aku yang akan mengajarimu. Aku yang akan menjadi gurumu." Dia mengibaskan kimono dan mengerutkan bibirnya, seketika dia berubah menjadi seseorang yang tua dan sopan, seperti saat aku meninggalkannya di luar gerbang sore itu. "Tentu saja bila Lord Otori mengijinkan." "Kurasa tak ada pilihan lain," kata Lord Shigeru, dia lalu menuangkan sake lebih banyak lagi, sambil tersenyum tulus. Mataku tak berkedip memandangi kedua orang itu secara bergantian. Sekali lagi, aku menangkap perbedaan yang mencolok di antara mereka. Tatapan mata Kenji nampak seperti menghina. Kini aku mulai mengenal Tribe, aku tahu kelemahan mereka adalah sombong. Mereka terlena oleh kemampuan mereka yang sangat menakjubkan, dan memandang rendah orang yang bukan dari golongannya. Wajah Kenji membuatku marah. Tak lama kemudian pelayan datang membentangkan alas tidur lalu memadamkan lampu. Selama beberapa saat aku berbaring sambil mendengarkan suara-suara di malam hari. Semua kejadian dan cerita tadi mulai tersusun di benakku. Ingatanku terpecah, lalu bersatu, dan tersusun lagi seperti semula. Hidupku ini bukan milikku lagi. Kini aku rela mati demi Lord Shigeru. Tapi, bagaimana kalau dia tidak secara kebetulan datang ke arahku di gunung itu, seperti apa yang dia katakan... Apakah memang hanya kebetulan? Semua orang, termasuk Kenji, menerima ceritanya: semua itu hanya terjadi dalam sekejap-ada anak yang berlari, orang-orang yang mengancam, pertarungan itu... Aku berusaha menghilangkan semua kejadian itu di benakku. Namun aku justru teringat bahwa jalan setapak di depanku tidak ada apa-apa. Di sana hanya ada pohon raksasa, pohon cedar, dan ada yang muncul dari balik pohon, lalu meraihku-bukan secara kebetulan, tapi dengan sengaja. Aku memikirkan Lord Shigeru, ternyata hanya sedikit yang aku tahu tentang dia. Semua orang mengenalnya dari wajahnya yang impulsif, hangat, dan dermawan. Aku yakin dia memiliki semua sifat itu, tapi aku selalu memikirkan rahasia di balik semua itu. Aku tak akan menyerahkannya, itu yang dia katakan. Tapi, kenapa dia hendak mengadopsi orang Fribe, anak seorang pembunuh. Aku teringat bangau yang sabar menunggu sebelum menyambar mangsanya. Aku tertidur setelah langit mulai terang dan ayam mulai berkokok. Para penjaga senang sekali atas kemalanganku saat tahu kalau Muto Kenji diangkat menjadi guruku. "Hati-hati dengan kakek itu, Takeo! Dia sangat berbahaya. Dia bisa menikammu dengan sikat!" Tak ada habis-habisnya mereka menertawaiku. Aku belajar untuk tidak menanggapi. Jauh lebih baik mereka mengira aku idiot daripada mereka tahu identitas asli orang tua itu, kemudian menyebarkannya. Itu pelajaran pertama yang aku terima. Aku mulai membayangkan berapa banyak pelayan dan penjaga yang berwajah bodoh sebenarnya berasal dari Tribe dan sedang melakukan tugasnya dengan penuh tipu daya dan kelicikan. Kenji mengawali pelajarannya dengan sejarah Tribe, sedangkan Ichiro masih mengajariku tentang sejarah klan. Para ksatria, kebalikan dari Tribe, berusaha mengumpulkan rasa kagum dan rasa hormat dari orang lain, mereka menghargai reputasinya dan akan berusaha menjaganya. Aku diajari sejarah, etika dan juga bahasa. Aku diharuskan mempelajari dokumen klan Otori, asal-usul Otori yang berasal dari keluarga Kaisar. Semua itu membuat kepalaku penuh dengan nama dan silsilah. Siang berjalan semakin cepat, dan malam semakin dingin. Tidak lama lagi salju akan menutupi jalan dan pelabuhan, dan kota Hagi akan terisolasi hingga musim semi. Rumah ini mulai mengalunkan nyanyian yang berbeda, halus dan lembut. Ada sesuatu yang membuat semangat belajarku meningkat pesat. Menurut Kenji, itu adalah karakter Tribe karena telah bertahun-tahun tidak belajar. Aku mempelajari apa saja, mulai dari menulis huruf yang sulit sampai keinginan yang menggebu-gebu untuk berlatih pedang. Semua itu aku pelajari dengan senang hati, kecuali pelajaran dari Kenji yang aku terima dengan setengah hati. Walaupun pelajarannya tidaklah sulit-bisa aku terima secara alami-tapi ada perasaan untuk menolak, sesuatu dalam diriku menentang apa yang Kenji ajarkan. "Anggap saja ini permainan," Kenji selalu mengatakan kata-kata ini. "Lakukan seperti layaknya kau sedang bermain." Tapi, permainan pedang adalah permainan yang bisa berakhir dengan kematian. Kenji benar saat menyimpulkan sifatku. Aku besar di kalangan orang yang melarang untuk membunuh, sehingga aku merasa enggan untuk membunuh. Kenji sangat mengenali sifatku yang satu itu. Hal itu yang membuatnya tidak tenang. Dia dan Lord Shigeru barangkali membahas berbagai cara agar aku menjadi lebih tangguh. "Dia memiliki semua bakat yang ada, kecuali yang satu itu," kata Kenji dengan frustasi pada suatu ketika. "Kelemahan yang justru dapat membahayakan dirinya." "Kita tak akan tahu," balas Lord Shigeru. "Saat keadaan memaksa, pedang bisa meloncat ke tangan, seakan menuruti kehendak pemiliknya." "Kau memang terlahir seperti itu, Shigeru, dan semua latihan yang kau dapat justru memperkuat hal itu. Kurasa Takeo akan ragu di saat seperti itu." "Uuuuh," gerutu Lord Shigeru. Dia mendekat ke tungku arang, dan menarik rapat mantel yang dia pakai. Seharian salju turun. Butirannya menumpuk di taman, melapisi setiap pohon, dan setiap lentera seperti mengenakan tutup kepala putih yang tebal. Langit jernih dan embun beku membuat lapisan salju nampak berkelap-kelip. Setiap bernapas atau berbicara, kabut putih keluar dari mulut. Semua orang sudah terlelap, selain kami bertiga yang sedang mengelilingi perapian sambil menghangatkan tangan di atas secangkir sake panas. Ini membuatku berani bertanya, "Lord Otori sudah membunuh banyak orang?" "Aku tidak menghitungnya," jawab Lord Shigeru. "Selain di Yaegahara, mungkin tidak banyak. Aku belum pernah membunuh orang yang tidak bersenjata, atau membunuh hanya untuk bersenang-senang seperti yang orang-orang kejam itu lakukan. Lebih baik kau tetap seperti sekarang ini daripada menjadi kejam seperti orang-orang itu." Ingin aku bertanya, Apakah kau akan menggunakan pembunuh untuk membalas dendam? namun aku tidak berani. Aku memang tidak suka kekejaman dan enggan membunuh. Tapi, keinginan Lord Shigeru untuk balas dendam telah meresap ke dalam diriku sehingga terasa seperti menjadi keinginanku. Malam telah menjelang pagi saat aku membuka jendela dan memandang ke taman. Bulan yang pucat dan sebuah bintang bersanding mesra di langit, begitu rendah seolah-olah sedang mendengar rahasia orang yang sedang terlelap. Udara pun terasa dingin menusuk. Aku pasti bisa membunuh, pikirku. Aku pasti bisa membunuh Iida. Lalu, akan kubunuh dia. Aku akan pelajari caranya. Beberapa hari kemudian aku mengejutkan Kenji dan juga diriku sendiri. Kemampuan Kenji yang bisa berada di dua tempat dalam waktu bersamaan biasanya masih bisa menipuku. Aku melihat ada orang yang berbusana kimono lusuh sedang duduk mengawasi. Aku sedang berlatih ketangkasan tangan dan salto, ketika suaranya memanggil dari sisi luar bangunan. Namun sekali ini aku seperti mendengar napasnya sehingga aku tahu bahwa yang duduk itu adalah Kenji yang asli sedangkan yang di luar bangunan bukan Kenji yang asli. Aku melompat ke arahnya, mencekik lehernya, dan merobohkan dia bahkan sebelum aku sempat berpikir, Apakah ini yang asli? Dan tanganku bergerak dengan sendirinya ke urat nadi di lehernya yang bila ditekan bisa mengakibatkan kematian. Aku berhasil melumpuhkan dia dalam sekejap. Aku menarik tanganku dari lehernya dan kami saling memandang. "Ya," katanya. "Begitulah caranya!" Aku melihat jari jemariku yang panjang seolah-olah jari ini milik orang lain. Tanganku melakukan sesuatu tanpa kusadari. Saat berlatih menulis dengan Ichiro, aku membuat goresan, dan terciptalah lukisan burung. Burung itu seakan-akan hendak terbang menembus kertas. Aku juga pernah membuat beberapa goresan dan terlukis wajah orang yang belum pernah aku kenal. Ichiro memukul kepalaku karena melukis, tapi lukisanku itu membuatnya senang sehingga dia perlihatkan pada Lord Shigeru. Lord Shigeru gembira, begitu pula Kenji. "Itulah sifat Kikuta," Kenji bangga, seolah-olah dia yang melukis. "Sangat berguna. Itu akan memberi dia suatu peran, suatu penyamaran yang sempurna. Dia adalah seorang seniman: dia bisa melukis dan tak akan ada yang menduga kalau dia memiliki pendengaran yang sangat tajam." Lord Shigeru lalu memintaku melukis lagi, "Coba lukis orang yang bersenjata," perintahnya. Wajah mirip serigala tampak seperti hendak menangkap alat lukisku. Lord Shigeru melihat lukisan itu, "Aku ingat orang ini," gumamnya. Begitulah, seorang ahli lukis telah lahir, dan seiring dengan berlalunya musim dingin, karakterku yang baru mulai berkembang. Setelah salju mencair, Tomasu yang sebelumnya sering menjelajahi gunung dan hanya tahu tentang hewan dan tumbuhan, kini telah menghilang untuk selamanya. Kini aku adalah Takeo yang pendiam, sopan, seniman dan agak kutu buku. Suatu penyamaran untuk menyembunyikan ketajaman mata dan pendengaran, dan hati yang penuh dendam. Aku tidak tahu apakah Takeo ini nyata ataukah hanya diciptakan demi memenuhi tujuan Tribe, dan klan Otori. * EMPAT DAUN bambu memutih dan buah maple memamerkan kulitnya yang mirip kimono dari kain brokat. Junko datang membawa beberapa pakaian usang milik Lady Noguchi untuk Kaede. Dengan hati-hati dia membentangkan pakaian-pakaian itu, lalu dia jahit lagi untuk mcnyembunyikan bagian yang lusuh ke bagian dalam pakaian. Seiring hari-hari yang makin dingin, Kaede bersyukur karena ia tak lagi tinggal di kastil. Tak harus berlari melintasi taman dan naik turun tangga saat hujan salju turun. Tugasnya pun makin ringan. Ia Menjalani hari-harinya bersama pelayan Noguchi, mengikuti kegiatan menjahit dan ketrampilan rumah tangga lainnya, serta membuat puisi. Ia juga belajar menulis. Namun semua itu tak membuat Kaede bahagia. Lady Noguchi selalu saja mencari-cari kesalahannya, Kaede dihina karena kidal dan diejek karena terlalu tinggi atau karena terlalu kurus. Lady Noguchi selalu menyatakan kekagetannya atas ketidaktahuan Kaede dalam banyak hal, tanpa pernah mengakui bahwa semua itu karena ulahnya. Saat hanya berdua, Junko selalu memuji Kaede: kulitnya yang putih, lengan dan kakinya yang lembut, dan rambutnya yang tebal. Kini Kaede bisa bercermin kapan saja dia mau untuk mengagumi kecantikannya sendiri. Ia tahu kalau laki-laki menatapnya dengan pandangan bergairah, juga di rumah Lord Noguchi ini. Itulah mengapa Kaede takut pada semua laki-laki. Sejak ia hendak diperkosa oleh penjaga, ia kini merinding bila berdekatan dengan laki-laki. Ide mengenai pernikahan akan membuat ia gemetar. Setiap ada tamu, ia cemas kalau-kalau orang itu adalah calon suaminya. Ketika ia harus menyambut kedatangan tamu sambil menyajikan teh atau sake, jantungnya berdebar dan tangannya gemetar sehingga Lady Noguchi menganggap Kaede terlalu ceroboh dan, harus dikurung di tempat tinggal pelayan. Kaede semakin bosan dan gelisah. Ia sering bertengkar dengan anak Lady Noguchi, menghardik para pelayan karena hal yang sepele, bahkan sering memarahi Junko. "Dia harus segera dinikahkan," itulah saran Lady Noguchi, dan pernikahan yang selama ini Kaede takutkan segera diatur. Ia akan dinikahkan dengan pengawal Lord Noguchi. Hadiah pertunangan telah diberikan, dan Kaede baru bertemu calon suaminya ketika dipertemukan oleh Lord Noguchi. Orang itu sudah tua-orang itu tiga kali lebih tua, sudah dua kali menikah, dan secara fisik amat menjijikkan. Kaede sadar kalau orang itu tak pantas untuknya. Pernikahan ini hanya untuk menghina dirinya dan keluarganya. Ia hendak dibuang seperti sampah. Kaede menangis dan tidak mau makan selama berhari-hari. Suatu malam, seminggu sebelum pesta pernikahan, ada orang datang membawa pesan. Kemudian Lady Noguchi memanggil Kaede dengan marah. "Kau memang membawa sial, Lady Shirakawa. Kau pasti dikutuk. Calon suamimu mati." Orang itu mati saat merayakan akhir masa dudanya. Dia mabuk-mabukan bersama teman-temannya ketika mendadak dia mati karena terlalu banyak minum sake. Kaede merasa lega, meskipun kematian kedua ini dianggap sebagai kesalahannya. Dua orang telah mati ketika menginginkan dirinya, dan rumor pun mulai menyebar. Siapa pun yang menginginkan dirinya pasti akan mati. Kaede berharap rumor itu akan menjauhkan keinginan orang untuk menikahinya. Namun pada suatu malam, menjelang akhir bulan ketiga, saat pohon mulai clitumbuhi daun-daun baru yang cemerlang, Junko berbisik pada Kaede, "Salah seorang anggota klan Otori akan menjadi suamimu, Lady." Ketika itu mereka sedang menyulam, dan Kaede langsung kehilangan irama jahitan sehingga jarinya tertusuk jarum. Junko langsung menyingkirkan kain sutra yang sedang disulam sebelum terkena tetesan darah. "Siapa dia?" tanya Kaede sambil menghisap jarinya yang berdarah, darahnya terasa asin. 'Aku tidak tahu pasti. Lord Iida yang memutuskan karena pemimpin Tohan itu ingin merekatkan hubungan dengan klan Otori. Dengan begitu, mereka akan dapat menguasai seluruh Wilayah Tengah." "Berapa umurnya?" Kaede terus bertanya. "Belum jelas, Lady. Tapi, umur bukanlah hal yang penting untuk menjadi suami." Kaede melanjutkan sulamannya: bangau putih dan kura-kura biru dengan latar belakang merah jambusebuah kimono pengantin. "Semoga kimono ini tidak pernah selesai!" "Bergembiralah, Lady. Kau akan segera pergi dari sini. Klan Otori tinggal di Hagi, di pesisir pantai. Sangat cocok untukmu." "Pernikahan membuatku takut," ucap Kaede. "Semua orang takut kalau belum tahu! Tapi semua wanita menikmatinya; kau akan tahu nanti," Junko tertawa kecil. Kaede teringat kekuatan dan gairah penjaga itu, dan reaksi dirinya. Tangannya, yang biasanya menyulam dengan cekatan dan tangkas, kini melambat. Junko menegurnya dengan lembut, dan sepanjang hari itu, dia melayani Kaede dengan penuh kasih sayang. Beberapa hari kemudian Kaede dipanggil Lord Noguchi. Ia masuk ke ruang pertemuan dengan ragu bercampur takut. Tapi ia kaget ketika melihat ayahnya duduk di tempat kehormatan, di samping Lord Noguchi. Saat membungkuk, ia melihat wajah bahagia ayahnya, dan Kaede bangga karena ayahnya kini melihat ia dalam posisi yang lebih terhormat. Ia bersumpah tak akan pernah melakukan sesuatu yang akan membuat ayahnya bersedih atau dihina. Ketika Kaede disuruh duduk, ia berusaha memperhatikan ayahnya. Rambutnya semakin tipis dan lebih banyak uban, lebih banyak kerutan di wajahnya. Kaede tidak sabar menanti kabar tentang ibu dan adik-adik pcrempuannya. Ia berharap akan diberi waktu untuk bicara berdua saja dengan ayahnya. "Lady Shirakawa," ujar Lord Noguchi memulai pembicaraan. "Kami telah menerima lamaran atas namamu, dan ayahmu datang untuk memberi restu." Kaede kembali membungkuk dan berkata dengan pelan, "Lord Noguchi." "Ini merupakan kehormatan besar untukmu. Pernikahan ini akan mempererat persekutuan antara Tohan dengan Otori, dan juga menggabungkan tiga keluarga. Lord Iida akan hadir di pernikahanmu: dia bahkan ingin pernikahan ini dirayakan di Inuyama. Karena ibumu sekarang kurang sehat, maka kerabatmu, Lady Maruyama, yang akan menemanimu ke Tsuwano. Calon suamimu adalah Otori Shigeru, keponakan dari pemimpin Otori. Dia dan pengawalnya akan bertemu denganmu di Tsuwano. Tidak perlu persiapan lain. Semua sudah sangat memuaskan." Kaede menatap ke ayahnya saat mendengar kalau ibunya sedang kurang sehat. Ia hampir tidak mendengar kelanjutan perkataan Lord Noguchi. Ia sadar bahwa semuanya telah diatur: beberapa kimono selama perjalanan dan untuk pesta pernikahan, juga orang yang akan menemaninya. Sudah pasti Lord Noguchi telah menyiapkan semua ini dengan matang. Lord Noguchi melontarkan lelucon tentang kematian penjaga sehingga wajah Kaede merona merah. Ayahnya menunduk. Aku senang Lord Noguchi kehilangan anak buahnya, pikir Kaede marah. Semoga dia kehilangan ratusan lainnya. Ayahnya pulang keesokan harinya. Kesehatan ibunya yang kurang sehat membuat ayahnya tak bisa berlama-lama. Lord Noguchi yang sedang gembira memberinya kesempatan untuk berdua saja dengan puterinya. Kaede mengajak ayahnya ke suatu ruangan kecil yang menghadap ke taman. Udara yang hangat dipenuhi dengan keharuman musim semi. Seekor burung sedang berkicau di ranting pohon pinus. Junko menyeduh teh untuk mereka. Sopan santun dan perhatian Junko meringankan kesedihan ayahnya. "Aku senang kau telah mempunyai teman, Kaede," ujar ayahnya pelan. "Bagaimana kabar ibu?" tanya Kaede cemas. "Kuharap dia segera sehat. Aku takut musim hujan ini akan membuat kondisinya semakin lemah. Namun, pernikahan ini membuatnya bersemangat. Klan Otori sangat termashyur, dan Lord Shigeru adalah orang baik. Reputasinya bagus. Dia sangat disukai dan dihormati. Calon suami yang sangat kami harapkan untukmu-bahkan lebih dari harapan kami." "Aku juga senang," ujar Kaede, berbohong demi menyenangkan ayahnya. Lord Shirakawa menatap pohon sakura di taman yang mulai berbunga, setiap pohon seakan melamunkan keindahannya sendiri. "Kaede, tentang penjaga yang mati...," "Itu bukan salahku," jawab Kaede cepat. "Kapten Arai yang melakukan itu untuk melindungiku. Penjaga itu yang salah." Ayahnya menarik napas panjang. "Kabarnya kau berbahaya bagi laki-laki-sesuatu yang harus Lord Otori waspadai. Tapi tak ada yang boleh mencegah terjadinya pernikahan ini. Mengertikah kau, Kaede? Jika batal karena ulahmu-maka kita semua akan mati." Kaede membungkuk dalam, dadanya terasa sesak. Kini ayahnya nampak seperti orang asing. "Selama ini kau telah dibebani untuk menjaga keselamatan keluarga kita. Ibu dan adikmu sangat rindu kepadamu. Bila bisa memilih, aku berharap agar keadannya berbeda. Andai aku langsung bergabung dengan Iida dalam perang Yaegahara, tanpa menunggu siapa yang akan menang... Tapi semua itu telah berlalu. Lord Noguchi telah memutuskan bahwa kau akan dibiarkan hidup asalkan pernikahan ini berjalan lancar. Aku tahu kau tak akan mengecewakan kami." "Ayah," kata Kaede bersamaan dengan masuknya hembusan angin dari taman, bunga putih dan merah jambu yang gugur menutupi taman sehingga menyerupai tumpukan salju. Lord Shirakawa pulang keesokan harinya. Kaede menatap kepergian ayahnya yang menunggang kuda diikuti beberapa pengawal yang telah mengabdi sejak ia belum lahir, dan ia masih ingat nama-nama mereka: sahabat dekat ayahnya yang bernama Shoji, dan yang muda bernama Amano, umurnya hanya terpaut beberapa tahun dari Kaede. Saat rombongan itu melewati gerbang kastil, kaki kuda merusak bunga sakura yang terhampar di jalan berbatu. Kaede berlari ke puncak menara untuk mengiringi kepergian ayahnya. Akhirnya, anjing-anjing berhenti menggonggong, dan rombongan ayahnya tidak nampak lagi. Kelak, bila bertemu dengan ayahnya lagi, ia tentu telah menikah dan pulang dalam suasana yang formal. Kaede kembali ke rumah sambil menahan air mata di pelupuk matanya. Ia tetap tidak bergairah meskipun ia mendengar ada orang yang sedang bercakap-cakap dengan Junko. Jenis percakapan yang sangat dihindari oleh Kaede, terlebih lagi saat mendengar tawa genit dan suara nyaring gadis itu. Ia bisa membayangkan gadis itu, kecil dengan pipi bulat seperti boneka, langkah kaki yang pendek seperti burung, serta kepala yang selalu bergoyang dan mengangguk-angguk. Saat ia bergegas ke kamar, Junko dan gadis itu sedang menyelesaikan gaun pengantinnya. Keluarga Noguchi sepertinya tidak mau membuang-buang waktu untuk segera menyingkirkan dirinya. Beberapa keranjang bambu dan kotak kayu dari pohon paulownia telah disiapkan. Semua ini membuat Kaede semakin kesal. "Kenapa dia ada di sini?" tanya Kaede jengkel. Gadis itu lalu menyembah secara berlebihan. "Ini Shizuka," kata Junko. "Dialah yang akan menemani Lady Kaede ke Inuyama." "Tidak," balas Kaede. "Kaulah yang akan menemaniku." "Lady, mustahil aku boleh ikut. Lady Noguchi tidak akan mengijinkan." "Kalau begitu, minta dia mengirim orang lain." Shizuka, dalam keadaan menyembah, mengeluarkan suara tersedu-sedan. Kaede, yang merasa yakin kalau orang ini hanya berpura-pura, tetap tidak bergeming. "Mungkin kau sedang kesal, Lady. Berita tentang pernikahanmu, dan kepergian ayahmu..." Junko berusahia menentramkan Kaede. "Dia gadis yang baik, cantik dan cerdas. Duduk tegak Shizuka, Lady Shirakawa ingin melihatmu." Gadis itu lalu duduk, tapi matanya tidak menatap ke Kaede. Dari matanya yang menunduk, tampak air matanya berlinang. Dia sesenggukan. "Lady, kumohon jangan mengusirku. Aku akan lakukan apa pun untukmu. Aku berjanji, tak akan ada orang yang dapat menjagamu lebih baik dariku, aku akan memayungimu di saat hujan, aku akan menghangatkan kakimu dengan tubuhku saat kau kedinginan." Air matanya mengering dan dia tersenyum kembali. "Kau tak mengatakan kalau Lady Shirakawa cantik sekali," kata gadis itu pada Junko. "Tak heran laki-laki rela mati untuknya!" "Jangan katakan itu!" bentak Kaede. Ia mendekat ke pintu dengan marah. Dua orang yang bertugas mengurus taman sedang membersihkan lumut di kolam. "Aku lelah mendengar kata-kata itu." "Akan selalu ada orang yang mengatakan itu," Junko mengingatkan. "Kata-kata itu sudah menjadi bagian dari hidupmu." "Aku akan senang sekali bila laki-laki rela mati demi aku," ujar Shizuka sambil tertawa. "Tapi mereka begitu mudah jatuh cinta lalu bosan kepadaku, sama seperti perasaanku pada mereka!" Shizuka menggeser tubuhnya dengan menggunakan lututnya ke kotak kayu dan mulai melipat gaun sambil bersenandung lirih. Suaranya jernih dan jelas. Dia melantunkan balada sepasang kekasih di desa kecil di tepi hutan pinus. Kaede yakin gadis itu sedang mengenang masa kanak-kanaknya. Ini membuat Kaede sadar bahwa masa kecilnya telah berlalu, ia akan menikahi orang yang belum dikenalnya, dan ia tak akan sempat mengenal arti cinta. Penduduk desa mungkin boleh jatuh cinta, tapi tidak bagi orang seperti dirinya, cinta tidak masuk dalam hitungan. Kaede melintasi ruangan dan, berlutut di sisi Shizuka, merebut pakaiannya dengan kasar. "Jika kau ingin melakukannya, lakukan dengan benar!" "Ya, Lady," Shizuka mengumpulkan kimono yang ada di sekitarnya sambil menyembah. "Terima kasih Lady, kau tak akan menyesal telah menerimaku!" Ketika kembali duduk, Shizuka berkata lirih, "Orang mcegatakan Lord Arai sangat memperhatikan Lady Shimkawa. Mereka mengatakan Lord Arai telah menjaga kehormatan Lady." "Kau mengenal Arai?" tanya Kaede tajam. "Kami dari kota yang sama, Lady. Dari Kumamoto." Junko tersenyum lebar. "Aku akan tenang bila Shizuka yang menjagamu." Sejak saat itu Shizuka telah menjadi bagian dari hidup Kaede, sikapnya yang menyebalkan dan menyenangkan datang silih berganti. Dia gemar menyebar gosip, menghilang ke dapur, istal, kastil, dan kemudian datang dengan membawa cerita baru. Semua orang senang kepadanya dan dia juga tidak takut pada laki-laki. Sejauh yang bisa Kaede lihat, justru laki-laki yang takut padanya, takut akan kata-katanya yang pedas dan lidahnya yang tajam. Walaupun tampak sembrono, dia mengurus Kaede dengan telaten. Saat Kaede sakit, dia memijati kepala Kaede, membawa salep yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan, memberi lilin lebah di kulitnya agar lebih lembut, mencabut alis Kaede agar lebih berbentuk. Lambat-laun Kaede mulai bergantung dan mempercayainya. Shizuka bisa membuat Kaede tertawa, dan untuk pertama kalinya Kaede mulai berhubungan dengan dunia luar setelah sekian lama terkucil. Kaede mulai mengetahui hubungan antar klan yang tidak berjalan mulus, dan banyaknya dendam yang tersisa setelah perang Yaegahara, usaha Iida untuk bersekutu dengan Otori dan Seishuu, orang-orang sedang berebut posisi dan siap-siap untuk berperang. Ia mendengar tentang pembantaian yang Iida lakukan terhadap kaum Hidden dan memaksa sekutunya untuk melakukan hal serupa. Kaede belum pernah mendengar tentang kaum Hidden, dan ia mengira Shizuka hanya mengada-ada. Sampai pada suatu malam Shizuka berbisik bahwa ada laki-laki dan perempuan yang ditemukan di desa terpencil, dan dibawa ke Noguchi dalam sebuah kandang besar. Mereka digantung di dinding kastil hingga mati kelaparan dan kehausan. Burung gagak akan mematuki mereka meskipun mereka masih hidup. "Mengapa? Kejahatan apa yang mereka lakukan?" tanya Kaede. "Mereka percaya adanya suatu tuhan yang rahasia, yang dapat melihat segalanya dan manusia tak bisa melawan atau menghindar. Mereka merasa lebih baik mati daripada mengingkari tuhannya." Kaede gemetar. "Mengapa Lord Iida membenci mereka?" Shizuka melihat ke kanan-kiri, meskipun dia tahu tidak ada orang lain di ruangan ini. "Menurut mereka, tuhan mereka akan menghukum Iida setelah mati." "Tapi, Iida orang yang paling berkuasa di Tiga Wilayah. Dia bisa melakukan apa pun yang dia suka. Mereka tak mungkin bisa menghakiminya." Membayangkan bahwa penduduk desa bisa menghukum pemimpin klan nampak menggelikan bagi Kaede. "Kaum Hidden yakin kalau tuhan mereka memandang semua orang sejajar. Tak ada gelar bangsawan di mata tuhan, yang ada hanyalah orang yang percaya dan yang tidak percaya padanya." Kaede mengerutkan dahi. Tidak heran Iida ingin membantai mereka. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi Shizuka mengubah pembicaraan. "Lady Maruyama akan datang hari ini. Kita akan segera berpergian." "Senang sekali bisa pergi dari tempat kematian ini," kata Kaede. "Kematian di mana-mana." Shizuka mengambil sisir, dan dengan satu tarikan panjang, dia menyisir rambut Kaede. "Lady Maruyama adalah kerabatmu. Kau pernah bertemu dengannya semasa kecil?" "Seandainya pernah bertemu, aku pasti sudah lupa. Aku hanya tahu bahwa dia adalah sepupu ibuku. Kau pernah bertemu dengannya?" "Aku pernah melihatnya," kata Shizuka sambil tertawa. "Orang sepertiku tidak mungkin bisa bertemu bicara langsung dengan orang-orang seperti dia!" "Ceritakan tentang dirinya," kata Kaede. "Seperti yang kau tahu, dia menguasai wilayah yang luas di barat daya. Suami dan putranya tewas, sedangkan putrinya, sang pewaris tahta, kini menjadi tawanan di Inuyama. Semua orang tahu Lady Maruyama tidak mendukung Tohan, meskipun suaminya orang Tohan. Putri tirinya menikah dengan sepupu Iida. Beredar rumor setelah kematian suaminya, keluarga pihak suami meracuni putranya. Pertama, Iida menawarkan adiknya untuk menjadi suami Lady Maruyama, namun ditolak. Kini, menurut kabar, Iida sendiri yang berniat menikahi Lady Maruyama." "Lord Iida kan sudah beristri dan punya anak laki-laki," sela Kaede. "Anak Lady Iida selalu mati sejak bayi, dan kesehatan istrinya memburuk. Dia bisa meninggal kapan saja." Mungkin saja Iida yang akan membunuhnya, pikir Kaede, tapi tidak berani ia ucapkan. "Lagi pula," lanjut Shizuka, "Lady Maruyama tak mau menikahi Iida, begitulah kabarnya, dan dia juga tidak membiarkan putrinya menikahi Iida." "Dia yang memilih calon suaminya? Sepertinya dia sangat berkuasa." ' "Klan Maruyama merupakan satu-satunya klan yang pemimpinnya berasal dari garis keturunan perempuan," Shizuka menjelaskan. "Itulah yang membuat dia lebih berkuasa dibandingkan wanita lain. Dia juga memiliki kekuatan yang mirip sihir. Dia mampu menyihir orang-orang agar keinginannya tercapai." "Kau percaya hal seperti itu?" "Bagaimana dia bisa bertahan hingga sekarang? Keluarga mendiang suaminya, Lord Iida, berusaha menghancurkannya, tapi dia selamat, meskipun putranya mati dan putrinya ditawan." Kaede menaruh simpati padanya. "Kenapa selalu wanita yang menjadi korban? Kenapa mereka tidak memiliki kebebasan seperti yang laki-laki miliki?" "Begitulah dunia ini," balas Shizuka. "Laki-laki lebih kuat dan tidak menyimpan kelembutan maupun belas kasihan. Perempuan jatuh cinta pada mereka, namun mereka tidak membalas cintanya." "Aku tidak mau jatuh cinta," kata Kaede. "Sebaiknya jangan," Shizuka sepakat, lalu tertawa. Dia menyiapkan kasur dan mereka berbaring. Kaede masih membayangkan sosok Lady Maruyama yang memiliki kekuasaan layaknya laki-laki, yang kehilangan putra dan juga putrinya. Ia memikirkan putri sang Lady, gadis yang kini menjadi tawanan Iida di Inuyama, dan Kaede merasa iba padanya. Lady Noguchi telah mendekorasi kamar untuk menerima sang tamu dengan gaya daerah setempat, kasa pintu dan jendela telah dilukis pemandangan gunung dan pohon pinus. Kaede tak menyukai lukisan itu karena nampak terlalu berlebihan dan memberi kesan pamer, kecuali sebuah lukisan yang ada di sisi paling kiri. Lukisan dua sekor burung bangau yang sangat hidup. Mata bangau itu terang, dan kepalanya agak dimiringkan. Burung itu seakan sedang mendengarkan percakapan di ruangan ini dengan riang, lebih riang dibandingkan sebagian besar wanita yang duduk di depan Lady Noguchi. Di sebelah kanan Lady Noguchi nampak duduk sang Lady Maruyama. Lady Noguchi memberi isyarat pada Kaede untuk mendekat. Kaede membungkuk dan mendengar mereka bercakap-cakap di atas kepalanya. " Tentu saja kami sedih kehilangan Lady Kaede. Dia telah kami anggap sebagai anak sendiri. Dan kami pun agak sungkan untuk membebanimu, Lady Maruyama. Kami hanya meminta agar Kaede diijinkan menemanimu sampai di Tsuwano. Di sana, Lord Otori yang akan menyambutnya." "Lady Shirakawa akan menikahi keluarga Otori?" Kaede menyukai nada berat namun lembut Lady Maruyama. Kaede mengangkat kepala, dan sekilas ia melihat tangan Lady Maruyama yang mungil saling menggenggam di atas pangkuannya. "Ya, dengan Lord Otori Shigeru," suara Lady Noguchi terdengar berdengung. "Ini merupakan kehormatan besar. Lord Iida yang menghendaki perjodohan ini." Kaede melihat kedua tangan Lady Maruyama terkepal erat sehingga tangannya terlihat sangat pucat. Setelah lama diam, terlalu lama hingga hampir melewati batas kesopanan. Lady Maruyama berkata, "Lord Otori Shigeru? Lady Shirakawa sungguh beruntung." "Lady pernah bertemu dengannya? Aku belum pernah memiliki kesempatan yang menyenangkan itu." "Aku hanya tahu sedikit tentang Lord Otori," balas Lady Maruyama. "Duduklah, Lady Shirakawa. Aku ingin melihat wajahmu." Kaede mengangkat kepala. "Kau begitu muda!" seru Lady Maruyama. "Usiaku lima belas tahun, Lady." "Hanya sedikit lebih tua dari putriku." Suara Lady Maruyama terdengar lirih. Kaede memberanikan diri untuk melihat mata hitam yang bentuknya sempurna itu. Pupil matanya membesar seakan-akan kaget, wajahiiva lebih putih dari bedak. Kemudian, Lady Maruyama nampak dapat mengendalikan diri. Senyuman muncul di bibirnya, walaupun matanya tak menunjukkan hal yang sama. Apakah aku telah melakukan kesalahan? Pikir Kaede dengan bingung. Secara naluri ia tertarik pada wanita ini. Ia yakin bahwa Shizuka benar. Orang akan melakukan apa pun juga demi Lady Maruyama. Walaupun kecantikannya telah memudar, namun entah bagaimana garis kerutan di sekitar mata dan mulutnya justru menegaskan karakter dan kekuatan. Ekspresi dingin di wajah Lady Maruyama membuat luka yang mendalam pada diri Kaede. Dia tidak menyukaiku, pikir Kaede dengan sangat kecewa.* LIMA SEIRING dengan mencairnya salju, rumah dan taman kembali bernyanyi bersama air yang mengalir. Enam bulan sudah aku tinggal di Hagi. Waktuku tercurah sepenuhnya untuk belajar melukis, menulis, dan membaca. Selain itu, aku juga mempelajari berbagai cara mem-bunuh, meskipun aku belum pernah mempraktekannya. Aku merasa seperti bisa mendengar maksud hati semua orang, dan aku juga mempelajari ber-bagai keahlian lainnya. Tidak semua keahlian itu aku peroleh dari Kenji, ada sebagian yang keluar begitu saja dari diriku. Aku mampu berada di dua tempat dalam waktu yang bersamaan, dan menghilang dari pandangan mata. Bukan hanya itu, aku bisa membuat anjing tertidur hanya dengan sekali tatap. Kemampuan yang terakhir ini aku temukan sendiri, tapi aku merahasiakannya dari Kenji karena dia yang mengajariku tipu daya dan keahlian lainnya. Aku menggunakan kemampuan yang kumiliki bila aturan yang berlaku di rumah Lord Shigeru membuatku jenuh, atau saat aku merasa terjebak dalam rutinitas yang tiada henti, dan letih karena harus patuh pada dua guru yang kejam itu. Terlalu mudah bagiku untuk mengalihkan perhatian penjaga dan membuat anjing tertidur agar aku dapat menyelinap melalui gerbang tanpa ada yang tahu. Bahkan lebih dari sekali, Ichiro dan Kenji merasa yakin kalau aku sedang duduk ditemani tinta dan kuas, padahal aku sedang di luar bersama Fumio. Kami berdua menjelajahi lorong-lorong di sekitar pelabuhan, berenang di sungai, mendengarkan pembicaraan para pelaut dan nelayan, menghirup udara yang bercampur bau air laut, tali rami dan faring nelayan, serta bau berbagai masakan yang diuap, dibakar, direbus atau dibentuk seperti baso. Bau makanan itu membuat perut kami bernyanyi kelaparan. Di pelabuhan, aku mendengar berbagai aksen bicara, mulai dari aksen wilayah Barat, dari kepulauan, bahkan dari tanah daratan, dan aku mendengar percakapan yang tidak mungkin didengar orang lain. Di tempat ini pula aku tahu tentang rasa takut serta keinginan mereka. Kadang aku jalan-jalan sendiri, melintasi sungai, baik melalui tanggul maupun berenang. Aku menjelajahi daratan yang berada jauh di seberang, di daerah perbukitan di mana ada ladang milik petani yang tersembunyi di antara pepohonan sehingga terhindar dari pungutan pajak. Aku melihat dedaunan hijau yang baru muncul dari dahan, dan aku mendengar dengungan serangga yang sedang mencari serbuk di mahkota bunga pohon chestnut yang berwarna keemasan. Aku juga mendengar gerutuan petani pada pemimpin klan Otori karena memungut pajak yang begitu tinggi. Beberapa kali nama Lord Shigeru disebut, dan aku tahu kekesalan sebagian besar penduduk ini tidak tertuju padanya, tapi pada pamannya yang berada di kastil. Pembicaraan seperti itu termasuk pengkhianatan sehingga hanya mereka katakan di tengah malam atau jauh di hutan, saat tidak ada orang yang bisa mendengarnya, selain aku tentunya, tapi aku tak akan katakan ini pada siapa pun juga. Sumber air panas memancur dari tanah; udara terasa hangat, seisi bumi serasa hidup. Aku dilanda rasa gelisah yang tidak aku mengerti. Aku seperti sedang mencari sesuatu, sesuatu yang belum aku ketahui. Kenji pernah membawaku ke tempat pelacuran. Gadis-gadis di sana hanya membuat aku kasihan. Aku teringat pada gadis-gadis di desaku, di Mino. Gadis-gadis ini mungkin berasal dari keluarga yang serupa dengan keluargaku. Beberapa di antara mereka bahkan masih anak-anak. Ketika menatap wajah mereka, aku berusaha mencari wajah adik-adikku. Saat perayaan musim panas datang, kuil dan jalan penuh sesak dengan orang yang lalu-lalang. Genderang bertabuh keras setiap malam, wajah dan lengan para penabuh yang berkeringat nampak berkilauan terkena cahaya lampu, tidak terlihat rasa lelah di wajah mereka. Aku tak mampu menahan keinginan untuk turut meramaikan perayaan ini, suasananya yang begitu hirukpikuk dan penuh sukacita. Suatu malam aku dan Fumio mengikuti patung dewa yang diarak sekelompok orang dengan penuh semangat. Ketika hendak pamit pada Fumio, aku terdorong ke arah seseorang, dan hampir menginjak kakinya. Orang itu berbalik ke arahku dan aku langsung mengenalinya: orang ini pernah menginap di rumahku dan memperingat-kan tentang ancaman Iida. Dia bertubuh pendek gemuk, raut wajah buruk dan licik. Dia pedagang keliling yang kadang datang ke Mino. Belum sempat menghindar, aku melihat kilasan matanya yang mengenaliku dan juga rasa iba. Dia berteriak dengan suara yang lebih kencang dari hiruk-pikuk kerumunan orang. "Tomasu." Aku menggelengkan kepala, kubuat wajah dan tatapanku seolah-olah kosong, namun dia terus berteriak memanggilku. Dia berusaha menarikku keluar dari kerumunan. "Kau Tomasu, dari Mino?" "Kau salah," jawabku. "Aku tidak mengenal orang yang bernama Tomasu." "Semua orang mengira kau sudah mati!" "Aku tak mengerti apa yang kau katakan," aku tertawa, seolah-olah mendengar sesuatu yang lucu, sambil melangkah ke kerumunan. Dia meraih tanganku dengan kasar, berusaha untuk menahanku dan saat aku melihat dia hendak bicara, aku segera tahu apa yang hendak dia katakan. "Ibumu sudah mati. Mereka telah membunuhnya. Mereka membunuh semua orang. Hanya kau yang selamat! Bagaimana kau bisa lolos?" Dia menarikku lebih dekat ke wajahnya. Dapat kucium bau napas dan keringatnya. "Kau mabuk, pak tua!" aku membentak. "Ibuku masih hidup dan dia ada di Hofu, setidaknya menurut kabar terakhir yang kudengar." Kudorong tubuhnya dan kuraih belatiku. "Aku dari klan Otori." Aku membiarkan marah menguasaiku. Dia mundur, "Maafkan kekhilafanku, Lord. Kau memang bukanlah orang yang kumaksud." Dia memang agak mabuk, dan rasa takut membuatnya tersadar. Bermacam-macam pikiran terlintas di benakku, salah satu yang paling kuat yaitu aku harus membunuh si pedagang keliling yang tidak berbahaya dan telah berusaha memperingatkan keluargaku. Aku bisa membayangkan dengan jelas caraku membunuhnya; akan aku jauhkan dia dari kerumunan, menjegalnya hingga jatuh, lalu kutikam lehernya dengan belati, mengirisnya hingga ke bawah, dan membiarkan dia terjatuh, terbaring seperti orang yang mabuk, dan darahnya akan mengucur hingga dia mati. Walaupun ada orang yang melihat kejadian itu, mereka tak akan berani mendekat. Kerumunan akan segera melewati kami, belati masih dalam genggamanku. Dia menyembah berulangkali, memohon agar aku tidak membunuhnya. Aku tidak bisa membunuhnya, pikirku, lalu; tidak ada guna aku membunuhnya. Dia sudah yakin kalau aku bukan Tomasu, dan kalau pun dia ragu, dia tak akan berani mengatakan pada siapa pun. Lagipula dia juga orang Hidden. Aku mundur dan membiarkan kerumunan membawaku menjauh dari kuil. Lalu aku menyelinap melalui gerombolan orang yang membawa patung dewa, menuju jalan setapak yang berada di tepi sungai. Jalan yang kulalui gelap, berpasir, tapi aku masih dapat mendengar teriakan dari kerumunan yang larut dalam kegembiraan, nyanyian puji-pujian para biarawan, dan bunyi lonceng kuil. Riak air sungai seolah memukul-mukul dan mengliisap perahu dan dermaga. Aku teringat perkataan Lord Shigeru. "Namun, sebagaimana sungai selalu berada di luar pintu rumah, begitu pula dunia ini. Dunia tempat kita tinggal." Tatapan mata anjing-anjing yang mengantuk dan jinak mengiringi jalanku, saat aku melewati pintu gerbang rumah Lord Shigeru. Para penjaga tidak melihat aku datang. Biasanya aku akan merayap perlahan ke pos penjaga dan mengejutkan mereka. Tapi malam ini perutku mulas, aku tidak bergairah untuk menjahili mereka. Aku kesal atas kecerobohan mereka, mudah sekali bagi anggota Tribe masuk ke sini, seperti yang pernah terjadi. Aku muak dengan dunia yang penuh dengan rahasia, kemunafikan, dan tipu daya. Aku merindukan saat-saat ketika menjadi Tomasu, anak yang gemar berlari naik dan turun bukit. Sudut mataku terasa pedih. Taman dipenuhi bau harum dan bunyi air. Diterangi cahaya bulan, kuncup-kuncup bunga yang mulai mekar memancarkan cahaya putih rapuh. Kesucian bunga-bunga ini mengiris hatiku. Bagaimana mungkin dunia yang indah ini bisa begitu kejam? Lampu-lampu yang ada di beranda berkelap-kelip dan menyebarkan hawa hangatnya. Kenji sedang duduk di keremangan malam. Dia memanggilku, "Lord Shigeru menyalahkan Ichiro karena kau menghilang. Aku katakan padanya, 'Kau bisa menjinakkan serigala, tapi kau takkan mampu memasukkannya ke kandang anjing!"' Dia menatapku ketika aku mendekat ke arah lampu. "Ada apa?" "Ibuku telah meninggal." Hanya anak-anak yang menangis. Orang dewasa tak akan menangis. Sosok anak-anak Tomasu dalam diriku sedang menangis, tapi air mata Takeo telah mengering. Kenji menarikku, "Siapa yang mengatakan?" "Orang yang kukenal saat di Mino mengatakan itu ketika bertemu denganku di kuil." "Dia mengenalimu?" "Dia mengira dia mengenalku. Kuyakinkan bahwa dia salah orang. Tapi saat dia mengira aku Tomasu, dia mengatakan perihal kematian ibuku." "Aku turut berduka," ujar Kenji acuh tak acuh. "Kuharap kau telah membunuh orang itu." Aku tidak menjawab, aku tidak perlu menjawab. Dia sudah tahu jawabannya setelah bertanya. Dia memukul punggungku dengan gusar, seperti yang biasa Ichiro lakukan bila aku salah menulis huruf. "Kau benar-benar bodoh, Takeo!" "Dia tak bersenjata, tidak berbahaya. Lagi pula, dia mengenal keluargaku." "Itulah yang kutakutkan. Kau membiarkan rasa kasihanmu tetap ada dalam dirimu. Tidak sadarkah kau kalau orang yang kau biarkan hidup akan selalu membencimu? Justru itulah yang membuat dia yakin bahwa kau adalah Tomasu." "Mengapa dia harus mati karena takdirku? Apa untungnya dia mati? Tidak ada!" "Membiarkan dia hidup justru akan membawa musibah yang membuatku cemas," balas Kenji, lalu masuk ke dalam rumah untuk memberitahukan Lord Shigeru. Seakan-akan telah mencorengkan aib, aku dilarang berkeliling kota sendirian. Kenji selalu mengawasiku, dan hampir tak mungkin aku lepas darinya. Namun semua itu tidak membuatku jera untuk mencoba. Seperti biasa, suatu rintangan hanya berpengaruh di saat-saat awal, karena aku akan menemukan jalan keluar. Kenji memarahiku karena tidak patuh, tapi kemampuanku semakin hebat, dan kini aku semakin nyaman dengan semua kemampuanku itu. Lord Shigeru berbicara padaku tentang kematian ibuku setelah Kenji melaporkan kegagalanku membunuh. "Kau menangisi ibumu di malam ketika kita bertemu. Seharusnya kini sudah tak ada lagi duka. Kau tidak tahu siapa yang sedang mengawasimu saat ini." Begitulah, rasa duka tetap tersimpan di lubuk hatiku tanpa mampu aku keluarkan. Di malam hari, diam-diam aku mendoakan arwah ibuku dan kedua adikku sesuai ajaran Hidden. Aku tidak mendoakan ampunan bagi musuhku, seperti yang ibuku ajarkan. Aku tidak berniat memaafkan musuhku. Aku membiarkan rasa sedih membangkitkan keinginanku untuk balas dendam. Malam itu merupakan malam terakhir aku bertemu Fumio. Setelah aku lolos dari pengawasan Kenji dan pergi ke pelabuhan, kapal Terada sudah tidak ada lagi. Aku mendenigar dari nelayan bahwa mereka diusir dari pelabuhan karena tidak mampu membayar pajak. Rumor yang berkembang mengatakan kalau mereka berlayar ke Oshima, pulau tempat keluarga mereka menetap. Dengan menjadikan pulau terpencil itu sebagai pelabuhan, kemungkinan besar mereka telah menjadi bajak laut. Saat ini, sebelum musim hujan, Lord Shigeru mulai tertarik untuk merancang bangunan dan itu diawali dengan membangun sebuah bangunan untuk minum teh di halaman belakang rumah. Aku menemaninya memilih kayu: Kayu cedar, untuk lantai dan atap, kayu cemara untuk dinding. Bau serbuk kayu yang digergaji mengingatkanku pada aroma pegunungan. Sifat tukang kayunya mirip sifat orang di desaku, mereka pendiam, tapi bisa saja tiba-tiba tertawa keras setelah ada rekannya yang melucu. Aku merasa terseret dengan gaya bicaraku yang lama, aku meng-gunakan kata-kata yang biasa kami pakai di desaku, yang sudah berbulan-bulan tidak aku gunakan. Kadang bahasa gaulku membuat mereka tertawa kecil. Lord Shigeru mengamati setiap tahap pembangunan, mulai dari mengamati pohon yang ditebang hingga digergaji menjadi papan, tidak terkecuali saat pemasangan lantai. Beberapa kali kami mendatangi tempat penjualan kayu dengan ditemani seorang ahli kayu, Shiro, yang penampilannya mirip perpaduan antara pohon cedar dan pohon cemara. Shiro mengatakan tentang sifat dan roh setiap jenis kayu. "Setiap kayu memiliki nadanya sendiri," katanya. "Setiap rumah memiliki nyanyiannya sendiri." Selama ini aku mengira hanya aku yang tahu bahwa rumah dapat bernyanyi. Sudah berbulan-bulan aku mendengar nyanyian rumah Lord Shigeru, saat ini aku sedang mendengarkan nyanyian perlahan diiringi musik musim dingin. Aku mendengar bunyi tiang dan dinding yang semakin tertekan ke tanah saat dibebani salju yang membeku dan mencair, menyusut dan memuai. Rumah ini kini kembali berduet dengan air dalam melantunkan nyanyiannya. Shiro mengawasiku seakan-akan tahu dia pikiranku. "Aku mendengar kabar bahwa Lord Iida telah memesan lantai yang dapat berkicau seperti burung bulbul," katanya. "Tapi siapa yang membutuhkan lantai yang dapat bernyanyi seperti burung, bila lantai itu telah memiliki alunannya sendiri?" "Apa gunanya lantai seperti itu?" tanya Lord Shigeru dengan nada seolah-olah tidak tertarik. "Dia takut pada pembunuh bayaran. Lantai itu seperti memberi semacam perlindungan. Tak seorang pun dapat melintasi lantai itu tanpa mengeluarkan bunyi mendecit." "Bagaimana membuatnya?" Shiro mengambil sepotong kayu, lalu dia menjelaskan cara memasang balok-balok itu agar papan lantai bisa mengeluarkan bunyi mendecit. "Kudengar mereka telah membuatnya. Umumnya orang ingin agar lantainya tidak mendecit, sehingga tidak ada orang tertarik untuk membuat lantai yang berbunyi karena hanya akan membuatmu terbangun. Tapi Iida tidak bisa tidur di malam hari. Dia takut ada yang merayap mendekatinya-kini dia tak bisa tidur, cemas kalau-kalau lantainya akan bernyanyi!" Chiro tertawa. "Bisakah kau buatkan lantai seperti itu?" pinta Lord Shigeru. Shiro menyeringai lebar ke arahku. "Aku bisa membuat lantai yang tak berbunyi, bahkan Takeo pun tak akan bisa mendengarnya. Jadi, kurasa aku bisa membuatkan lantai yang dapat bernyanyi." "Takeo akan membantumu," perintah Lord Shigeru. "Dia perlu tahu cara membuat lantai itu." Aku tidak mempertanyakan alasannya karena aku sudah bisa menduganya. Percakapan lalu berpindah ke soal ruangan untuk minum teh. Sementara Shiro mengarahkan cara membangun, dia juga membuat papan lantai bernyanyi yang kecil, sebuah papan yang bisa digunakan untuk berjalan. Papan itu dia letakkan di beranda, dan aku menyaksikan setiap papan itu disusun, setiap balok dan pasak dipasang. Chiyo mengeluh karena bunyi itu membuat dia sakit kepala, dan bunyinya lebih mirip suara tikus ketimbang suara burung. Tapi akhirnya penghuni rumah ini mulai terbiasa dengan bunyi itu, dan kebisingannya telah menjadi bagian dari nyanyian keseharian yang dilantunkan rumah ini. Lantai ini membuat Kenji girang: dia mengira bunyi lantai itu akan membuatku tertahan di dalam rumah. Lord Shigeru tidak mengatakan apa pun tentang alasan kenapa aku harus tahu cara membuat lantai itu, tapi kurasa dia tahu kalau aku tertarik. Aku duduk mendengarkan decitan lantai seharian. Aku bisa tahu siapa vang berjalan di atasnya hanya dengan mendengar buiiyi lantai. Aku pun bisa memperkirakan nada-nada berikutnya yang akan dilantunkan lantai itu. Aku berusaha melintasi lantai itu tanpa menimbulkan bunyi. Dan ternyata itu cukup sulit-kurasa Shiro telah membuatnya dengan baik-tapi bukan berarti tidak mungkin. Aku ikut membuat lantai itu, dan bagiku itu tidak ada yang luar biasa. Hanya masalah waktu sebelum aku dapat melintasi lantai itu tanpa berbunyi. Dengan sabar, yang aku tahu adalah bagian dari sifat Tribe, aku berlatih melintasi lantai itu. Hujan mulai turun. Di suatu malam, udara terasa begitu panas dan lembab sehingga aku tidak bisa tidur. Saat hendak mengambil air minum dari pancuran, aku terhenti di pintu, melihat ke lantai yang terbentang di depanku. Aku harus melintasi lantai ini tanpa membuat seisi rumah terbangun. Aku bergerak dengan cepat, kakiku tahu bagian mana yang boleh diinjak dan seberapa besar tekanannva. Lantainya tidak berbunvi, diam membisu. Aku kegirangan, bukan karena menjadi bagian dari Tribe, tapi karena memperoleh kemampuan yang diwariskan oleh keturunan Tribe, sampai aku mendengar desah napas, dan saat berbalik, aku melihat Lord Shigeru sedang memandangiku. "Kau dengar?" tanyaku kecewa. "Tidak, aku belum tidur. Bisa kau ulangi lagi?" Aku masih berjongkok di tempat yang sama selama beberapa saat. Kuhampakan diriku seperti yang biasa dilakukan kaum Tribe, dengan membiarkan seluruh bagian diriku kosong. Lalu aku berlari melintasi lantai itu. Burung-burung itu tetap diam, tidak ada bunyi yang terdengar. Aku membayangkan Iida yang berada di Inuyama sedang berbaring, tidak bisa tidur, menanti nyanyian burung keluar dari lantainya. Aku membayangkan diriku berjalan merayap ke arahnya dengan perlahan tanpa dia sadari. Seandainya Lord Shigeru sedang memikirkan hal yang sama, dia tak akan mengatakannya. Dia hanya mengatakan, "Aku benar-benar kecewa pada Shiro. Semula kupikir lantai ini akan dapat menahanmu." Tidak ada yang bertanya, Akankah Iida terpedaya? Meskipun pertanyaan itu tetap ada di antara kami dalam kelembaban udara malam di bulan keenam. Begitu rumah teh selesai dibangun, hampir setiap sore kami menghabiskan teh di sana. Ini membuatku teringat saat pertama kali merasakan hidangan teh lezat yang disajikan Lady Maruyama. Kurasa Lord Shigeru membangun tempat ini dengan membawa kenangan wanita bangsawan itu di benaknya, meskipun dia tidak mengatakannya. Di pintu ruang teh terdapat tangkai-tangkai bunga karmelia yang saling melilit; mungkin karena itu adalah simbol pernikahan sehingga semua orang mulai membicarakan tentang pernikahan. Ichiro yang paling mendesak Lord Shigeru untuk segera mencari pendamping. "Kematian ibumu dan Takeshi yang selalu menjadi landasanmu. Sudah sepuluh tahun kau melajang, dan belum punya anak. Sungguh keterlaluan!" Pelayan bergunjing tentang Lord Shigeru, tak sadar kalau aku dapat mendengarnya dengan jelas. Umumnya pendapat mereka hampir benar, meskipun mereka kurang yakin. Mereka berpendapat bahwa Lord Shigeru jatuh cinta pada wanita yang tidak layak untuknya atau wanita itu sulit diraih. Mereka berdua pasti telah mengikat janji setia. Para pelayan berkeluh kesah, menyesali karena tidak seorang pun dari mereka yang diundang menghabiskan waktu di ranjang Lord Shigeru. Sedangkan pelayan yang lebih tua lebih realistis. Menurut mereka, semua itu hanya ada dalam syair lagu, tidak mungkin terjadi di dunia nyata. "Mungkin dia lebih menyukai laki-laki," balas Haruka, gadis yang paling berani di antara mereka, berkata sambil tertawa kecil, "Tanya saja pada Takeo!" Sedangkan Chiyo mengatakan bahwa tidak menikah bukan berarti dia lebih menyukai laki-laki. Lord Shigeru mengelak dari semua pertanyaan soal pernikahan dengan mengatakan bahwa ia lebih menaruh perhatian mengenai pengangkatanku sebagai anaknya. Selama berbulan-bulan tidak ada kabar dari pemimpin klan Otori, selain kabar bahwa masalah itu sedang dipertimbangkan. Masih banyak urusan yang sedang mereka selesaikan, urusan yang jauh lebih penting. Sekarang ini Iida sedang berkampanye di wilayah Timur, dia memaksa mereka untuk bergabung dengan Tohan, atau akan diserang dan dimusnahkan. Tak lama lagi, Iida akan mengalihkan perhatiannya ke Wilayah Tengah. Pemimpin Otori sepakat untuk memilih jalan damai. Kedua paman Lord Shigeru tak berani melawan Iida dan mempertaruhkan wilayah mereka bila berperang lagi. Tapi usulan untuk menyerahkan wilayah Otori pada Tohan masih ditolak oleh sebagian besar petinggi klan Otori. Hagi dipenuhi dengan rumor dan ketegangan. Kenji terlihat tidak tenang. Dia selalu mengawasiku, dan ini membuatku kesal. "Akan ada lebih banyak lagi mata-mata Tohan yang datang ke kota ini," ujar Kenji. "Cepat atau lambat, salah seorang dari mereka akan mengenali Takeo. Ijinkan aku membawanya pergi." "Setelah resmi diangkat sebagai anggota klan Otori, Iida akan berpikir dua kali untuk menyentuhnya," balas Lord Shigeru. "Kurasa kau terlalu meremehkan Iida. Dia akan menantang siapa pun." "Mungkin saja dia berani di Timur. Tapi tidak di wilayah Tengah." Mereka sering bertengkar tentang masalah ini, Lord Shigeru menghindar dari Kenji, tetap menolak anggapan adanya bahaya bagiku. Dia yakin bahwa setelah aku resmi diangkat anak olehnya, aku akan lebih aman bila berada di Hagi. Aku menangkap perasaan yang ada pada diri Kenji. Dia selalu menjagaku, selalu waspada, selalu mengawasi. Satu-satunya saat aku merasa tenang hanya ketika aku sedang menyerap semua keahlian baru. Aku sangat bersemangat mempertajam bakat yang kumiliki. Akhirnya, sebuah pesan datang di akhir bulan ketujuh: Lord Shigeru diminta membawaku ke kastil, tempat kediaman pamannya karena akan ada keputusan tentang pengangkatan diriku. Setelah Chiyo menggosok badanku, mencuci dan merapikan rambutku, dia memberiku beberapa pakaian baru walaupun warnanya telah memudar. Ichiro terus menerus mengajariku etika dan sopan-santun, bahasa yang harus kugunakan, dan seberapa rendah aku harus membungkuk. "Jangan kecewakan kami," dia berbisik saat kami berangkat. "Setelah apa yang Lord Shigeru lakukan, jangan kecewakan dia." Kenji tidak ikut bersama kami, tapi dia bilang akan mengiringi kami dari jauh. "Buka telingamu." Dia berpesan-seakan-akan aku akan sempat melakukan hal yang lain. Aku menunggang Raku, kuda pucat keabu-abuan yang memiliki surai dan ekor berwarna hitam. Lord Shigeru berada di depanku dengan menunggang kuda hitamnya, Kyu, dan diiringi enam orang pengawal. Semakin dekat ke kastil, aku makin panik. Bayangan kastil terhampar di depan kami, membuatku lemah tak berdaya. Apa yang sedang kulakukan, apakah berpura-pura menjadi bangsawan, menjadi ksatria? Begitu kedua pemimpin Otori melihatku, mereka akan segera mengetahui jati diriku yang sebenarnya: putra wanita petani dan seorang pembunuh. Lebih buruk lagi, aku merasa tersingkap dengan cara yang mengerikan saat aku menunggang kuda melalui jalan yang penuh sesak. Aku membayangkan semua orang menatapku. Raku dapat merasakan kepanikanku. Gerakan tiba-tiba di kerumunan langsung membuatnya takut. Setelah mengatur napas dan melemaskan badanku, Raku pun segera tenang kembali. Tapi tiba-tiba Raku berbalik arah dan saat aku berusaha agar Raku ke arah semula, aku melihat seseorang di jalan. Meskipun hanya sekilas, aku langsung tahu siapa dia. Lengan kanannya buntung. Dialah orang yang mengejarku hingga ke bukit, orang yang lengan kanannya tertebas Jato. Dia seperti tidak mengawasiku, dan aku juga tidak tahu apakah dia mengenaliku. Kutarik kudaku memutar ke arah semula dan melanjutkan perjalanan. Aku tidak yakin kalau aku menunjukkan tanda-tanda sedang memperhatikan dia. Kejadian itu terjadi hanya dalam sekejap. Anehnya, peristiwa itu tidak membuatku cemas. Ini kenyataan, pikirku. Ini bukanlah permainan. Mungkin aku pura-pura menjadi orang lain, tapi jika gagal, itu berarti mati. Lalu, aku berpikir, aku adalah Kikuta. Aku dari Tribe. Aku bisa menjadi siapa saja. Ketika kami melalui parit yang mengelilingi benteng aku melihat Kenji di antara kerumunan orang. Dia menyamar sebagai orang tua dengan kimono lusuh. Setelah itu, pintu gerbang utama terbuka, lalu kami masuk ke halaman kastil. Di tempat ini kami turun dari kuda. Pengawal tetap bersama kuda, sedangkan aku dan Lord Shigeru disambut seorang laki-laki tua, pengurus rumah. Dia yang mengantar kami ke rumah pemimpin Otori. Rumah ini sangat megah, dibangun di sisi kastil yang mengarah ke laut dan di belakangnya terdapat bailey yang luas. Dinding yang berada di dekat laut dikelilingi parit lagi, dan sesudah parit terbentang taman yang indah. Bukit kecil dengan pohon yang tumbuh teratur dan menjulang di bagian belakang kastil; di atas pepohonan tampak berdiri atap kuil yang berbentuk kurva. Teriknya matahari membuat batu di sekitar sini terasa panas. Keringat membasahi ketiak dan keningku. Terdengar debur ombak di balik dinding. Ingin sekali aku berenang di dalamnya. Kami melepas sandal, dan pelayan datang membawakan air dingin untuk membasuh kaki kami. Orang tua itu menuntun kami masuk ke dalam rumah. Waktu berjalan terasa lambat, ruangan demi ruangan kami; lalui, setiap ruangan dirancang dengan megah dan mewah. Akhirnya kami sampai di ruangan kecil, tempat kami diminta menunggu. Kami duduk di lantai sangat lama. Awalnya aku sangat marah- atas penghinaan pada Lord Shigeru; marah karena tahu bahwa rumah yang sangat mewah ini dibiayai dari pungutan pajak. Akti ingin mengatakan pada Lord Shigeru tentang anak buah Iida yang kulihat di Hagi tadi, tapi aku tidak berani bersuara. Dia seperti terpikat pada lukisan di pintu, lukisan seekor burung bangau abu-abu yang sedang berdiri di sungai yang berwarna kehijauan. Bangau itu sedang menatap gunung yang bernuansa keemasan dan merah jambu. Aku teringat nasihat Kenji, dan aku menghabiskan waktu dengan mendengarkan bunyi-bunyian di rumah ini. Tak terdengar nyanyian sungai seperti di rumah Lord Shigeru, namun rumah ini melantunkan nada-nada yang seram, ditambah lagi dengan bunyi deburan ombak laut yang tidak pernah berhenti. Aku menghitung langkah kaki, dan aku menyimpulkan ada sekitar lima puluh tiga orang yang tinggal di rumah ini. Aku mendengar tiga bocah sedang bermain dengan dua ekor anak anjing di taman. Aku mendengar para wanita bangsawan sedang berbincang tentang keinginan mereka untuk bepergian menggunakan perahu jika cuaca telah bersahabat. Dari bagian rumah yang paling dalam aku mendengar dua orang sedang berbicara dengan pelan. Aku mendengar nama Shigeru disebut. Aku sadar kalau itu adalah percakapan rahasia antara kedua pamannya. "Yang terpenting yaitu bagaimana memaksa Shigeru menyetujui pernikahan ini," kata salah seorang di antara mereka. Dari suaranya aku tahu dia sudah tua, dan berpengaruh. Aku mengerutkan dahi, bertanya-tanya, apa maksud mereka? Bukankah kami diundang untuk mcmbicarakan soal pengangkatanku? "Dia selalu menolak untuk menikah," kata orang yang kedua, suaranya menunjukkan kalau dia lebih muda. "Apalagi menikah untuk mempererat persekutuan dengan Tohan, karena dia orang yang paling menentang persekutuan ini... Ini bisa membuat dia marah." "Saat ini kita dalam bahaya," kata orang yang lebih tua. "Kemarin ada kabar tentang keadaan di Wilayah Barat. Seishuu sedang bersiap menyatakan perang terhadap Iida. Arai, Lord Kumamoto, yang pernah diusir oleh Noguchi telah menyusun kekuatan untuk melawan Noguchi dan juga Tohan sebelum musim dingin." "Apakah Shigeru berhubungan dengan Arai? Itu bisa memberi dia peluang untuk... " "Tak perlu kau jelaskan," balas saudaranya. "Aku tahu ketenaran Shigeru. Andaikan dia bersekutu dengan Arai, mereka bisa mengalahkan Iida." "Kecuali kita... melucuti dia lebih dulu." "Pernikahan adalah jawabannya. Pernikahan akan membawa Shigeru ke Inuyama, tempat di mana dia akan berada dalam pengawasan Iida. Dan gadis bangsawan yang diajukan, Lady Shirakawa Kaede, memiliki reputasi yang sangat menguntungkan." "Apa maksudmu?" "Dua orang telah tewas karena gadis itu. Bila Shigeru menjadi korban yang ketiga, kita tak akan dipersalahkan." Orang yang lebih muda tertawa pelan, caranya tertawa membuatku ingin membunuhnya. Aku tarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Bagaimana bila dia menolak?" tanyanya. "Kita jadikan pernikahan ini sebagai syarat bagi Shigeru untuk mengangkat anak itu. Kurasa anak itu tak akan membahayakan kita." "Aku sudah berusaha menyelidiki tentang anak itu," kata orang yang lebih muda, nada suaranya mirip ahli dokumen sejarah terpelajar. "Aku tidak melihat adanya hubungan anak itu dengan mendiang ibunya Shigeru. Tak ada tanda-tanda keberadaan anak itu dalam silsilah keluarga." "Mungkin bukan keturunan sah," ujar laki-laki yang lebih tua. "Kudengar dia mirip Takeshi." "Benar, dari raut wajahnya sulit untuk mengatakan kalau dia bukan dari darah Otori, tapi kalau kita mengadopsi semua anak haram kita... " "Tentu saja dalam situasi biasa, persoalan itu tak berlaku. Tapi masalahnya sekarang... " "Aku sependapat." Lantai berderit pelan sewaktu mereka berdiri. "Satu hal lagi," ucap orang yang lebih tua. "Kau yakinkan aku bahwa Shintaro tak akan gagal. Bagaimana kejadian sebenarnya?" "Aku telah berusaha mencari tahu. Tampaknya, anak itu mendengar kedatangan Shintaro lalu dia membangunkan Shigeru. Shintaro tertelan racunnya sendiri." "Anak itu bisa mendengarnya? Apakah dia juga berasal dari Tribe?" "Mungkin saja. Muto Kenji muncul di rumah Shigeru tahun lalu. Menurut kabar, dia menjadi guru anak itu. Sepertinya dia tak memberi pelajaran biasa." Sekali orang yang lebih muda tertawa, membuat darahku mendidih. Di saat yang sama, aku mencemooh kedua orang itu. Mereka sudah tahu aku memiliki pendengaran yang tajam, tapi mereka tidak pernah berpikir keahlianku dapat berlaku pada mereka juga disini, di rumah mereka sendiri. Mereka lalu keluar dari ruangan itu ke ruangan yang terletak di belakang ruangan tempat kami menunggu. Tidak lama kemudian masuklah orang tua yang tadi menyambut kami. Dia menggeser pintu perlahan dan meminta kami masuk ke ruang pertemuan. Dua bangsawan Otori itu terlihat duduk berdampingan di kursi rendah. Beberapa orang sedang duduk berlutut di setiap sudut ruangan. Lord Shigeru segera membungkuk, dan aku melakukan hal yang serupa, tapi sebelumnya aku melihat sekilas ke arah kedua orang bersaudara ini, orang yang membuat hatiku sangat pedih. Orang yang lebih tua, Lord Otori Shoichi, bertubuh tinggi dan tidak berotot. Wajahnya kurus dan cekung; dia memiliki kumis kecil. Janggut dan rambutnya mulai memutih. Sedangkan orang yang lebih muda, Masahiro, pendek dan gemuk. Dia berdiri sangat tegak, seperti yang biasa dilakukan orang pendek. Wajahnya tidak berjanggut, mukanya pucat dan ada beberapa tahi lalat hitam menghiasi wajahnya. Rambutnya hitam, walaupun tipis. Pada diri mereka ada keunikan raut wajah Otori, tulang pipi yang menonjol dan hidung bengkok, tapi semua itu menjadi rusak karena sifat busuk mereka. Mereka terlihat kejam dan juga lemah. "Lord Shigeru-keponakanku-telah lama kami menanti kedatanganmu," sambut Shoichi dengan ramah. Lord Shigeru menegakkan badan, sementara aku tetap menyembah. "Akhir-akhir ini kami sering memikirkan dirimu," kata Masahiro. "Kami mencemaskan keadaanmu. Kematian adikmu tidak lama setelah kematian ibumu, juga penyakit yang kau derita, semua itu menjadi beban berat bagimu." Kata-kata itu terdengar sangat manis, tapi aku tahu mereka mengatakan dengan penuh kepalsuan. "Terima kasih atas perhatiannya," balas Shigeru, "Tapi ijinkan aku memperbaiki ucapan kalian. Adikku tidak mati secara wajar. Dia dibunuh." Lord Shigeru mengatakan itu tanpa emosi, seakan dia hanya mengungkapkan suatu kenyataan. Semua terdiam. Ruangan sunyi-senyap. Dengan berpura-pura senang, Lord Shoichi memecah kesunyian dengan berkata, "Inikah dia yang hendak kau angkat anak? Kehadirannya pun kami nanti-nantikan. Siapa namanya?" "Kami memanggilnya Takeo," jawab Shigeru. "Benarkah pendengarannya sangat tajam?" Masahiro agak mencondongkan tubuhnya ke depan. "Tak ada yang istimewa," kata Shigeru. "Kita semua memiliki pendengaran yang tajam saat masih muda." "Duduk tegak, anak muda," perintah Masahiro kepadaku. Saat aku menegakkan tubuh, dia mengamati wajahku beberapa saat, lalu dia bertanya, "Ada berapa hanyak orang di taman?" Aku mengerutkan alis seolah-olah sedang menghitung. "Dua orang anak dan seekor anjing," aku hanya menduga-duga saja. "Seorang pengurus taman ada di balik dinding?" "Menurutmu, ada berapa banyak orang di rumah ini?" Aku mengangkat bahu, namun kemudian berpikir bahwa tindakanku kurang sopan, dan aku perbaiki dengan membungkuk kembali. "Lebih dari empat puluh lima orang? Maafkan aku, Lord Otori, aku tidak memiliki kemampuan yang hebat." "Ada berapa orang?" tanya Lord Shoichi. "Lima puluh tiga orang, kurasa." "Mengesankan," kata yang lebih tua, tapi aku mendengar desah napas lega. Aku kembali membungkukkan kepala ke lantai dan mempertahankan posisi, aku merasa lebih aman dalam keadaan seperti itu. "Kami menunda masalah ini cukup lama, Shigeru, karena kami tidak yakin dengan keadaanmu. Kesedihan tampaknya telah membuat pikiranmu tidak stabil." "Aku baik-baik saja," balas Lord Shigeru. "Aku tidak mempunyai anak, dan Takeshi telah tiada. Tidak ada yang menjadi pewarisku. Aku memiliki kewajiban pada anak ini dan itulah yang harus kupenuhi. Takeo telah diterima di rumahku dan telah menjadi bagian dari rumah kami. Aku berharap dia dapat disahkan menjadi anggota klan Otori." "Bagaimana menurut anak ini?" "Bicaralah, Takeo," Lord Shigeru mendesakku untuk bicara. Aku menegakkan badan, tenggorokanku sulit menelan, dan seketika saja aku dilanda emosi yang tak tertahankan. Aku ketakutan. "Aku berhutang nyawa pada Lord Otori, sedangkan dia tidak berhutang apa pun padaku. Penghormatan untukku terlalu berlebihan, tetapi bila ini memang keinginan Lord Shigeru-dan tuanku-maka aku akan menerima dengan sepenuh hati. Aku akan berbakti pada klan Otori dengan jiwa dan raga." "Bila demikian, baiklah," kata Lord Shoichi. "Semua dokumennya sudah siap," tambah Lord Masahiro. "Kami akan segera menandatanganinya." "Paman begitu baik dan sangat murah hati," kata Shigeru, "Aku berterima kasih." "Ada satu hal lagi, Shigeru, kami harap kau mau bekerjasama." Aku menyembah kembali. Jantungku serasa hendak melompat ke tenggorokan. Ingin rasanya aku memperingatkan Lord Shigeru tanpa harus mengatakannya secara langsung. "Kau sudah tahu kalau kami sedang bernegosiasi dengan Tohan. Kami lebih memilih untuk bersekutu. Kami juga tahu kau menentang rencana itu, tapi kau masih terlalu muda untuk tergesa-gesa mengambil keputusan... " "Usiaku mendekati tiga puluh, rasanya aku tidak pantas lagi dibilang muda." Sekali lagi, Lord Shigeru mengemukakan kenyataan dengan tenang, seakan-akan tak ada yang dapat diperdebatkan tentang dirinya. "Dan sebenarnya aku tidak meng-inginkan peperangan atau persekutuan. Hanya saja, sifat dan tingkah laku Tohan yang membuatku keberatan." Kedua pamannya tidak menanggapi pernyataan ini. Suasana di ruangan ini agak tegang. Shigeru diam. Dia telah menyatakan pandangannya dengan gamblang, bahkan terlalu jelas. Lord Masahiro memberi isyarat kepada laki-laki pengurus rumah, dan orang itu langsung menepuk tangan perlahan. Tak lama kemudian pelayan datang membawa teh. Ketiga bangsawan Otori itu lalu minum. Aku tidak ditawari. "Baiklah, persekutuan akan tetap berjalan," kata Lord Shoichi akhirnya. "Lord Iida telah mengajukan pernikahan antar klan sebagai syaratnya. Sekutu terdekatnya, Lord Noguchi juga telah menetapkan calonnya. Lady Shirakawa Kaede namanya." Shigeru tampak sedang mengagumi cangkir teh. Dia memegang dengan satu tangan. Dia meletakkan cangkir itu dengan hati-hati di atas tatakan yang ada di depannya, lalu duduk tanpa bergerak. "Kami ingin menjodohkanmu dengan Lady Shirakawa," ujar Lord Masahiro. "Maaf paman, aku tak ingin menikah lagi. Aku tak berpikir untuk menikah." "Kau beruntung memiliki kerabat yang masih memikirkan dirimu. Lord Iida sangat menginginkan pernikahan ini. Persekutuan Otori dan Tohan tergantung pada pernikahanmu." Lord Shigeru membungkuk. Ruangan ini kembali sunyi-senyap. Aku mendengar dua langkah kaki mendekat, perlahan dan berhati-hati. Salah seorang dari mereka membawa sesuatu. Pintu di belakang kami bergeser dan mereka masuk dengan membawa meja untuk menulis, tinta, kuas dan cairan berwarna merah untuk membubuhkan stempel. "Ah, ini dia surat pengangkatannya!" Lord Shoichi berkata dengan keramahan yang dibuat-buat. "Bawa kemari." Juru tulis itu maju dengan berlutut dan meletakkan meja itu di depan kedua bangsawan, lalu dengan lantang dia membacakan surat pernyataan yang telah dibuat sebelumnya. Bahasanya berbunga-bunga, tapi isinya sederhana: Aku berhak menggunakan nama Otori dan menerima semua keistimewaan sebagai anak laki-laki di klan ini. Jika memiliki anak, maka anakku memiliki hak yang sama sepertiku. Dan imbalannya aku sepakat untuk berperilaku sebagai anak Lord Shigeru, menerima perintahnya dan bersumpah setia pada klan Otori. Jika dia meninggal tanpa pewaris sah lainnya, maka aku yang akan mewarisi semua hak miliknya. Kedua bangsawan itu lalu mengambil stempel. "Pernikahan akan dilangsungkan di bulan kesembilan," kata Masahiro, "Setelah Festival of the Dead **. Lord Iida ingin pernikahan ini dirayakan di Inuyama. Noguchi telah mengirim Lady Shirakawa ke Tsuwano. Kalian akan bertemu di sana dan kemudian kau mendampingi mereka ke Ibukota." Stempel itu menggantung di udara, seperti tertahan oleh kekuatan gaib. Masih ada waktu bagiku untuk bicara, untuk menolak pengangkatanku atas syarat yang diajukan dan memperingatkan Lord Shigeru bahwa itu adalah jebakan. Tapi aku hanya terdiam. Semua ini berlangsung di luar kendali manusia. Kini hidup kami ada di tangan takdir. "Bisakah kami stempel sekarang, Shigeru?" tanya Masahiro dengan kesopanan yang berlebihan. Lord Shigeru berkata tanpa ragu. "Silakan," katanya. "Aku terima pernikahan ini, dan aku merasa bahagia bisa membuat kalian senang." Maka stempel itu pun dibubuhkan dan kini aku resmi menjadi keluarga klan Otori, menjadi anak angkat Lord Shigeru. Dan saat stempel klan Otori ditekan di atas kertas, kami sadar kalau stempel itu telah menentukan takdir kami. Kabar tentang pengangkatanku lebih dulu sampai di rumah dari kami, dan pesta pun telah disiapkan. Lord Shigeru dan aku sebenarnya tidak begitu gembira, tapi sepertinya Lord Shigeru telah membuang kecemasannya tentang pernikahan dan menunjukkan rasa senang yang tidak dibuat-buat. Begitu juga seluruh penghuni rumah ini. Aku telah menjadi bagian dari mereka sejak tinggal di rumah ini. Dalam pesta ini, aku dipeluk, disentuh, dan dihujani dengan beras merah. Aku disuguhi teh khusus pembawa keberuntungan buatan Chiyo, hasil racikan ganggang dan buah plum yang telah diasinkan. Semua perlakuan itu membuat mukaku pegal karena terlalu banyak tersenyum, dan air mata kegembiraan berlinang, rasa sedih aku kesampingkan. Kini Lord Shigeru lebih pantas mendapatkan kasih sayang dan kesetiaanku. Kelicikan pamannya membuat aku sangat marah, dan aku juga mencemaskan rencana jahat mereka. Apalagi dengan kemunculan orang berlengan satu itu. Aku merasakan tatapan Kenji yang tidak lepas dariku: Aku tahu dia sudah tidak sabar ingin mengetahui apa kudengar, aku pun sudah tidak sabar untuk menceritakan pada Kenji dan Lord Shigeru. Tapi hari telah larut malam, kasur telah dibentangkan, dan semua pelayan telah terlelap, aku masih segan untuk merusak kegembiraan bila harus menyampaikan berita buruk. Aku pergi tidur tanpa berkata apa-apa lagi, tapi Kenji, yang biasanya paling tenang, menghadang saat aku hendak mematikan lampu. Dia berkata, "Sekarang kau harus mengatakan apa yang kau dengar dan kau lihat." "Akan kukatakan besok," kataku. Bayangan kelam nampak di mata Lord Shigeru. Meskipun sedih, aku tetap berusaha tenang. Dia berkata, "Kurasa kita harus bersiap menghadapi yang terburuk." "Apa yang membuat kudamu takut?" tanya Kenji. "Karena aku gugup. Pada saat yang bersamaan, aku melihat orang yang berlengan satu itu." "Ando. Aku juga melihatnya. Aku tak tahu kalau kau melihatnya, kau tidak bereaksi apa-apa." "Dia mengenali Takeo?" tanya Lord Shigeru. "Dia memperhatikan kalian sejenak, lalu pura-pura acuh. Tapi fakta bahwa dia ada di sini menunjukkan hahwa dia telah mendengar sesuatu." Kenji menatapku lalu melanjutkan, "Si pedagang sahabatmu itu pasti sudah buka mulut!" "Aku senang Takeo telah diangkat secara resmi," kata Shigeru. "Ini bisa memberinya perlindungan." Aku hendak mengatakan apa yang kudengar siang tadi, tapi aku masih merasa sulit untuk mengatakan kekejian kedua orang itu. "Maaf Lord Shigeru," aku mulai berbicara, "Aku mendengar kedua pamanmu berbicara rahasia." "Kurasa kau mendengar percakapan itu saat kita menghitung-atau salah menghitung jumlah penghuni rumah pamanku," balasnya dengan nada datar. "Mereka membicarakan tentang pernikahanku?" "Siapa yang akan menikah?" tanya Kenji. "Aku dipaksa menikah untuk mempererat persekutuan antara Otori dengan Tohan," jawab Lord Shigeru. "Calonnya adalah tawanan Lord Noguchi yang bernama Shirakawa." Alis mata Kenji naik tanpa berkata sepatah kata pun. Lord Shigeru melanjutkan, "Pamanku menyatakan dengan jelas bahwa pengangkatan Takeo bergantung pada pernikahan ini." Dia menatap ke arah kegelapan dan berkata perlahan, "Aku terjebak di antara dua kewajiban. Aku tak bisa memenuhi keduanya, tapi aku pun tak boleh merusak keduanya." "Takeo harus mengatakan isi pembicaraan kedua pemimpin Otori itu," guman Kenji. Ini mempermudah aku untuk mengatakannya. "Pernikahan itu hanyalah jebakan yang dirancang untuk mengusir Lord Shigeru dari Hagi karena popularitas Lord Shigeru dan perlawanannya pada Tohan dapat memecah-belah klan Otori. Seseorang yang bernama Arai saat ini sedang bersiap-siap menantang Iida di Barat. Bila Otori bergabung dengannya, Iida akan terkurung di tengah." Suaraku menghilang pada kalimat terakhir, lalu aku memandangi Lord Shigeru. "Lord Otori tahu semua ini?" "Aku memang berhubungan dengan Arai," jawabnya. "Lanjutkan." "Lady Shirakawa memiliki reputasi buruk sebagai pembawa kematian bagi laki-laki. Pamanmu berencana untuk... " "Membunuhku?" suaranya tidak menunjukkan perasaan apa pun. "Tidak seharusnya aku mengatakan hal yang memalukan ini," aku menggerutu, wajahku memanas seakan terbakar. "Mereka yang membayar Shintaro untuk memunuhmu." Jangkrik sedang bernyanyi riang di taman. Keringat membanjiri keningku, udara terasa panas dan pengap. Malam ini tidak ada bulan maupun bintang. Sungai menyebarkan bau busuk dan lumpur, bau yang berasal dari jaman primitif, sama primitifnya seperti pengkhianatan. "Aku sadar kalau mereka tidak menyukaiku," kata Lord Shigeru. "Tapi tidak mengira mereka akan menyuruh Shintaro membunuhku! Mereka tentu menganggap aku sebagai ancaman." Lord Shigeru menepuk bahuku. "Terima kasih, Takeo. Aku senang kau menemaniku ke Inuyama." "Kau pasti bercanda," seru Kenji. "Kau tidak boleh mengajak Takeo ke sana!" "Nampaknya aku harus pergi, dan aku merasa lebih aman jika dia ikut bersamaku. Lagi pula dia anakku. Dia harus menemaniku." "Ajak aku ikut bersamamu!" aku menyela. "Kau akan menikahi Lady Shirakawa Kaede?" tanya Kenji. "Kau tahu tentang dia, Kenji?" "Tentu. Siapa yang tidak tahu? Usianya hampir lima belas tahun dan cantik, begitulah kata orang." "Kalau begitu aku tak akan menikahinya." Suara Lord Shigeru terdengar ringan, hampir seperti bercanda. "Tapi tak ada ruginya bila orang mengira aku akan menikahinya, setidaknya untuk sementara waktu. Hal ini akan mengalihkan perhatian Iida dan memberi kita kesempatan selama beberapa minggu." "Mengapa kau tidak mau menikah?" tanya Kenji. "Kau mengatakan kalau kau terperangkap di antara dua kewajiban. Sewaktu kau sepakat untuk menikah demi pengangkatan Takeo, aku bisa mengerti karena dia memang menjadi prioritas utamamu. Apakah kewajiban kedua berarti kau sudah menikah secara diam-diam?" "Mungkin seperti itu," Shigeru mengakui setelah diam sesaat. "Ada wanita lain." "Siapa?" "Sudah lama kusimpan rahasia ini, aku tidak yakin bisa menyimpannya lebih lama lagi," balas Lord Shigeru. "Takeo boleh mengatakan siapa wanita itu, kalau dia tahu." Kenji berbalik ke arahku. Aku menelan ludah dan berbisik, "Lady Maruyama?" Shigeru tersenyum, "Sudah berapa lama kau tahu hal ini?" "Sejak kita bertemu dengan Lady di penginapan, di Chigawa." Baru pertama kali inilah aku melihat Kenji kaget. "Wanita yang membuat Iida kebakaran jenggot dan juga ingin menikahinya? Sudah berapa lama kalian berhubungan?" "Kau tak akan percaya," balas Shigeru. "Setahun? Dua tahun?" "Sejak aku berumur dua puluh tahun." "Sepuluh tahun!" Kenji tampak kaget atas kenyataan hahwa dia tak tahu apa pun tentang hubungan itu, sama kagetnya dengan kabar itu. "Sepertinya kau meniiliki alasan lain untuk membenci Iida." Kenji menggelengkan kepala karena takjub. "Hubungan kami lebih dari sekedar cinta," kata Shigeru perlahan. "Kami juga bersekutu. Lady Maruyama dan Arai mengendalikan Seishuu dan Barat Daya. Jika Otori bergabung dengan mereka, kami bisa mengalahkan Iida." Dia berhenti, lalu melanjutkan, "Seandainya Tohan mengambil wilayah Otori, kita akan melihat kekejaman dan penyiksaan yang sama seperti saat aku menyelamatkan Takeo di Mino. Aku tidak bisa berdiam diri dan melihat Iida memaksakan keinginannya pada rakyatku. Aku tak bisa melihat wilayahku dihancurkan dan desaku dibakar. Kedua pamanku- dan juga Iida-sadar kalau aku tak akan menyerah sehingga mereka menyusun rencana untuk menyingkirkanku. Iida mengundangku ke rumahnya, tempat yang hampir pasti akan membuatku terbunuh. Aku akan memanfaatkan rencananya ini. Apakah ada cara yang lebih baik agar bisa ke Inuyama?" Kenji menatap Shigeru dengan dahi berkerut. Aku melihat senyum tulus Shigeru dalam keremangan cahaya lampu. Ada sesuatu yang sangat menarik pada dirinya. Keberaniannya membuat semangatku bergelora. Kini aku tahu mengapa orang begitu mencintainya. "Ada beberapa hal yang bukan menjadi perhatian Tribe," ujar Kenji akhirnya. "Aku jujur padamu; aku yakin semua ini tak akan berlanjut lebih jauh lagi. Selain berterima kasih karena kau telah menjaga rahasia, aku sangat berterima kasih atas bantuanmu," kata Lord Otori. "Aku tak akan mengkhianatimu, Shigeru. Tapi, seperti yang pernah kau katakan, kesetiaan kita berbeda. Aku tak bisa mengingkari bahwa aku anggota Tribe. Takeo adalah Kikuta. Cepat atau lambat Kikuta akan menjemputnya. Tak ada yang bisa kulakukan akan hal itu." "Biarkan Takeo yang menentukan pilihannya bila saatnya tiba," ujar Shigeru. "Aku telah memberi sumpah setia pada Man Otori," kataku. "Aku tak akan pernah meninggalkanmu, dan akan kulakukan apa pun yang kau minta." Aku merasa seakan sudah berada di Inuyama, wilayah di mana Lord Iida Sadamu meringkuk di balik nightingalefloor miliknya.* ENAM DENGAN membawa sedikit harapan tentang masa depannya, Kaede meninggalkan kastil Noguchi tanpa ada penyesalan. Selama perjalanan ia tidak mampu menahan rasa takjub atas semua yang ia lihat. Selama delapan tahun ia menjadi tawanan di Noguchi, ia tidak hanya menghabiskan waktu di balik dinding. Awalnya Kaede dan Lady Maruyama melakukan perjalanan dengan menggunakan tandu yang diangkat oleh beberapa orang, namun tandu yang selalu bergoyang-goyang membuat Kaede mual. Maka saat mereka berhenti untuk beristirahat, Kaede memaksa keluar dan berjalan kaki bersama Shizuka. Cuaca saat itu sangat panas, matahari bersinar begitu terik. Shizuka memakaikan topi lebar dan memegang payung untuk melindungi seluruh tubuh Kaede. "Kulit Lady Shirakawa tak boleh terlihat kecoklatan di depan calon suami, seperti kulitku yang kecoklatan ini," dia berkata sambil tertawa terkekeh-kekeh. Mereka beristirahat sejenak di penginapan pada saat tengah hari, lalu melanjutkan perjalanan beberapa mil lagi sebelum malam. Di saat berhenti, Kaede memikirkan berbagai hal yang ia lihat selama perjalanan: padi yang hijau cemerlang, begitu lembut dan subur menyerupai bulu-bulu hewan; air sungai yang berada di sisi jalan memercikkan kejernihan; gunung yang membentuk barisan diselimuti pepohonan yang hijau dan bunga liar yang berwarna merah. Tampak pula orang yang berlalu-lalang di jalan: para ksatria dalam balutan baju baja dengan pedang di pinggang sambil menunggang kuda; petani membawa alat bertani; gerobak kuda, pengemis dan pedagang keliling. Kaede seharusnya tidak boleh menatap mereka, dan mereka harus membungkuk ketika iring-iringan lewat, tapi Kaede mencuri pandang untuk melihat wajah mereka, sama seperti yang mereka lakukan saat memandangi dirinya. Mereka ditemani beberapa pengawal Lady Maruyama yang dipimpin oleh Sugita. Dia nampak akrab dengan sang Lady layaknya seorang paman. Kaede juga rnenyukai Sugita. "Aku gemar berjalan-jalan saat seusiamu," kata Lady Maruyama saat mereka menyantap hidangan malam. "Jujur saja, sampai sekarang aku masih senang melakukan perjalanan, hanya saja aku takut terkena sinar matahari." Dia menatap kulit Kaede yang belum berkeriput. Seharian dia memperlakukan Kaede dengan ramah, tapi Kaede tidak bisa melupakan kesan pertama saat wanita ini menunjukkan rasa tidak suka pada dirinya. "Kau menunggang kuda?" tanya Kaede. Ia merasa iri pada laki-laki yang berada di atas kuda: mereka tampak begitu berkuasa dan bebas. "Kadang aku menunggang kuda," jawab Lady Maruyama. "Tapi, saat melewati wilayah Tohan, aku menjadi wanita yang lemah, sehingga aku memakai tandu." Kaede memandangi sang Lady dengan penuh tanda tanya. "Tapi menurut kabar, Lady Maruyama sangat berkuasa," kata Kaede pelan. "Kekuasaanku harus disembunyikan bila berada di dekat laki-laki," jawabnya, "atau mereka tanpa ragu akan menghancurkanku." "Aku belum pernah menunggang kuda," kata Kaede mengaku. "Tapi, anak ksatria harus bisa menunggang kuda!" seru Lady Maruyama. "Keluarga Noguchi tidak mengajarimu?" "Mereka tidak mengajariku apa pun," jawab Kaede pedih. "Kau tidak diajari menggunakan pedang maupun belati? Panah juga tidak?" "Aku tak tahu kalau wanita juga belajar semua itu." "Di wilayah Barat, mereka melakukannya." Sejenak tiuasana hening. Kaede yang merasa masih lapar lalu mengambil sedikit nasi lagi. "Apakah Noguchi memperlakukanmu dengan baik?" tanya Lady Maruyama. "Awalnya tidak, tidak sama sekali." Kaede merasa seakan dirinya terbelah antara kebiasaannya yang selalu menanggapi pertanyaan dengan berhati-hati, terutama tentang dirinya, dan keinginannya untuk mempercayal wanita yang memiliki kesamaan klas dengan dirinya. Di ruangan ini mereka berdua terpisah dari Shizuka dan pelayan Lady Maruyama, Sachie, yang duduk tenang sehingga Kaede lupa akan kehadiran mereka. "Setelah kejadian pada seorang penjaga, aku dipindah ke rumah mereka." "Sebelumnya?" "Aku serumah dengan para pelayan di kastil." "Keterlaluan," kata Lady Maruyama dengan nada pahit. "Noguchi berbuat begitu? Padahal kau dari klan Shirakawa... " Dia menunduk, lalu berkata, "Aku mencemaskan anakku, dia menjadi tawanan Lord Iida." "Keadaannya tidak begitu buruk saat aku masih kanak-kanak," kata Kaede. "Semua pelayan sayang padaku. Namun, ketika musim panas tiba dan aku bukan lagi anak kecil, meskipun belum dapat dikatakan dewasa, tak ada orang yang mau melindungiku. Sampai suatu ketika ada penjaga yang menemui ajalnya... " Masih trauma akan kejadian itu, suaranya menjadi tersendat. Emosinya meluap, membuat matanya penuh dengan air mata. Kenangan beberapa waktu lalu kini datang lagi menyergapnya: tangan penjaga itu, belati, darah, kematian orang itu di depannya. "Maaf," bisik Kaede. Lady Maruyama meraih tangan Kaede. "Anak yang malang," katanya sambil meremas jari Kaede. "Semua anak yang malang, semua anak perempuan yang malang. Andai aku mampu membebaskan kalian semua." Tidak ada yang Kaede inginkan saat ini kecuali menangis, melepas semua beban di hatinya. Dia berusaha mengendalikan diri. "Setelah kejadian itu, mereka memindahkan aku ke rumah Noguchi. Setelah diberi pelayan pribadi, pertama bernama Junko, dan kemudian Shizuka, barulah hidupku berubah lebih baik. Sebelumnya aku akan dinikahkan dengan laki-laki tua. Aku lega orang itu mati. Tapi, orang mulai menyebar rumor bahwa setiap orang yang menginginkan diriku pasti mati." Kaede mendengar desah napas Lady Maruyama. Selama beberapa saat mereka terdiam. "Aku tak ingin menjadi penyebab kematian orang-orang itu," kata Kaede dengan pelan. "Aku takut menikah. Aku tidak mau Lord Otori mati karenaku." Lady Maruyama membalas ucapannya itu dengan lirih. "Kau tak boleh berkata seperti itu, apalagi memikirkannya." Kaede memandangnya. Wajah orang ini terlihat memucat di bawah sinar lampu, seolah cemas. "Aku sangat lelah," lanjut sang Lady. "Maaf, aku tak dapat berbincang lebih banyak lagi. Lagipula perjalanan kita masih jauh." Dia memanggil Sachie. Semua nampan makanan diangkat dan kasur pun dibentangkan. "Apakah aku salah bicara sehingga dia menjadi tersinggung?" bisik Kaede. "Aku tidak memahami dia. Kadang dia ramah, dan kadang dia melihatku seakan-akan aku adalah racun baginya." "Kau hanya berkhayal," ujar Shizuka dengan santai. "Lady Maruyama menyukaimu. Terlepas dari semuanya, kau adalah kerabat terdekatnya." Benarkah?" tanya Kaede dengan ragu dan, setelah Shizuka mengiakan dengan anggukan, dia lalu bertanya lagi, "Apakah itu penting?" "Sendainya terjadi sesuatu pada dia dan anaknya, maka kaulah yang menjadi pewaris Maruyama. Tak ada yang mengatakan ini karena Tohan masih berharap bisa menguasai wilayah itu. Hal ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Iida memaksamu pergi ke Noguchi sebagai tawanan." Melihat Kaede terdiam, Shizuka lalu melanjutkan, "Kau bahkan lebih penting dari Lady Maruyama!" "Jangan mengolok-olok! Aku merasa seperti tersesat di dunia ini. Aku merasa seperti tidak tahu apa-apa!" Kaede pergi berbaring, benaknya masih dipenuhi berbagai macam pikiran. Dia sadar bahwa Lady Maruyama juga tidak bisa tidur, dan keesokan paginya wajah cantik wanita itu terlihat letih dan lesu. Namun dia berbicara pada Kaede dengan ramah dan, saat mereka hendak berangkat, dia memberi Kaede seekor kuda jantan. Sugita mengangkat Kaede ke punggung kuda dan, di awal perjalanan, seorang pengawal berjalan sambil menuntun kudanya. Kaede teringat pada kuda poni yang pernah ia tunggangi di saat kecil, dan kemampuan berkudanya kini mulai muncul. Shizuka tidak membiarkan Kaede berkuda seharian. Dia mengatakan kalau nanti badannya akan sakit dan pegal, namun Kaede menikmati saat-saat berada di atas punggung kuda, dan tak sabar untuk mendaki gunung lagi. Irama langkah kaki kuda membuat dirinya lebih tenang dan pikirannya tak lagi kacau. Selama menunggang kuda, Kaede mencemaskan ketidaktahuannya tentang dunia yang kini ia masuki. Ia tidak ubahnya sebuah bidak yang dimainkan oleh para bangsawan. Dan Kaede menantikan saat untuk dapat menjadi lebih dari sekadar bidak, tidak sabar untuk segera memahami teknik permainan dan menjadi pemain. Ada dua peristiwa lain yang juga mengganggunya. Pada suatu sore, saat beristirahat di persimpangan jalan, mereka bertemu sekelompok orang berkuda yang datang dari barat daya, seperti telah diatur. Shizuka berlari menyapa mereka dengan cara yang biasa dia lakukan, penasaran untuk tahu darimana mereka berasal dan kabar apa yang mereka bawa. Dengan malas Kaede menatap Shizuka yang sedang berbicara pada salah seorang laki-laki dari rombongan itu. Orang yang diajak hicara mencondongkan badan lebih rendah dari pelana, lalu mengatakan sesuatu pada Shizuka. Shizuka mengangguk-angguk dengan serius, kemudian orang itu menepuk kudanya. Kuda itu melangkah maju. Terdengar tawa keras para laki-laki, dan diikuti tawa nyaring Shizuka, tapi Kaede merasa ada yang baru pada diri gadis Yang kini menjadi pelayannya itu, suatu kekuatan. Setelah kejadian itu, Shizuka kembali bersikap seperti biasa, berteriak bila melihat keindahan alam yang mereka lalui, memetik seikat bunga liar, bertukar sapa dengan setiap orang yang dia temui. Pada suatu malam ketika sampai di penginapan, Kaede melewati sebuah ruangan, dan melihat Shizuka sedang berbicara serius dengan Lady Maruyama, bukan seperti pelayan karena mereka berdua duduk berlutut. Sewaktu melihat Kaede datang, mereka langsung mengganti pembicaraan, mereka membicarakan tentang cuaca dan persiapan untuk besok. Kaede merasa dikhianati karena Shizuka pernah mengatakan, orang seperti aku tak pernah bertemu dengan orang seperti Lady Maruyama. Tapi tadi terlihat jelas kalau mereka memiliki hubungan. Hal ini membuat Kaede cemas dan cemburu. Ia sangat bergantung pada Shizuka dan ia tak ingin membaginya dengan orang lain. Hari semakin panas dan perjalanan semakin tidak menyenangkan. Suatu hari, bumi bergetar beberapa kali, membuat Kaede gelisah. Ia tidak bisa tidur karena terganggu oleh rasa cemas dan juga karena kehadiran nyamuk dan serangga lainnya. Ia tak sabar menanti akhir perjalanan ini, walaupun ia juga cemas saat nanti di kota Tsuwano. Setiap ia hendak menanyakan hubungan Shizuka dengan Lady Maruyama, ada saja yang halangannya. Meskipun tetap memperlakukan ia dengan baik, namun Kaede tidak lagi mempercayai sang Lady. Ia menanggapi perkataan sang Lady dengan hati-hati. Selera makannya pun hilang. Shizuka mengomeli di malam harinya saat Kaede mandi. "Semua tulangmu menonjol, Lady. Kau harus makan! Apa tanggapan suamimu nanti?" "Jangan bicara soal suamiku!" Kaede menyela, "Aku tak peduli apa yang dia pikirkan. Semoga dia benci melihatku, lalu meninggalkanku!" Tapi kemudian Kaede merasa malu karena apa yang ia katakan sangatlah kekanak-kanakan. Ketika akhirnya tiba di Tsuwano dengan menunggang kuda di jalan yang kecil, barisan gunung mulai terlihat gelap, menutupi matahari yang mulai terbenam. Semilir angin berhembus dari sawah yang bertingkat-tingkat, mirip ombak. Teratai memamerkan daunnya vang hijau bak zamrud raksasa, dan di sekeliling sawah terdapat bunga-bunga liar yang mekar dalam warna pelangi. Cahaya sore telah merubah warna dinding-dinding yang putih di kota ini menjadi merah jambu dan keemasan. "Kota ini nampak menyenangkan!" seru Kaede. Lady Maruyama yang berkuda di depan membalikkan badan. "Kita tak lagi di wilayah Tohan. Ini wilayah Otori," katanya. "Di kota ini kita menunggu kedatangan Lord Shigeru." Keesokan paginya, Shizuka memberi Kaede pakaian vang aneh, berbeda dengan kimono yang biasa Kaede pakai. "Lady harus belajar pedang," kata Shizuka sambil menunjukkan cara memakai pakaian itu. Dia memandang Kaede dengan pandangan puas. "Selain rambut, Lady Kaede seperti laki-laki," ujarnya dan mengangkat rambut tebal Kaede ke atas, menjauhkan dari wajahnya, kemudian mengikatnya ke belakang dengan tali kulit. Kaede menggerakkan tangan, dan meraba sekujur tubuhnya, Pakaian ini terasa berat dan juga longgar. Pakaian ini berbeda sekali dengan pakaian yang pernah ia kenakan. Pakaian ini bisa menyembunyikan bentuk badannya dan ia pun dapat bergerak bebas. "Siapa yang suruh?" "Lady Maruyama. Kita akan menunggu di sini selama beberapa hari, mungkin seminggu sebelum rombongan dari Otori tiba. Lady Maruyama ingin kau tetap sibuk agar tidak jenuh." "Lady Maruyama sungguh baik," kata Kaede. "Siapa yang akan mengajariku?" Shizuka hanya menjawab dengan tertawa kecil. Dia mengajak Kaede ke seberang jalan dari tempat mereka menginap, ke sebuah bangunan yang berlantai kayu. Di tempat itu, mereka melepas sandal dan memakai sepatu yang ada pemisah antara ibu jari dengan jari lainnya. Shizuka memberi Kaede sebuah topeng yang berguna untuk melindungi wajah, dan mengambil dua tongkat kayu dari rak yang ada di dinding. "Lady pernah belajar bertarung dengan menggunakan tongkat?" "Pernah, sewaktu kecil," balas Kaede. "Sejak aku bisa berjalan." "Kalau begitu, kau akan segera ingat lagi." Shizuka memberikan kepada Kaede sebuah tongkat. Shizuka mememgang tongkat lainnya dengan kedua tangannya, lalu dia melakukan serangkaian gerakan lentur. Tongkat bergerak di udara secepat kilat. "Bukan seperti itu!" kata Kaede heran. Ia mengira Shizuka melakukan itu tanpa tenaga. Shizuka tertawa kecil, penampilannya kini berubah dari seorang ksatria menjadi pelayan yang berkepala kosong. "Lady Kaede pasti akan ingat lagi semua pelajaran yang dulu! Ayo kita mulai." Kaede merasa kedinginan, meskipun cuaca musim panas di pagi ini terasa hangat. "Kaukah gurunya?" "Oh, aku hanya tahu sedikit, Lady. Yang kau tahu mungkin sama banyaknya denganku. Kurasa tak ada sesuatu yang bisa kuajarkan." Meskipun Kaede dapat mengingat gerakan yang pernah ia pelajari dan diuntungkan karena tinggi serta memiliki kemampuan alami, tapi kemampuan Shizuka jauh melebihi dirinya. Saat hari menjelang siang, Kaede merasa letih dan marah. Ketika Shizuka berlaku sebagai pelayan, dia melakukan apa saja untuk menyenangkan Kaede, tapi sebagai guru, dia tidak mengenal ampun. Setiap gerakan harus sempurna. Ketika Kaede merasa telah menemukan iramanya, Shizuka menyuruhnya berhenti lalu memberitahukan bahwa keseimbangannya berada di atas kaki yang salah. Di lain waktu, saat mereka scdang berlatih, Shizuka memberitahukan titik lemahnya kalau diserang. Akhirnya Shizuka memberi tanda kalau latihan telah selesai. Dia meletakkan kedua tongkat ke tempatnya, melepaskan pelindung wajah, lalu menyeka wajah Kaede dengan handuk. "Bagus," kata Shizuka. "Lady memiliki keahlian yang sangat baik. Kita akan mengejar tahun-tahun ketinggalanmu." Dengan banyaknya kegiatan fisik, kaget karena tahu keahlian Shizuka, dan pakaian aneh membuat kendali diri Kaede pecah. Ia meraih handuk dan membenamkan wajah ke handuk itu lalu menangis tersedu-sedu. "Lady," bisik Shizuka, "Lady jangan menangis. Tak ada yang perlu ditakutkan." "Siapa dirimu sebenarnya?" teriak Kaede, "Mengapa kau berpura-pura? Kau mengatakan tak mengenal Lady Maruyama!" "Aku ingin mengatakan semuanya, tapi sekarang bukanlah saat yang tepat. Tugasku yaitu menjagamu. Arai yang mengirimku." "Kau mengenal Arai? Kau mengatakan kalau kau hanya satu kota dengannya." "Kami memang dari kota yang sama, tapi kami lebih dekat dari itu. Arai sangat menghormatimu. Dia merasa berhutang budi padamu. Sewaktu dikucilkan Lord Noguchi, dia benar-benar marah. Dia merasa terhina karena ketidakpercayaan Lord Noguchi, dan juga karena perlakuan mereka kepadamu. Begitu mendengar kau akan menikah di Inuyama, dia langsung mengatur agar aku bisa menemanimu." "Mengapa? Apakah ada bahaya di sana?" "Inuyama adalah tempat yang berbahaya. Apalagi saat ini, Tiga Wilayah diambang peperangan. Setelah persekutuan dengan Otori ditetapkan melalui pernikahanmu, Iida pasti akan menyerang Seishuu." Bias cahaya matahari menembus debu-debu yang berhamburan saat mereka berlatih pedang. Dari luar kisi-kisi jendela, Kaede mendengar arus air di kanal, teriakan pedagang jalanan, dan juga tawa anak-anak. Semua nampak begitu sederhana dan terbuka, seperti tak ada rahasia suram yang tersembunyi di baliknya. "Aku hanyalah sebuah bidak," ujar Kaede perih. "Kalian akan mengorbankan aku, sama seperti yang akan Tohan lakukan." "Tidak, Arai dan aku adalah pelayanmu, Lady. Arai telah bersumpah akan melindungimu dan aku mematuhinya," Shizuka tersenyum, wajahnya tiba-tiba terlihat bersemangat. Mereka sepasang kekasih, pikir Kaede. Ia merasa cemburu karena harus berbagi perhatian Shizuka dengan orang lain. Ingin Kaede bertanya, Lalu bagaimana dengan Lady Maruyama? Apa perannya? Dan bagaimana dengan orang yang akan kunikahi? Tapi, ia takut mendengar jawabannya. "Cuaca terlalu panas untuk berlatih lagi," ujar Shizuka. Dia mengambil handuk dari Kaede dan menyeka keringat yang menetes ke matanya. "Besok aku akan mengajarimu cara menggunakan belati." Saat berdiri, dia menambahkan, "Jangan memperlakukan aku dengan berbeda. Aku adalah pelayanmu, tidak lebih." "Maafkan aku karena telah memperlakukanmu begitu buruk," ujar Kaede salah tingkah. "Kau tidak pernah memperlakukan aku dengan buruk!" Shizuka tertawa. "Jika pernah, kau masih terlalu lembut. Meskipun keluarga Noguchi tidak mengajarim sesuatu yang berguna, tapi setidaknya kau tidak belajar kekejaman dari mereka." "Aku belajar menyulam," kata Kaede, "tapi, tidak mungkin aku bisa membunuh hanya dengan jarum." "Bisa saja," kata Shizuka dengan santai. "Kelak aku akan mengajarimu." Seminggu lamanya mereka menanti kedatangan bangsawan Otori. Cuaca semakin panas dan gerah. Hampir setiap malam awan badai berkumpul mengelilingi puncak gunung, dan di kejauhan kilat menyambar, meskipun hujan tidak juga turun. Setiap hari Kaede berlatih cara bertarung dengan pedang dan belati. Pelajarannya dimulai pagi hari, sebelum hari panas, dan keringat selalu membanjiri wajah dan tubuhnya. Akhirnya, di suatu sore, ketika sedang membasuh muka dengan air dingin, terdengar derap kaki kuda yang berbeda dari biasanya, dan disertai gonggongan anjing. Shizuka memberi isyarat untuk melihat melalui jendela, "Lihat! Mereka sudah datang! Bangsawan Otori sudah datang." Kaede melihat melalui kisi-kisi jendela. Sekelompok orang berkuda mendekat. Hampir semua orang memakai pelindung kepala dan baju baja, namun ada seorang pemuda yang tidak memakai pelindung kepala. Usia pemuda itu tidak terpaut jauh dengannya, dan rambutnya hitam bercahaya. "Diakah Lord Shigeru?" "Bukan," Shizuka tertawa. "Lord Shigeru yang berkuda di depan. Itu anak angkatnya, Lord Takeo." Shizuka mengatakan kata lord dengan nada sinis, yang kelak akan diingat Kaede. Namun, saat ini ia tak memperhatikan perkataan Shizuka karena sedang menatap pemuda itu, dan seakan-akan mendengar namanya disebut, pemuda itu lalu menoleh. Mata pemuda itu memperlihatkan perasaan yang dalam, mulutnya tampak sensitif, dan Kaede melihat karakter yang kuat dan juga kesedihan di wajahnya. Ada yang terbakar di hatinya, rasa ingin tahu dan juga kerinduan, suatu perasaan yang tidak ia pahami. Anak muda itu lalu melanjutkan berkuda. Setelah pemuda itu hilang dari pandangan, Kaede merasa sebagian dari dirinya telah hilang. Seperti mayat hidup, ia mengikuti Shizuka kembali ke penginapan. Sewaktu tiba di sana, Kaede gemetar. Shizuka, yang salah mengartikannya, berusaha menenangkan. "Lord Otori adalah orang yang baik. Kau tidak perlu takut. Tak akan ada yang menyakitimu." Kaede diam, tidak bicara karena hanya satu kata yang ingin ia ucapkan, Takeo. Shizuka merayu agar Kaede mau makan-pertama dia menyajikan sup hangat, lalu mie dingin-tapi ia tidak memakannya. Shizuka membaringkannya. Kaede gemetar di bawah selimut, matanya berbinar, kulitnya kering, tubuhnya tak bisa diam, mirip ular. Guntur bergemuruh di pegunungan dan udara diliputi kabut. Karena gelisah, Shizuka menyuruh orang untuk memanggil Lady Maruyama. Ia datang bersama seorang laki-laki. "Paman!" teriak Shizuka dengan gembira. "Ada apa?" tanya Lady Maruyama sambil duduk berlutut di samping Kaede dan meraba keningnya. "Dia sangat panas; dia pasti demam." "Saat itu kami sedang berlatih," Shizuka menjelaskan. "Kami melihat kedatangan bangsawan Otori, dan dia pun langsung demam." "Bisakah kau sembuhkan dia, Kenji?" tanya Lady Maruyama. "Dia takut akan pernikahannya," ucap Shizuka perlahan. "Aku bisa mengobati demam, tapi bukan yang seperti ini. Maaf, aku tidak bisa," kata laki-laki tua itu. "Tapi aku akan membuatkan ramuan. Mungkin teh bisa membuat dia tenang." Kaede berbaring tidak bergerak dengan mata tertutup. Ia mendengar semua pembicaraan itu dengan jelas, namun mereka seperti berbicara dari dunia lain, dirinya masih belum dapat melepas ingatan saat tatapan matanya bertemu dengan mata Takeo. Kaede memaksakan diri untuk menelan teh, Shizuka menopang kepalanya seolah-olah ia anak kecil, dan tidak lama setelah itu Kaede tertidur. Ia terbangun karena gemuruh guntur. Hujan turun, menetesi atap dan mengalir di bebatuan. Ia tersadar dari mimpinya yang terasa nyata dan kini, saat ia membuka mata, mimpi itu lenyap. Hanya satu yang ia tahu pasti, ia sedang jatuh cinta. Rasa kaget, gembira, dan cemas datang silih berganti. Awalnya ia merasa akan mati bila berjumpa pemuda itu, tapi kemudian ia merasa ingin mati bila tak berjumpa pemuda itu lagi. Ia mengeluh pada dirinya: bagaimana mungkin ia jatuh cinta pada anak angkat dari calon suaminya? Lalu ia berpikir: Pernikahan apa? Aku tidak akan menikahi Lord Otori. Aku tidak akan menikahi siapa pun selain Takeo. Lalu ia menertawai kebodohannya. Seakan-akan memang ada orang yang menikah atas nama cinta. Aku selalu membawa bencana, pikirnya sejenak, Tapi bagaimana mungkin perasaan ini bisa berubah menjadi bencana? Ketika Shizuka kembali, Kaede meyakinkan kalau ia telah pulih. Demamnya yang telah hilang kini berganti debaran jantung yang kencang sehingga matanya nampak bersinar dan kulitnya bercahaya. "Kau lebih cantik dari sebelumnya!" seru Shizuka saat memandikan dan membantu Kaede memakai kimono yang telah disiapkan untuk acara pertunangan, saat pertama kali ia akan berjumpa calon suaminya. Lady Maruyama menyambut Kaede dengan penuh perhatian, menanyakan kesehatannya. Kaede sadar akan kegugupan Lady Maruyama saat dia ikut ke ruangan terbaik di penginapan yang telah disiapkan untuk Lord Otori. Kaede mendengar beberapa orang sedang berbincang ketika pelayan membuka pintu, dan mereka terdiam ketika melihatnya. Ia membungkuk, menyadari tatapan mereka, ia tidak berani balas menatap. Ia bisa merasakan setiap getaran di tubuhnya saat jantungnya berdetak kencang. "Ini Lady Shirakawa Kaede," kata Lady Maruyama. Suaranya terdengar dingin, pikir Kaede. Ia kembali bertanya-tanya, apa salahnya sampai wanita ini sangat tersinggung. "Lady Kaede, kuserahkan kau pada Lord Otori Shigeru," Lady Maruyama melanjutkan dengan suara lirih, hampir sulit didengar. Kaede menegakkan badan. "Lord Otori," ucapnya pelan sambil mengangkat mata, menatap wajah orang yang akan ia nikahi. "Lady Shirakawa," Shigeru membalas dengan sopan. "Kami dengar kau kurang sehat. Kau sudah pulih?" "Terima kasih, aku telah sehat." Kaede menyukai wajah laki-laki ini, tatapan matanya penuh kebaikan. Dia memang layak menyandang reputasinya, pikirnya. Tapi, bagaimana mungkin aku menikahinya? Rona merah terasa menjalar di pipinya. "Ramuanku tidak pernah gagal," kata orang yang duduk di samping kiri Lord Shigeru. Kaede mengenali suara orang yang telah membuatkan teh, orang yang Shizuka panggil paman. "Menurut kabar, Lady Shirakawa sangat cantik, tapi ternyata dia jauh lebih cantik." Lady Maruyama berkata, "Kau terlalu memujinya, Kenji. Jika seorang gadis tidak cantik saat dia berusia lima belas tahun, maka dia tak akan pernah cantik." Kaede merasa wajahnya bertambah merah. "Kami membawa hadiah untukmu," kata Lord Shigeru. "Walaupun hadiah itu akan terlihat pucat di sisi kecantikanmu, namun terimalah sebagai rasa hormat dan kesetiaan dari klan Otori. Takeo." Kaede dapat merasakan kalau Lord Otori berbicara dengan acuh, bahkan terkesan dingin. Kaede membayangkan apakah calon suaminya itu akan selalu begitu. Pemuda itu bangkit dan melangkah ke depan. Dia membawa sebuah nampan yang dipelitur mengkilap. Di atasnya ada bungkusan dari kain sutera yang berwarna merah jambu pucat dan dihiasi lambang klan Otori. Pemuda itu berlutut, lalu menyerahkan hadiah itu kepada Kaede. Kaede membungkuk sebagai ucapan terima kasih. "Ini anak angkat Lord Otori," kata Lady Maruyama. "Lord Otori Takeo." Kaede tidak berani menatap wajah pemuda itu, ia hanya berani melihat tangan Takeo. Jari pemuda itu nampak lentik, luwes dan bentuknya indah. Kulitnya adalah kombinasi antara warna madu dan teh, dan kukunya nampak pucat. Kaede bisa merasakan kalau pemuda ini pun tegang, seakan sedang mendengar, selalu mendengar. "Lord Takeo," bisik Kaede. Pemuda ini bukan seperti laki-laki dewasa yang takuti atau ia benci. Pemuda itu hampir seusia dengan dirinya, rambut dan kulitnya menunjukkan tekstur remaja. Debaran rasa ingin tahu yang ia rasakan kini datang lagi. Ia berharap bisa lebih mengenal pemuda ini. Mengapa Lord Otori mengangkatnya? Siapakah dia sebenarnya? Mengapa dia nampak begitu sedih? Dan mengapa ia merasa kalau pemuda itu bisa mendengar isi hatinya? "Lady Shirakawa." Nada suaranya rendah dan beraksen timur. Kaede ingin sekali menatapnya. Ia mengangkat mata dan tatapan mereka bertemu. Pemuda ini sedang memandangnya, kebingungan, dan Kaede merasakan ada sesuatu yang melompat dari dalam diri mereka, seolah sedang bersentuhan. Hujan yang semula mulai reda kini turun lagi dengan deras disertai guntur, membuat suara-suara di ruangan ini tenggelam. Angin berhembus semakin kencang, membuat cahaya lampu menari-nari dan bayangan memantul di dinding. Semoga aku bisa duduk di sini untuk selamanya, pikir Kaede. Lady Maruyama berkata tajam. "Kau telah bertemu orang ini, tapi belum sempat diperkenalkan. Ini adalah Muto Kenji, teman Lord Otori dan guru Lord Takeo. Dia akan membantu Shizuka melatihmu." "Tuan," Kaede mengenalinya, sekilas ia menatap orang itu dari bawah bulu matanya. Orang ini sedang menatapnya dengan kekaguman yang tidak dibuat-buat sambil menggelengkan kepala seakan-akan tidak percaya. Dia seperti orang tua yang baik, pikir Kaede, lalu: tapi dia tidak terlalu tua! Wajah orang ini seperti berubah Kaede merasa lantai yang ia duduki bergerak karena gempa ringan. Tidak ada yang bicara, tapi dari luar terdengar ada orang yang berteriak. Lalu, hanya angin dan hujan yang terdengar. Kaede merasa kedinginan lagi. Ia tidak mau ada orang yang tahu perasaannya ini. Semua orang penuh dengan kepura-puraan.* TUJUH SETELAH aku resmi menjadi keluarga klan Otori, aku mulai bertemu banyak anak sebaya yang berasal dari keluarga ksatria. Banyak yang meminta Ichiro untuk menjadi guru, dan dia pun setuju menerima murid lain. Ada dua muridnya yang kini menjadi sahabat karibku, yaitu Miyoshi Gemba dan kakaknya, Kahei. Gemba setahun lebih tua dariku. Sedangkan, Kahei berumur dua puluh tahun, dan terlalu tua untuk belajar dari Ichiro, jadi dia hanya membantu Ichiro mengajarkan seni bertarung pada anak yang lebih muda. Kini aku bergabung dengan pemuda klan Otori lain untuk berlatih tongkat dan seni bela diri lainnya di aula yang sangat luas di seberang kastil. Di selatan kastil terbentang lapangan luas untuk berkuda dan memanah. Kemampuan memanahku tak juga membaik, namun aku cukup mahir dalam menggunakan tongkat dan pedang. Setiap pagi, setelah dua jam dilatih menulis oleh Ichiro, aku dan beberapa murid lainnya akan menunggang kuda melewati jalan kota yang berliku. Di sore harinya, aku dan beberapa murid lainnya kembali ke Ichiro sambil kami berjuang menahan rasa kantuk saat dia mengajari prinsip dasar Kung Tzu dan sejarah Delapan Pulau. Titik balik sinar matahari di musim semi telah berlalu, sedangkan Festival of the Weaver Star mulai berlangsung, seiring udara yang kian panas. Musim hujan telah berakhir, namun masih menyisakan kelembaban, dan badai pun mulai mengancam. Para petani cemas. Mereka memperkirakan akan terjadi angin topan yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Aku masih tetap belajar dari Kenji, hanya saja latihan dilakukan pada malam hari. Dia akan menjauh dari aula klan Otori, dan terus mengingatkanku agar tak menampakkan keahlian yang kumiliki dari Tribe. "Kaum ksatria masih menganggap kemampuanmu itu sebagai sihir," katanya. "Nanti kau akan dianggap rendah." Hampir setiap malam aku dan Kenji pergi keluar, dan aku berlatih cara bergerak tanpa terlihat di kota yang tengah tertidur pulas. Kami memiliki ikatan yang ganjil. Aku tak mempercayainya di siang hari. Aku telah diangkat oleh klan Otori, dan kuberikan hatiku pada mereka. Aku tak ingin diingatkan bila aku adalah orang luar atau orang aneh. Namun, keadaan berbeda saat hari berganti malam. Kemampuan Kenji tidak ada habis-habisnya. Dia seperti membagi seluruh kemampuannya, dan aku seperti orang rakus yang ingin mempelajari semuanya-sebagian karena dapat memenuhi sisi gelap diriku, dan sebagian lagi karena aku harus terus berlatih untuk mewujudkan harapan Lord Shigeru. Meskipun dia tidak pernah mengatakannya, kurasa tak ada alasan lain yang bisa menjelaskan mengapa dia menyelamatkan aku di Mino. Aku anak seorang pembunuh dari kalangan Tribe, dan kini aku resmi menjadi anak angkatnya. Aku yang akan menemaninya ke Inuyama. Adakah tujuan lain untuk pergi ke sana selain untuk membunuh Iida? Sebagian besar orang yang berlatih bersamaku menerima kehadiranku karena Lord Shigeru, dan aku tahu kalau mereka sangat menghormati Lord Shigeru. Hanya anak-anak Shoichi dan Masahiro yang menyulitkanku, terutama anak yang tertua, Yoshitomi. Rasa benciku pada mereka sama seperti benciku pada ayah mereka. Mereka sombong dan bodoh. Kami sering bertarung menggunakan tongkat. Aku tahu mereka ingin membunuhku. Suatu ketika, Yoshitomi hampir saja berhasil membunuhku bila aku tidak segera mengeluarkan kemampuanku menjadi dua sosok di waktu yang bersamaan sehingga membuat dia terkecoh. Yoshitomi tidak pernah memaafkan apa yang kulakukan, dia sering berbisik menghinaku: Penyihir. Penipu. Aku sebenarnya tak takut pada niatnya untuk membunuhku ketimbang rasa takutku kalau aku yang akan membunuhnya dengan alasan untuk membela diri. Peristiwa itu membuat kemampuan pedangku semakin baik, namun aku lega saat tiba waktunya kami harus berangkat ke Inuyama dan tak ada darah yang tertumpah. Sekarang ini bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan karena cuaca yang panas di musim semi ini, tetapi kami harus tiba di Inuyama sebelum Festival ofthe Dead. Kami tidak mengambil jalan langsung melalui Yamagata, tapi ke selatan, ke Tsuwano, yang kini menjadi batas wilayah Otori. Di kota ini, kami akan bertemu calon mempelai wanita dan di tempat itu pula pertunangan akan dilangsungkan. Dari sana kami akan ke Tohan melalui Yamagata. Perjalanan ke Tsuwano sangatlah menyenangkan, walaupun cuaca sangat panas. Aku tak perlu lagi belajar pada Ichiro, juga dari tekanan latihan. Apa yang kurasakan hampir seperti liburan, berkuda ditemani Lord Shigeru dan Kenji. Hujan telah reda, meskipun kilat menyambar semalaman sejak di sekitar daerah pegunungan. Kumpulan awan menjadi kelabu, dan daunihun musim semi berserakan di sekitar kami, ibarat lautan yang menghijau. Kami berkuda ke Tsuwano di siang hari, dengan mcmaksakan diri untuk terus berjalan di terik matahari karena tujuan tidak jauh lagi. Aku menyesal perjalanan ini akan segera berakhir, dan itu artinya akhir dari perjalanan yang menyenangkan. Aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi kelak. Sungai-sungai di Tsuwano mengalunkan nyanyian, sedangkan jalan jalan yang diapit kanal penuh sesak dengan ikan emas gemuk berwarna keemasan dan merah. Kami sudah didekat penginapan ketika sayup-sayup aku mendengar ada yang menyebut namaku. Suara itu berasal dari bangunan panjang yang berdinding putih dan jendela berkisi, sejenis aula untuk latihan bertarung. Aku tahu di dalam sana ada dua orang wanita, hanya saja aku tidak bisa melihat mereka, dan aku bertanya-tanya, kenapa mereka di sana, dan kenapa ada yang menyebut namaku. Ketika tiba di penginapan, aku mendengar suara yang sama di taman. Akhirnya aku tahu kalau dia itu pelayan Lady Shirakawa, dan aku tahu bila sang lady sedang kurang sehat. Kenji membesuknya dan kembali dengan membawa cerita tentang kecantikan sang Lady, Namun karena ada badai dan aku cemas kuda akan gelisah, maka aku segera ke istal tanpa mendengarkan ceritanya. Aku tidak berminat mendengar kecantikannya, Aku membencinya karena dia berperan dalam jebakan yang telah disiapkan untuk Lord Shigeru. Setelah beberapa saat, Kenji dan pelayan Lady itu menemuiku di istal. Dia tampak seperti gadis cantik, baik, dan berkepala kosong, bahkan sebelum dia menyeringai kepadaku dengan cara yang tidak sopan dan memanggilku "Sepupu!" Dapat kulihat kalau dia adalah anggota Tribe. Dia menggenggam tanganku. "Aku juga Kikuta, tapi aku berasal dari pihak ibu. Sedangkan Muto dari pihak ayahku. Kenji adalah pamanku." Jari tangannya panjang dan ada garis lurus yang melintang di telapak tangan, sama seperti jari dan telapak tanganku. "Hanya itu yang diwariskan kepadaku," ujarnya menyesali. "Selebihnya, aku murni Muto." Seperti Kenji, dia juga memiliki kekuatan untuk merubah sosoknya sehingga aku tidak yakin bisa mengenalinya lagi. Awalnya, aku mengira dia masih belia; ternyata umurnya sudah tiga puluh tahun dan memiliki seorang anak laki-laki. "Lady Kaede sudah membaik," dia memberitahukan Kenji. "Tehmu membuatnya tertidur, dan kini dia memaksa untuk bangun." "Kau melatihnya terlalu keras," kata Kenji menyerigai. "Tidak tahukah kau kalau cuaca sangat panas?" Kenji lalu menjelaskan kepadaku, "Shizuka mengajari Lady Shirakawa cara bertarung dengan pedang. Dia juga bisa mengajarimu. Selama hujan, kita akan tetap di sini." "Mungkin kau bisa mengajari Takeo agar menjadi kejam," kata Kenji pada Shizuka. "Itulah satu-satunya kelemahannya." "Sulit mengajari orang untuk menjadi kejam," balas Shizuka. "Shizuka memiliki sifat kejam," Kenji memberitahu. "Kau harus terus berada di sampingnya!" Aku tidak menjawab. Aku agak kesal karena Kenji mengatakan kelemahanku pada Shizuka, tak lama setelah kami bertemu. Kami di tempat yang teduh, letaknya di halaman istal. Hujan membasahi jalan berbatu di depan kami, dan di belakang terdengar beberapa kuda mengetuk-ngetukkan kaki. "Apakah Lady sering demam?" tanya Kenji. "Tidak juga. Baru sekarang dia demam seperti ini. Tapi dia memang tidak terlalu kuat. Dia jarang makan dan kurang tidur. Dia mencemaskan pernikahan dan keluarganya. Dia belum bertemu dengan ibunya sejak usia tujuh tahun, dan kini ibunya sedang sakit." "Kau jadi sayang padanya," kata Kenji sambil tersenyum. "Ya, walaupun pada awalnya aku datang karena disuruh Arai." "Belum pernah aku melihat gadis yang secantik itu." Kenji mengakui. "Paman! Kau jatuh cinta padanya!" "Aku sudah tua," kata Kenji. "Aku hanya kagum melihat kecantikannya. Tapi, bila semua berjalan lancar gadis itu akan menjadi pihak yang kalah." Geledek bergemuruh hebat. Kuda-kuda menjadi liar dan meronta di istal. Aku segera ke istal agar mereka tenang. Shizuka kembali ke penginapan dan Kenji pergi mencari kamar mandi. Aku tidak bertemu mereka lagi hingga malam. Setelah mandi dan memakai kimono resmi, aku menghadiri pertemuan pertama antara Lord Shigeru dan calon isterinya. Kami membawa beberapa hadiah yang aku ambil dari kotak besar. Menurutku, pertunangan harus menjadi peristiwa yang membahagiakan, meskipun aku belum pernah bertunangan. Bagi calon pengantin mungkin ini adalah saat yang menegangkan, namun pertunangan ini terasa begitu menakutkan dan penuh dengan pertanda buruk. Lady Maruyama menyambut kami dengan tatapan yang selalu tertuju pada Lord Shigeru. Dia nampak jauh lebih tua dibanding saat aku bertemu dengannya di Chigawa. Meskipun kecantikannya tidak berkurang, tapi kekecewaan telah membuat garis keriput di wajahnya terlihat jelas. Dia dan Lord Shigeru tampak sangat dingin pada semua orang, terutama pada Lady Shirakawa. Kecantikan gadis itu masih membuat kami terpukau, meskipun Kenji telah menunjukkan antusiasnya pada kecantikan gadis itu. Kini aku tahu mengapa Lady Ma-ruyama menderita: itu pasti karena cemburu. Bagaimana mungkin laki-laki menolak gadis yang begitu cantik? Tak ada yang akan menyalahkan Shigeru bila menerima Kaede, selain untuk memenuhi janji pada pamannya. Namun pernikahan ini akan membuat Lady Maruyama kehilangan, bukan hanya orang yang dia cintai selama bertahun-tahun, tetapi juga sekutunya yang terkuat. Suasana di ruangan ini membuatku tidak nyaman dan canggung. Aku melihat derita dalam sikap dingin Lady Maruyama yang disebabkan oleh Kaede. Kulihat pipi Kaede merona sehingga kulitnya semakin indah. Aku mendengar debaran jantung dan desahan napasnya yang cepat. Dia tidak menatap kami, dia hanya menatap lantai. Aku berpikir, Dia masih belia, dan ketakutan. Lalu dia mengangkat muka dan melihat padaku beberapa saat. Aku merasa dia seperti terseret arus sungai, dan jika aku mengulurkan tangan, aku bisa selamatkan dia. "Jadi, Shigeru, kau harus memilih antara wanita yang paling kuat di Tiga Wilayah atau gadis yang paling camtik," kata Kenji kemudian, saat kami sedang duduk menghabiskan begitu banyak sake. Hujan seperti ingin menahan kami selama beberapa hari di Tsuwano, rasanya kami tak perlu tidur lebih awal. "Seharusnya aku lahir sebagai bangsawan." "Kau kan sudah beristeri," balas Shigeru. "Isteriku ahli memasak, tapi lidahnya seperti nenenk sihir, dia gendut, dan tidak suka bepergian," gerutu Kenji. Aku diam, merasa lucu karena aku tahu cara Kenji memanfaatkan ketidakhadiran isterinya: pergi ke tempat yang menawarkan kenikmatan. Kenji melanjutkan dengan lelucon, menurutku dia berusaha agar Shigeru mau mengungkapkan isi hati, tapi Lord Shigeru hanya membalas dengan nada yang biasa. Aku ingin segera tidur karena pusing akibat terlalu banyak minum sake, ditambah lagi dengan bisingnya bunyi air hujan menetes di atap, mengaliri parit dan jalan bebatuan. Air kanal meluap hingga ke tepian; di kejauhan aku mendengar riak air sungai yang semakin kuat, seakan ingin merobohkan gunung. Ketika terbangun di tengah malam, aku sadar kalau Shigeru tidak ada di kamar. Aku mendengar dia sedang berbicara dengan Lady Maruyama, pembicaraan yang begitu pelan sehingga hanya aku yang dapat mendengarnya. Mereka berbicara hampir sama seperti pembicaraan setahun lalu. Aku mencemaskan resiko yang mereka ambil, tapi juga kagum akan kekuatan cinta mereka yang tetap terpelihara walaupun mereka jarang bertemu. Dia tidak akan menikahi Shirakawa Kaede, pikirku. Aku tidak tahu apakah ini membuat aku senang atau cemas. Aku begitu gelisah memikirkan mereka sehingga tidak bisa tidur sampai pagi. Suasana pagi nampak kelabu dan mendung, tidak ada tanda-tanda cuaca akan berubah. Angin topan yang datang lebih awal telah menyapu Wilayah Barat dan hujan turun begitu deras sehingga terjadi banjir, jembatan rusak, dan jalan tidak dapat dilalui. Semuanya serba berlumpur dan tercium bau busuk. Tungkai kaki dua ekor kuda bengkak, dan seorang penjaga kuda tertendang di dadanya. Segera saja aku memesan tapal kuda yang baru dan memanggil tabib untuk memeriksanya. Saat sedang menyantap sarapan yang terlambat kumakan, Kenji mengingatkanku mituk berlatih pedang, kegiatan yang paling kusukai. "Apa rencanamu?" tanya Kenji, "Duduk-duduk sambil minum teh? Shizuka bisa mengajarimu banyak hal. Kurasa hanya itu yang dapat kita lakukan selama di sini." Setelah makan, aku mengikuti Kenji berlari melintasi hujan ke tempat berlatih. Dari luar bangunan aku mendengar desiran dan ketukan tongkat yang beradu. Ada dua orang laki-laki yang sedang bertarung. Setelah beberapa saat baru aku sadar bahwa salah seorang dari mereka bukan laki-laki, tapi Shizuka. Dia lebih mahir dari lawannya, tapi lawannya lebih tinggi dan lebih bersemangat sehingga pertarungan ini cukup berimbang. Nampaknya Shizuka dapat saja mengalahkan lawannya, tapi hal itu tidak terjadi sampai keduanya melepaskan penutup muka. Dan pada saat itulah aku sadar kalau orang yang lebih tinggi itu adalah Kaede. "Oh," kata Kaede dengan marah sambil menyeka wajah dengan lengan baju, "Mereka menggangguku." "Tidak ada yang boleh mengganggumu, Lady," kata Shizuka. "Itu kelemahanmu. Kau kurang konsentrasi. Seharusnya kau tidak memikirkan yang lain, selain dirimu, musuhmu, dan pedang." Shizuka membalikkan badan, kemudian menyapa kami, "Selamat pagi, paman! Selamat pagi, sepupu!" Kami membalas sapaan Shizuka dan membungkuk hormat pada Kaede. Suasana menjadi hening. Aku merasa rikuh. Belum pernah aku melihat perempuan di ruang latihan, apalagi memakai pakaian latihan. Kehadiran mereka membuatku gugup. Seperti ada sesuatu yang tak pantas. Aku tidak seharusnya berada seruangan dengan calon isteri Shigeru. "Kami akan kemari lagi di lain waktu," ujarku, "Kapan kalian selesai?" "Jangan pergi, aku ingin melihatmu bertarung melawan Shizuka," kata Kenji. "Lady Shirakawa juga tidak perlu pergi. Akan sangat bagus bila Lady ikut menyaksikan kalian bertarung." "Akan sangat bagus bila Lady Shirakawa berlatih melawan laki-laki," ujar Shizuka, "Karena, jika pertarungan terjadi, dia tak bisa memilih lawannya." Aku menatap Kaede sekilas dan melihat matanya agak melebar, tapi dia hanya diam. "Baiklah, Shizuka harus bisa mengalahkan Takeo," kata Kenji masam. Kurasa Kenji pasti sakit kepala akibat sake yang dia minum semalam, sama sepertiku. Kaede lalu bersila di lantai seperti laki-laki. Dia melepas tali pengikat rambutnya sehingga rambutnya terurai menyentuh tanah. Aku berusaha untuk tidak memandangnya. Aku menangkap tongkat yang Shizuka lempar kepadaku, lalu aku mengambil posisi kuda-kuda. Kami berdua saling bertahan dan menyerang, tak ada yang mengalah. Aku belum pernah bertarung melawan perempuan sehingga aku enggan mengeluarkan seluruh kemampuanku, takut akan melukainya. Namun secara mengejutkan, saat aku sedang menyusun strategi, tiba-tiba saja dia sudah di depanku dengan pukulan yang cepat dan meliuk-liuk sehingga tongkatku terlepas. Andai saja ini terjadi saat aku bertarung melawan anak Masahiro, aku pasti sudah mati. "Sepupu," dia berkata dengan marah. "Jangan menghinaku. Ayolah, jangan sungkan." Aku berusaha lebih keras, namun Shizuka jauh lebih mahir dan kekuatannya sungguh mengagumkan. Setelah dua kali bertanding dan setelah dia memberi beberapa petunjuk, aku mulai menguasai jalannya pertarungan. Dia menyerah kalah dengan berkata, "Aku telah beriarung melawan Lady Kaede dari pagi, sedangkan kau masih segar dan lebih muda." "Kurasa usiamu lebih dari separuh usia Takeo!" kata Kenji. Aku tersengal-sengal. Keringat membanjiri tubuhku. Kuambil handuk dari Kenji dan mengelap keringatku. Kaede bertanya, "Mengapa kau panggil Lord Takeo 'sepupu'?" "Percaya atau tidak, kami ada hubungan keluarga dari pihak ibuku," ujar Shizuka. "Lord Takeo tidak lahir sebagai bangsawan Otori, tapi diangkat." Kaede menatap kami bertiga dengan wajah yang serius. "Kalian memang mirip. Sulit untuk menunjukkannya secara tepat, tapi ada sesuatu yang misterius, rasa-rasanya tak seorang pun dari kalian yang terlihat seperti apa adanya." "Dunia ini nampak seperti apa adanya, itulah yang disebut kearifan, Lady," kata Kenji, agak bijak kurasa, Aku mengerti dia tak ingin Kaede mengetahui asal-usul kami: bahwa kami berasal dari Tribe. Aku pun tidak ingin Kaede tahu. Aku lebih senang bila dia menganggapku sebagai bagian dari klan Otori. Shizuka memungut tali dan mengikat rambut Kaede ke belakang. "Sekarang kau lawan Takeo." "Tidak," jawabku segera. 'Aku harus pergi. Aku harus melihat kuda. Aku harus melihat apakah Lord Otori membutuhkanku." Kaede berdiri. Aku mencium wangi tubuhnya, percampuran antara wangi bunga dan keringatnya. "Hanya satu pertandingan saja," kata Kenji. "Tak ada bahayanya." Shizuka hendak memasangkan penutup muka di wajah Kaede, tapi dia menolak dengan cara mengibaskan tangannya. "Jika bertarung melawan laki-laki, aku harus bertarung tanpa penutup muka," ucapnya. Aku mengambil tongkat dengan rasa enggan. Hujan turun semakin deras. Ruangan kini menjadi remang-remang, cahayanya berwarna kehijau-hijauan. Kami seperti berada di dunia dalam dunia, terkurung dari dunia nyat, sungguh mempesona. Awalnya pertarungan kami nampak seperti latihan biasa, kami berusaha saling mengecoh, walaupun aku takut menyerang wajahnya, sedangkan matanya tidak pernah lepas menatap mataku. Kemudian aku sadar kalau pertarungan ini telah berubah menjadi seperti latihan. Melangkah, menyerang, menangkis, dan melangkah lagi. Deru napas Kaede makin kencang, diikuti dengan deru napasku, lalu kami menghela napas secara bersamaan. Matanya semakin cemerlang dan wajahnya telah bersinar, setiap pukulannya semakin kuat, dan irama langkah kami semakin cepat. Selama beberapa saat, aku mendominasi, kemudian Kaede, tapi tidak ada yang bisa menguasai pertarungan-apakah ini berarti kami tidak ingin saling menguasai? Akhirnya, mungkin karena dia membuat kesalahan, aku berhasil menembus pertahanannya, dan untuk menghindari agar tongkatku tidak terkena di wajahnya, aku membiarkan tongkatku jatuh. Kaede menurunkan tongkatnya dan berkata, "Aku menyerah." "Kau telah bertarung dengan baik," kata Shizuka, "Tapi, Taeko seharusnya agak lebih keras." Aku berdiri dan menatap Kaede dengan mulut terbuka seperti orang idiot. Aku berpikir, jika aku tidak memeluknya saat ini, aku akan mati. Kenji memberikan handuk kepadaku sambil mendorongku dengan keras. "Takeo.... " "'Apa?" kataku dengan bodohnya. "Jangan mempersulit keadaan!" Shizuka berkata tajam pada Kaede, seakan memperingatkan adanya bahaya, "Lady Kaede!" "Apa?" kata Kaede, matanya masih terpaku menatapku. "Kurasa latihan kita hari ini sudah cukup," kata Shizuka. "Ayo kita ke kamarmu." Di luar dugaan, Kaede tersenyum padaku. "Lord Takeo," ucapnya. "Lady Shirakawa." Aku mengangguk ke arahnya, berusaha bersikap resmi, tapi aku tak sanggup menahan diri untuk tidak membalas senyumnya. "Ini bisa . mengacaukan segalanya," sungut Kenji. "Sudahlah, itu wajar saja terjadi di usia mereka!" balas Shizuka. "Mereka akan bisa mengatasinya." Shizuka menuntun Kaede keluar, lalu meminta pelayan yang menunggu di luar aula untuk membawakan payung. Aku bisa menduga apa yang Kenji dan Shizuka bicarakan. Mereka benar tentang satu hal, tapi salah dalam hal lainnya. Kaede dan aku saling tertarik, lebih dari tertarik, cinta tepatnya, dan kami tidak mampu mengatasinya. Hujan deras selama seminggu membuat kami terkurung di kota pegunungan ini. Kaede dan aku tidak lagi dilatih bersama. Kuharap kami tak pernah mengulangi kejadian yang lalu: sungguh saat yang penuh kegilaan, aku tidak ingin itu terjadi, dan kini aku tersiksa karena kejadian itu. Seharian aku selalu memasang telinga hanya untuk mendengarkan suaranya, langkahnya, dan-pada malam hari ketika hanya dipisahkan oleh dinding tipis-aku mendengar napasnya. Aku mampu menceritakan bagaimana dia tidur dengan gelisah dan terbangun beberapa kali. Kami menghabiskan waktu bersama-ini karena penginapan sangat kecil, karena berada di rombongan perjalanan yang sama, karena terus berada di sisi Lord Shigeru dan Lady Maruyama- tapi kami tidak sempat berbincang. Kurasa, kami berdua takut untuk memperlihatkan perasaan. Kami hampir tak berani menatap, meskipun kadang-kadang tatapan mata kami saling bertemu, dan kembali menimbulkan bara di antar kami. Siksaan ini membuatku kurus dan mataku cekung karena cinta, dan bertambah buruk dengan kebiasaan lamaku yaitu keluar malam hingga dini hari. Shigeru tak tahu. Aku pergi saat dia sedang bersama Lady Maruyama, dan Kenji tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu. Aku merasa seperti tak kasat mata, seperti hantu. Di siang hari, aku belajar dan melukis, sedangkan di malam hari aku pergi melihat kehidupan penduduk, bergerak melintasi kota layaknya hantu. Kadang aku merasa tidak akan pernah memiliki kehidupan sendiri, karena aku akan selalu menjadi bagian Otori atau Tribe. Aku melihat para pedagang menghitung kerugian mereka akibat banjir. Aku menyaksikan orang kota yang mabuk-mabukan dan berjudi sambil dirayu oleh para pelacur. Aku melihat para orangtua tertidur dengan anak-anak di antara mereka. Aku memanjat dinding dan pipa saluran, berjalan di atas atap dan di pagar. Sekali-sekali aku berenang di parit yang mengelilingi kastil, memanjat dinding dan gerbang kastil, menyaksikan para penjaga dari dekat sehingga aku dapat mencium keringat mereka yang bau. Bagiku, semua itu terasa sangat menakjubkan karena mereka tak menyadari kehadiranku. Aku mendengar orang-orang berbincang, terbangun, dan tertidur, aku mendengar keluhan, sumpah serapah, dan juga doa-doa mereka. Sebelum fajar, aku sudah sampai di penginapan dalam keadaan basah kuyup. Kulepaskan pakaian, kemudian aku menyelinap di balik selimut dalam keadaan menggigil kedinginan. Aku berbaring sambil mendengarkan apa saja yang bisa kudengar. Diawali dengan ayam jantan yang berkokok, lalu teriakan burung gagak; pelayan yang terbangun dan langsung pergi mengambil air; langkah kaki orang yang memakai bakiak di atas jembatan kayu; ringkikan Raku dan kuda lainnya. Aku menantikan saat-saat aku akan mendengar suara Kaede. Setelah tiga hari berturut-turut hujan selalu turun, kini hujan mulai jarang. Banyak orang yang datang ke penginapan untuk menemui Shigeru. Aku mendengarkan percakapan mereka dengan hati-hati dan mencoba mencatat siapa yang benar-benar setia dan siapa yang hendak berkhianat. Kami mengunjungi kastil untuk mempersembahkan hadiah bagi Lord Kitano. Di tempat itu, di bawah sinar matahari, aku bisa melihat dinding dan gerbang yang pernah kupanjat di malam hari. Lord Kitano menyambut kami dengan sopan dan menyampaikan dukacitanya atas kematian Takeshi. Tampaknya hal itu menjadi perhatiannya karena dia mengatakan itu lebih dari sekali. Dia seumur dengan kedua pengawal Shigeru, dan dia mempunyai dua anak laki-laki yang seumur dengan Shigeru. Tapi mereka tidak hadir dalam pertemuan itu. Menurut Lord Kitano, anaknya yang sulung sedang bepergian, sedangkan anaknya yang kerdua sedang kurang sehat. Tapi aku tahu semua itu hanya bohong belaka. "Mereka tinggal di Hagi saat masih anak-anak," Shigeru memberitahuku. "Kami berlatih dan belajar bersama. Mereka sering datang ke rumah orangtuaku dan akrab dengan Takeshi dan aku." Dia terdiam sejenak, kemudian melanjutkan, "Itu sudah bertahun-tahun lalu. Waktu telah berubah dan kita pun harus mengikuti perubahan itu." Aku tidak bisa setenang dia. Aku merasa pedih karena kami semakin dekat di wilayah Tohan, dan Shigeru pun semakin terasing. Hari beranjak malam, kami pun telah selesai mandi dan sedang menunggu waktu makan malam. Kenji ke tempat permandian umum, dan dia mengatakan telah bertemu gadis yang menarik hatinya. Ruangan kami menghadap ke arah taman kecil. Hujan deras berganti hujan gerimis dan semua pintu dibuka lebar. Tercium bau tanah dan daun yang basah. "Besok cuaca akan cerah," ujar Shigeru. "Kita bisa melanjutkan perjalanan. Tapi, kita tidak akan sampai di Inuyama sebelum Festival of the Dead. Mungkin kita terpaksa menginap di Yamagata." Dia tersenyum gundah, "Ingin sekali aku ziarah ke makam adikku. Tapi aku tidak ingin orang-orang mengetahui perasaanku. Aku harus pura-pura mengenyampingkan semua pikiran tentang balas dendam." "Mengapa harus ke Tohan?" tanyaku. "Belum terlambat bagi kita untuk balik. Bila pengangkatanku yang membuatmu terikat dengan pernikahan, aku bisa pergi jauh dengan Kenji. Itu yang dia mau." "Tentu saja tidak!" balasnya. "Aku telah berjanji untuk menjalankan semua rencana ini dan membuat persetujuan dengan mereka. Kini aku telah tercebur ke sungai, dan harus mengikuti ke mana arus akan membawaku. Lebih baik mati dibunuh Iida daripada orang memandang rendah diriku." Dia memandang ke seluruh ruangan sambil mendengarkan. "Apakah kita benar-benar sendiri? Ada orang lain?" Aku hanya mendengar suara malam yang biasa aku dengar di penginapan ini: langkah kaki perlahan seorang pelayan karena membawa makanan atau air; dari dapur ada bunyi pisau tukang masak yang sedang mencincang; air mendidih; percakapan pelan antar penjaga di koridor dan taman. Aku tak mendengar suara lain selain desah napas kami. "Tidak ada siapa-siapa." "Mendekatlah. Saat sudah tiba di Tohan, kita tak akan sempat bicara. Ada yang ingin kukatakan.... " Dia tersenyum, "...sebelum sesuatu terjadi di Inuyama!" "Aku mempertimbangkan untuk mengirimmu jauh. Menurut Kenji, ini semua demi keselamatanmu, tentu saja kecemasannya bisa dimengerti. Aku harus ke Inuyama, apa pun yang terjadi. Namun aku meminta sesuatu yang hampir mustahil dapat kau lakukan. Permintaanku terpisah dari tugas apa pun yang harus kau lakukan padaku, dan karenanya aku akan memberimu pilihan. Sebelum masuk ke wilayah Tohan dan setelah mendengar apa yang akan kukatakan, dan kau memutuskan untuk pergi dengan Kenji dan bergabung dengan Tribe, aku tidak akan melarangnya." Aku tertolong untuk tidak menjawab karena ada suara perlahan dari arah koridor. "Ada yang datang." Kami berdua terdiam. Tak lama kemudian pelayan datang membawa makanan. Setelah mereka pergi, kami mulai menyantap makanan. Hidangan yang disediakan tidaklah banyak-nasi, acar mentimun, dan ikan yang dilumuri saus-dan kurasa kami berdua tidak menikmatinya. "Kau tentu ingin tahu mengapa aku begitu membenci Iida," kata Shigeru. "Aku membenci pribadinya, kekejaman dan ketidakjujurannya. Setelah perang Yaegahara dan kematian ayahku, dan juga saat kedua pamanku mengambil alih kekuasaan klan, banyak orang yang mengira aku akan bunuh diri. Itu adalah tindakan terhormat yang dapat kulakukan-dan bagi pamanku, bunuh diri adalah solusi yang menguntungkan karena mereka merasa terganggu oleh kehadiranku. Tapi, di saat Tohan menguasai wilayah yang menjadi milik Otori dan memaksakan aturan yang merugikan rakyat jelata, aku memilih jalan yang lebih penting, yaitu tetap hidup dan menuntut balas. Aku percaya bahwa ujian bagi penguasa adalah kebahagiaan rakyatnya. Jika penguasa bersikap adil, maka wilayahnya akan mendapat berkah dari Surga. Di wilayah Tohan, rakyat menderita kelaparan, terlilit hutang, tersiksa karena perbuatan anak buah Iida. Kaum Hidden dibantai dan dibunuh-dianiaya, digantung dalam posisi terbalik di tempat penimbunan sampah sambil menunggu burung gagak menyantap tubuh mereka. Petani harus mempertaruhkan anak-anak mereka yang baru lahir dan menjual anak gadisnya karena tak memiliki apa-apa untuk membeli makanan." Shigeru mengambil sepotong ikan dan memakannya dengan perlahan, wajahnya tidak menunjukkan perasaan apa pun. "Iida kini menjadi penguasa yang paling kuat di Tiga Wilayah. Kekejaman adalah legitimasinya. Sebagian besar orang yakin bahwa pemimpin berhak melakukan apa pun yang dia suka pada klan dan wilayahnya. Aku juga dibesarkan untuk meyakini hal yang sama. Tapi, Iida mengancam wilayahku, wilayah ayahku, dan aku tak akan menyerahkannya tanpa berjuang. "Selama bertahun-tahun aku memikirkan ini. Aku memerankan sisi pribadiku yang lain. Mereka memanggilku Shigeru sang petani. Aku mengabdikan diri untuk memperbaiki wilayahku dan hanya berbicara tentang cuaca, pertanian, dan irigasi. Memang semua ini menarik bagiku, dan itulah alasannya aku pergi mengembara, yaitu untuk mempelajari banyak hal yang belum aku ketahui. "Aku menghindari wilayah Tohan, kecuali saat aku berziarah ke makam ayah dan leluhurku di Terayama. Terayama dan Yamagata diserahkan pada Tohan, setelah perang Yaegahara berakhir. Namun akhir-akhir ini kekejaman Tohan telah menyinggungku secara pribadi, dan kesabaranku pun mulai menipis. "Tahun lalu, tidak lama setelah Star Festival*, ibuku sakit demam yang sangat mematikan. Ternyata ibuku diracun, dan seminggu kemudian ibuku meninggal; tiga orang yang tinggal di rumahku juga meninggal, termasuk pelayan ibuku. Kemudian aku juga sakit. Selama empat minggu aku terombang-ambing antara hidup dan mati, mengigau, tidak sadarkan diri. Tidak ada yang menduga aku akan sembuh, dan ketika sembuh, aku ingin mati begitu tahu adikku dibunuh. "Itu terjadi di musim semi yang panas. Mayat Takeshi telah dikubur. Tak seorang pun tahu kejadian yang sebenarnya. Tidak ada saksi. Kekasih Takeshi juga menghilang. Aku hanya mendengar kabar bahwa ada seorang pedagang dari Tsuwano yang menemukan mayatnya di jalan, di Yamagata, lalu dia di kubur di Terayama, Dalam keadaan putus asa, aku menulis surat kepada Muto Kenji, yang aku kenal waktu perang Yaegahara. Aku menduga Tribe dapat memberi beberapa Informasi. Dua minggu kemudian, ada yang datang ke rumahku malam hari, menyampaikan surat yang dibubuhi cap oleh Kenji. Nama orang itu adalah Kuroda. "Kekasih Takeshi adalah seorang penyanyi, dan mereka pergi ke Tsuwano untuk hadir dalam Star Festival. Hanya itu yang kutahu, karena begitu ibuku sakit, aku mengirim kabar kepada Takeshi agar jangan ke Hagi, Aku ingin dia tetap di Tsuwano, tapi rupanya gadis itu ingin melanjutkan perjalanan ke Yamagata, tempat kerabatnya tinggal, dan Takeshi turut menemaninya. Saat di penginapan, Kuroda mengatakan bahwa Takeshi mendengar komentar yang menghina Otori dan diriku. Perkelahian pun terjadi. Takeshi jago pedang. Dia membunuh dua orang dan melukai beberapa orang lainnya. Takeshi balik ke rumah kerabat gadis itu. Namun di tengah malam, orang-orang Tohan itu membakar rumah itu. Semua orang yang di dalam rumah terbakar hidup-hidup atau tertikam saat keluar dari kobaran api." Kututup mataku, aku seperti bisa mendengar jeritan mereka. "Ya, seperti yang terjadi di Mino," ucap Shigeru. "Orang Tohan menuduh adikku dan kekasihnya orang Hidden, walaupun mereka tahu itu tidak benar. Adikku memakai pakaian perjalanan. Tidak ada yang tahu identitasnya. Mayatnya terbaring di jalan selama dua hari." Shigeru menghela napas panjang. "Sudah pasti ada kejahatan di sana. Klan tidak dalam keadaan perang. Seharusnya Iida meminta maaf dan menghukum anak buahnya serta memberi ganti rugi. Namun, Kuroda mengatakan bahwa ketika Iida mendengar kabar itu, dia mengatakan, "Tinggal satu lagi musuh dari klan Otori yang perlu dikhawatirkan. Sayang sekali bukan kakaknya yang mati. Bahkan, orang yang membunuh Takeshi pun terkesima mendengarnya, kata Kuroda. Sebelumnya mereka tidak tahu siapa Takeshi. Saat mereka tahu, mereka berharap agar dihukum." "Tapi, Iida tidak melakukan apa pun, begitu juga kedua pamanku. Ketika aku memberitahukan kabar dari Kuroda, mereka memilih untuk tidak mempercayaiku. Mereka mengingatkan tentang kecerobohan Takeshi di masa lalu, perkelahian, dan resiko yang dia ambil. Mereka melarangku mengatakan kejadian itu pada orang lain. Mereka mengatakan bahwa perang belum usai dan menyarankan aku bepergian untuk sementara waktu, mengembara ke timur, mencoba kehangatan sumber air panas, dan berdoa di kuil. "Aku memang memutuskan untuk mengembara, tapi bukan karena alasan yang mereka ajukan." "Kau bertemu denganku di Mino," bisikku. Dia tidak menanggapi. Saat ini keadaan di luar gelap, hanya ada satu bintang yang bersinar. Bulan muncul di sela-sela awan yang berserak, tapi kemudian menghilang lagi. Untuk pertama kalinya aku memperhatikan siluet pegunungan dan pohon pinus, kegelapan di langit malam. "Minta pelayan untuk menyalakan lampu," kata Shigeru, dan aku ke pintu untuk memanggil pelayan. Mereka datang dan memindahkan nampan, membawa teh dan menyalakan lampu di tiang. Setelah mereka pergi kami minum teh dalam keheningan. Mangkuk tempat kami minum berwarna biru gelap. Shigeru membalikkan mangkuk itu lalu meletakkannya terbalik untuk membaca nama pembuatnya. "Mangkuk ini tidak sebagus mangkuk dari Hagi," ucapnya, "Tapi, mangkok ini juga cukup indah." "Boleh aku tanya sesuatu?" kataku, lalu terdiam lagi, tak yakin jika aku ingin tahu jawabannya. "Teruskan," desaknya. "Kau membuat orang percaya kalau kita bertemu secara kebetulan, tapi kurasa kau tahu di mana harus mencariku. Kau sedang mencariku saat itu." Dia mengangguk. "Benar, aku tahu siapa dirimu yang sebenarnya segera setelah melihatmu di jalan setapak itu. Aku ke Mino untuk mencarimu." "Karena ayahku adalah seorang pembunuh?" "Itu salah satu alasannya, tapi bukan hanya itu alasanku." Aku merasa seakan-akan udara di kamar ini tak cukup untuk bernapas. Aku tidak memikirkan alasan yang lain. Aku perlu berkonsentrasi pada alasan utama tadi. "Tapi, bagaimana kau bisa tahu, sedangkan aku sendiri tak tahu, begitu juga dengan Tribe?" Lord Shigeru berkata lebih pelan, "Sejak perang Yaegahara, aku belajar banyak hal. Aku masih muda saat itu, dan seperti seorang anak ksatria pada umumnya, aku hanya tahu pedang dan kehormatan keluarga. Aku bertemu dengan Muto Kenji di Yaegahara, dan beberapa bulan kemudian dia menyadarkan aku pada kekuatan yang tersembunyi di balik dominasi kaum ksatria. Aku menemukan sesuatu tentang jaringan Tribe, dam aku melihat cara mereka mengendalikan para bangsawan dan klan yang senang berperang. Kenji menjadi sahabatku, dan dari dialah aku mulai bertemu anggota Tribe yang lain. Mereka senang bersahabat denganku. Mungkin aku mengetahui lebih banyak tentang mereka dibandingkan orang lain yang ada di luar Tribe. Tapi aku merahasiakan semua itu, tidak pernah kukatakan pada orang lain. Ichiro tahu sedikit tentang itu, dan kini kau juga tahu." Aku mendengar paruh burung bangau masuk ke dalam air. "Kenji salah saat mengatakan di malam dia dating ke Hagi. Aku tahu benar siapa yang kubawa. Meskipun aku tidak menduga kalau kau memiliki kemampuanmu yang sangat luar biasa." Dia tersenyum, senyuman yang tulus. "Kemampuanmu adalah hadiah yang tidak terduga." Aku tak mampu bersuara. Aku ingin tahu alasan dia mencari dan menyelamatkanku, tapi lidahku kelu untuk menanyakan hal itu. Aku merasa sisi gelapku sebagai Tribe bergelora. Aku hanya diam dan menunggu. Shigeru berkata, "Aku tidak akan tenang selama pembunuh adikku masih hidup. Orang yang harus bertanggung jawab adalah pemimpin mereka. Lalu keadaan berubah. Perselisihan antara Arai dan Noguchi membuat klan Seishuu ingin bersekutu dengan Otori untuk melawan Iida. Semua kejadian itu seperti menuju ke satu titik: sudah tiba waktunya untuk membunuh Iida, orang yang paling bertanggung jawab atas kematian adikku." Begitu mendengar ucapannya, aku langsung bersemangat. Aku terkenang saat-saat aku masih di desa, saat aku memutuskan untuk tetap hidup agar dapat menuntut balas-malam itu, saat di Hagi, di bawah sinar bulan di musim dingin, aku sadar kalau aku mampu dan ingin membunuh Iida. Aku senang Lord Shigeru mencariku dengan tujuan yang sama. Semua peristiwa seakan membawaku untuk membunuh Iida. "Hidupku adalah milikmu," kataku. "Akan kulakukan semua perintahmu." "Aku memintamu untuk melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, sesuatu yang hampir mustahil dilakukan. Jika tidak mau, kau boleh pergi dengan Kenji besok. Semua hutang di antara kita akan aku batalkan. Tak akan ada yang menyalahkanmu." "Jangan memandang rendah diriku," kataku, dan dia tertawa. Aku mendengar ada langkah kaki di taman dan suara di beranda. "Kenji datang." Kenji masuk ke kamar, diikuti seorang gadis yang membawa teh segar. Dia menatap kami berdua saat gadis itu menuangi teh. Ketika gadis itu meninggalkan ruangan, dia berkata, "Kalian seperti sedang berkomplot. Apa yang kalian rencanakan?" "Kunjungan ke Inuyama," balas Shigeru. "Aku telah mengatakan pada Takeo, dan dia ikut atas keinginannya sendiri." Wajah Kenji berubah. "Menuju kematian," kata Kenji gusar. "Mungkin tidak," kataku ringan. "Aku tak bermaksud menyombongkan diri, tapi jika ada yang dapat mendekati Iida, maka akulah orangnya." "Kau masih anak-anak," dengus guruku. "Aku sudah bicarakan hal ini dengan Lord Shigeru. Dia tahu semua keberatanku soal rencana ceroboh ini. Kini, aku ingin tanya. Apa kau kira bisa membunuh Iida? Dia lebih banyak lolos dari percobaan pembunuhan dibandingkan jumlah gadis yang pernah aku punya. Kau belum pernah membunuh orang! Belum lagi, kemungkinan kau akan dikenali, tidak hanya di ibukota tapi juga selama di perjalanan. Aku yakin si pedagang keliling itu pasti sudah bercerita tentang dirimu. Bukan hanya kebetulan Ando ada di Hagi. Tujuan kedatangannya yaitu untuk memastikan kebenaran berita itu. Menurutku, Iida tahu siapa dan di mana kau berada. Kau akan segera ditahan begitu masuk ke wilayah Tohan." "Tidak, jika dia datang bersamaku, karena aku adalah bangsawan Otori yang datang untuk bersekutu," ujar Lord Shigeru, "Lagi pula, aku telah menawarkan pada Takeo untuk pergi bersamamu, tapi dia memilih untuk tetap pergi ke Inuyama bersamaku." Ada nada bangga dalam suara Lord Otori. Aku berkata kepada Kenji. "Aku akan pergi. Aku harus pergi ke Inuyama. Lagi pula, aku berhak menentukan nasibku sendiri." Kenji mendengus tajam. "Kalau begitu, aku ikut bersama kalian." "Cuaca sudah cerah. Besok kita berangkat," kata Shigeru. "Ada satu hal yang harus kusampaikan, Shigeru. Kau memang berhasil membuatku terkesima karena dapat menyimpan rahasia tentang hubunganmu dengan Lady Maruyama. Namun, saat di tempat permandian, ada lelucon yang membuat aku yakin kalau hubunganmu dengan Lady Maruyama bukan lagi rahasia." "Apa yang kau dengar?" "Seorang laki-laki yang sedang mandi berkata pada seorang gadis bahwa Lord Otori berada di kota ini dengan calon isterinya, dan gadis itu membalas, 'Juga bersama isterinya.' Banyak yang tertawa seakan tahu maksud kalimat itu, lalu mereka meneruskan pembicaraan tentang Lady Maruyama dan hasrat Iida pada nya. Tentu saja, karena kita masih di wilayah Otori, mereka tidak bermaksud apa-apa kecuali rasa kagum padamu. Reputasi Otori bisa terangkat, tapi rumor ini bak belati yang menyayat iga bagi Tohan. Pembicaraan ini akan terus berulang hingga sampai ke telinga Iida." Bisa kulihat wajah Lord Shigeru di bawah sinar lampu. Raut wajahnya menunjukkan rasa ingin tahu. Ada rasa bangga sekaligus penyesalan di wajahnya. "Iida bisa saja membunuhku," ucapnya, "tapi itu tidak mengubah kenyataan kalau Lady Maruyama lebih memilihku ketimbang dia." "Kau jatuh cinta pada kematian, seperti semua orang dari kalanganmu," kata Kenji. Belum pernah aku dengar nada suara Kenji begitu marah. "Aku tidak takut mati," balas Shigeru. "Tapi, kau salah bila mengatakan kalau aku cinta pada kematian. Justru sebaliknya, aku telah membuktikan betapa besar aku mencintai hidup. Namun aku lebih baik mati daripada hidup menanggung malu, dan itulah tujuanku satu-satunya." Mendengar ada langkah kaki yang mendekat, aku menggerakkan kepala seperti anjing, ini membuat Shigeru dan Kenji terdiam. Terdengar ketukan dan pintunya tergeser membuka. Sachie duduk berlutut di pintu. Shigeru menghampiri. Sachie berbisik lalu pergi. Shigeru berbalik ke arah kami, dan berkata, "Lady Maruyama ingin membahas rencana perjalanan besok. Aku akan menemuinya sebentar." Kenji diam membisu, dia hanya mengangguk sesaat. "Mungkin ini terakhir kali kami bisa bersama," ujar Shigeru lembut, dan melangkah ke koridor, dan menutup pintu. "Seharusnya aku yang lebih dulu menemukanmu, Takeo," gerutu Kenji. "Kau tak akan menjadi bangsawan, tidak terikat sumpah setia pada Shigeru. Kau akan selamanya menjadi anggota Tribe. Kau tidak akan berpikir dua kali untuk pergi dari sini bersamaku sekarang, malam ini." "Jika tidak diselamatkan oleh Lord Otori, aku pasti sudah mati!" kataku tajam. "Ke mana Tribe saat Tohan membunuh penduduk desaku dan membakar rumahku? Dia selamatkan aku. Itu alasannya mengapa aku tak bisa meninggalkannya. Tak akan pernah. Jangan paksa aku lagi!" Mata Kenji menatap nanar, "Lord Takeo," ujarnya dengan sinis. Para pelayan datang membentangkan kasur, dan kami pun tak berkata apa-apa Keesokan harinya jalan jalan di Tsuwano penuh sesak. Banyak pejalan kaki yang memanfaatkan cuaca yang cerah untuk melanjutkan perjalanan. Langit tampak biru jernih dan mataliari menghisap kelembaban dari permukaan bumi hingga kering. Walaupun jembatan batu yang melintasi sungai tidak rusak, tapi arus sungai bergerak liar, melempar ranting, papan, dan bangkai hewan yang mungkin mati karena terbentur dermaga. Aku langsung teringat ketika pertama kali melintasi jembatan di Hagi, aku melihat bangkai burung bangau mengapung di air, bulunya yang putih dan abu-abu basah kuyup, semua keanggunan bangau itu lenyap dan rusak. Pemandangan itu membuatku merinding. Kurasa itu pertanda buruk. Kuda yang telah lama beristirahat nampak sudah tidak sabar ingin segera melakukan perjalanan. Shigeru nampak tidak cemas, atau berkeinginan untuk mengatakan kecemasannya padaku. Dia tenang, dan matanya berbinar-binar. Wajahnya memancarkan semangat hidup. Namun hatiku sedih melihatnya-aku merasa bahwa hidup dan masa depannya ada di tanganku, tangan seorang pembunuh. Aku pandangi kedua tanganku yang sedang memegang leher Raku. Aku berpikir, apakah tangan ini akan membuatku kecewa. Aku hanya sempat sekilas melihat Kaede, yaitu saat dia melangkah naik ke tandu. Dia tak melihatku. Lady Maruyama menyambut kehadiran kami dengan anggukkan singkat, tanpa berkata sepatah kata pun. Wajahnya pucat dengan lingkaran hitam di sekitar matanya, tapi dia terlihat tegar dan tenang. Perjalanan kami terasa lambat dan sulit. Tsuwano terlindung dari badai karena kota ini berada di balik gunung, namun ketika kami menuruni lembah, kerusakan akibat badai terlihat jelas. Rumah dan jembatan tersapu bersih, pohon tercabut dari akarnya, ladang digenangi air. Penduduk desa melihat kami dengan tatapan marah karena kami berkuda di tengah-tengah penderitaan mereka, apalagi sewaktu kami mengambil jerami untuk makanan kuda, dan memakai perahu mereka untuk menyeberangi sungai yang ganas. Perlu tiga hari untuk sampai di perbatasan, dua kali lebih lama dari perkiraan. Sekelompok pengawal telah dikirim untuk menemui kami di sini, yang dipimpin pengawal utama Iida, Abe, dan anak buahnya yang berjumlah tiga puluh orang, lebih besar dari rombongan Lord Otori yang jumlahnya hanya dua puluh orang. Sedangkan Sugita dan para pengawal Lady Maruyama langsung pulang setelah rombongan kami tiba di Tsuwano. Sudah seminggu lamanya Abe dan anak buahnya menunggu kami, dan mereka terlihat tidak sabar, dan juga kesal. Mereka tak ingin membuang-buang waktu untuk menunggu Festival of the Dead yang akan dirayakan di Yamagata. Sedikit cinta yang ada di antara kedua Man kini telah sirna; yang tersisa hanyalah suasana tegang. Pengawal Tohan bersikap sombong dan bertingkah. Rombongan kami diperlakukan bak orang tertindas, seperti pengemis, bukan kaum yang sejajar. Darahku mendidih, tapi Lord Shigeru nampak tidak terpengaruh, dia tetap sopan seperti biasa, dan hanya terlihat agak sedih. Aku diam membisu seperti ketika aku kehilangan suara. Aku mendengar potongan percakapan tentang jerami, atau arah mata angin. Di wilayah Tohan, semua orang tampak pendiam dan tertutup. Mereka tahu ada mata-mata di mana-mana, bahkan dinding pun bisa mendengar. Dan ketika penduduk Tohan sedang mabuk di malam hari, mereka diam membisu, tidak ribut seperti orang Otori. Sejak pembantaian di Mino, belum pernah aku sedekat ini dengan orang Tohan. Aku selalu menunduk dan memalingkan wajah, takut mengenal atau dikenali oleh orang yang telah membakar desa dan membunuh keluargaku. Aku menyamar sebagai seniman yang selalu ditemani kuas atau batu tinta. Aku menyembunyikan sifat asliku, dan berperan sebagai seorang pemuda yang sensitif, lembut, pemalu, dan jarang bicara. Satu-satunya orang yang kuajak bicara adalah Kenji. Dia pun berubah menjadi pemalu dan tak menonjolkan diri seperti biasa. terkadang kami berbincang tentang kaligrafi atau lukisan. Pengawal Tohan memandang kami sebelah mata dan tidak ambil peduli. Saat-saat di Tsuwano terasa seperti mimpi. Benarkah aku berlatih pedang dengan Kaede di sana? Apakah aku dan Kaede terperangkap dan terbakar oleh cinta? Sejak saat itu, aku jarang melihatnya. Semua wanita berada di penginapan yang terpisah dan mendapat hidangan yang terpisah pula. Aku berusaha melupakannya, tapi saat inendengar suaranya, jantungku berdebar, dan ketika malam tiba, bayangan dirinya muncul di bola mataku. Apakah aku telah disihir? Di malam pertama, Abe tidak memperhatikan aku, tapi di malam yang kedua, setelah makan malam dan ketika sake telah membuatnya agresif, dia menatapku selama beberapa saat sebelum bertanya pada Shigeru, ''Anak ini-adalah kerabatmu?" "Dia sepupu jauh ibuku," jawab Shigeru. "Dia anak nomor dua di keluarga besarnya, kini dia yatim piatu. Ibuku ingin mengadopsinya, dan setelah ibuku tiada barulah aku dapat mewujudkan niatnya." "Dan dia datang kepadamu dengan mengiba-iba," kata Abe sambil tertawa. "Sedih, mungkin," Shigeru menyetujui ucapannya. "Tapi dia berguna. Dia bisa berhitung, menulis, dan memiliki bakat seni." Suara Shigeru terdengar sabar, kecewa, seakan-akan aku adalah beban berat. Aku tahti setiap perkataan Shigeru hanyalah untuk membentuk karakterku di mata orang itu. Aku menunduk, tidak bicara. Abe kembali menuang sake dan meminumnya, sambil menatapku dari balik mangkuk. Matanya yang kecil dan cekung menghiasi wajahnya yang penuh bopeng. "Keahlian yang kurang berguna di masa sekarang ini!" "Kini kita bisa mengharapkan perdamaian karena Man kita akan menjadi sekutu," kata Shigeru perlahan. "dan mungkin kelak muncul seniman-seniman baru." "Berdamai dengan Otori memang mungkin saja. Otori sudah takluk tanpa harus berperang. Tapi kini Seishuu yang dipimpin oleh Arai, si pengkhianat, sedang mencari masalah." "Arai?" tanya Shigeru. "Sebelumnya dia adalah pengikut Lord Noguchi. Dia berasal dari Kumamoto. Wilayahnya berbatasan dengan wilayah keluarga calon isterimu. Dia ternyata sudah menyusun kekuatan. Kami akan menyerangnya sebelum musim dingin." Abe menelan lagi minumannya. Ekspresi humor yang kejam muncul di wajahnya, membuat lekukan di bibirnya terlihat bengis. "Arai telah membunuh penjaga yang mengganggu Lady Shirakawa, dan dia tersinggung ketika Lord Noguchi mengusirnya." Dia memandangiku dengan tatapan mabuk untuk yang kedua kalinya. "Aku berani bertaruh kau belum pernah membhunuh, bukan begitu nak?" "Belum, Lord Abe," jawabku. Dia tertawa. Aku bisa merasa kalau dia hendak menggangguku. Aku tak ingin membuat dia gusar. "Bagaimana denganmu, pak tua?" Dia berbalik ke arah Kenji, yang sedang berperan sebagai guru biasa. Saat ini Kenji sedang minum sake dengan gembira. Dia tampak agak mabuk, meskipun tidak semabuk Abe. "Meski orang bijak mengajarkan bahwa membunuh itu boleh-bahkan harus- untuk balas dendam," dia berkata dengan nada tinggi dan sok alim, "Aku belum pernah bertindak terlalu jauh. Sang Pencerah mengajarkan untuk menahan diri agar tidak mencabut nyawa makhluk hidup, itu alasannya mengapa aku hanya makan tumbuhan." Kenji berkata sambil mengisi mangkuknya. "Beruntung sake ini terbuat dari tumbuhan sehingga aku tidak melanggar aturan." "Tidak adakah ksatria di Hagi hingga kau hanya ditemani mereka?" ejek Abe. "Aku datang ke Inuyama untuk menikah," balas Lord Shigeru lembut. "Haruskah aku bersiap-siap untuk berperang?" "Setiap orang harus selalu siap berperang," balas Abe. "Apalagi bila reputasinya seperti calon isterimu. Kau tidak tahu itu?" Dia menggelengkan kepalanya yang besar. "Ibarat makan ikan beracun. Satu gigitan saja sudah mematikan. Apakah itu tak membuatmu cemas?" "Haruskah?" Shigeru kembali menuang sake. "Dia sangat cantik, kuakui itu. Memang sudah selayaknya!" "Lady Shirakawa tidak berbahaya," kata Shigeru, lalu mengarahkan Abe untuk berbicara tentang keberhasilan misi Iida di Timur. Aku mendengarkan kesombongan Abe dan berusaha mengira-ngira kelemahannya. Keputusanku sudah bulat, akan kubunuh dia. Kami tiba di Yamagata keesokan harinya. Daerah ini hancur akibat badai, begitu banyak korban jiwa dan para pertani mengalami kerugian besar. Hampir sama luasnya dengan Hagi, Yamagata sebelumnya merupakan wilayah Otori yang diambil paksa oleh klan Tohan. Sebuah kastil kembali dibangun dan dihibahkan pada salah satu pengikut Iida. Tapi sebagian besar penduduk di kota ini tetap menganggap dirinya sebagai bagian dari klan Otori, dan kehadiran Lord Shigeru menjadi satu alasan timbulnya keramaian. Abe berharap bisa sampai di Inuyama sebelum Festival of the Dead, dan dia marah karena tertahan di tempat ini. Melakukan perjalanan selama perayaan akan dianggap sebagai pertanda buruk, kecuali bila pergi ke tempat suci atau kuil. Shigeru nampak sangat sedih, mungkin karena inilah pertama kali dia berada di kota tempat Takeshi dibunuh. "Setiap kali bertemu orang Tohan, aku selalu bertanya pada diriku: Diakah orang yang membunuh Takeshi?" Lord Shigeru mengungkapkan ini saat malam telah larut. "Dan kupikir mereka juga bingung mengapa belum dihukum, dan mereka membenci diriku karena dibiarkan hidup. Ingin rasanya kupenggal mereka." Belum pernah aku mendengar Shigeru mengatakan perasaannya selain kesabaran. "Jika kau bunuh mereka, kita tidak akan pernah mendapatkan Iida," balasku. "Semua penghinaan Tohan pasti akan ada balasannya." "Kau semakin bijak, Takeo," ucapnya dengan ringan. "Bijaksana dan bisa mengendalikan diri." Keesokan harinya Shigeru pergi bersama Abe ke kastil. Mereka diterima oleh bangsawan setempat. Dia nampak lebih sedih dan gelisah. "Tohan menyalahkan kaum Hidden atas terjadinya badai ini." Dia memberitahukan secara singkat. "Beberapa pedagang dan petani ditangkap. Sebagian mad setelah disiksa. Ada empat orang yang digantung di dinding kastil. Sudah tiga hari mereka digantung." "Mereka masih hidup?" tanyaku, merinding. "Mungkin mereka akan tetap di sana selama seminggu atau lebih," kata Shigeru. "Dan burung gagak akan mematuki mereka sampai mati." Begitu tahu mereka ada di sana, tak henti-hentinya aku mendengar jeritan mereka, kadang teriakan pilu yang menyayat hati. Di siang hari, teriakan mereka diiringi dengan teriakan burung gagak. Aku akan mendengarnya malam ini, dan juga esok. Ini adalah malam pertama Festival of the Dead. Tohan menetapkan jam malam, tapi Festival of the Dead adalah tradisi yang sudah turun-temurun, dan jam malam hanya dapat bertahan hingga tengah malam. Setelah tengah malam, kami ikut bergabung dengan kerumunan orang yang menuju kuil lalu ke sungai. Lampu dari lentera batu membentuk garis hingga ke kuil, dan lilin-lilin diletakkan di atas nisan, pancaran sinar membentuk bayangan tubuh yang cekung dan semua wajah nampak seperti tengkorak. Iring-iringan berjalan dengan teratur dan hening sehingga terlihat seperti barisan mayat yang bangkit dari kubur. Malam terasa begitu hangat. Aku dan Shigeru pergi ke tepi sungai, meletakkan beberapa lilin menyala di perahu yang terapung sebagai persembahan bagi arwah. Lonceng kuil berdentang, senandung dan alunannya seperti mengikuti arus air sungai yang tenang. Kami menyaksikan lilin-lilin yang terapung dibawa arus, berharap arwah akan tenang dan meninggalkan dunia ini dengan damai. Hanya saja, tidak ada lagi kedamaian di hatiku. Aku teringat ibu; ayah, ayah tiri, adik-adikku, dan juga penduduk Mino yang telah meninggal. Tidak diragukan lagi, Shigeru memikirkan ayah dan adiknya. Arwah mereka seakan tak mau pergi sebelum dendam mereka terbalaskan. Di sekeliling kami orang-orang menyalakan lilin di perahu sambil menangis terisak-isak, dan hatiku perih dengan kenyataan hidup ini. Aku teringat ajaran Hidden, tapi kemudian aku sadar kalau mereka yang mengajariku telah mati. Cahaya lilin kian lama kian mengecil, lalu nampak seperti kunang-kunang, dan kemudian nampak seperti bunga api. Bulan purnama menampakkan dirinya yang berwarna oranye, warna yang biasa muncul di akhir musim panas. Aku takut kembali ke penginapan, ke kamarku yang pengap, karena aku akan mendengar jeritan orang Hidden yang sekarat di balik dinding kastil hingga pagi. Kembang api telah dinyalakan di sepanjang tepi sungai, dan orang-orang mulai menari, tarian untuk inenyambut dan melepaskan arwah pergi. Gendang ditabuh dan musik pun dimainkan. Rohku serasa terangkat dan aku berdiri untuk melihat. Di bawah bayang-bayang pohon willow, aku melihat Kaede. Dia berdiri dengan Lady Maruyama, Sachie dan Shizuka. Lord Shigeru berdiri, lalu mendekat ke arah mereka. Lady Maruyama mendekatinya, dan mereka saling menyapa dalam bahasa yang resmi dan dingin, saling bertukar simpati untuk arwah, lalu membahas tentang perjalanan ke Inuyama. Mereka membalikkan badan, dalam gerakan yang wajar, lalu berdiri berdampingan sambil menyaksikan tarian. Tapi ada kerinduan di balik nada bicara dan dari cara mereka berdiri, dan ini membuatku takut. Aku tahu mereka bisa menyembunyikan perasaan mereka-itu telah mereka lakukan bertahun-tahun-tapi saat ini mereka memasuki akhir dari permainan dengan taruhan nyawa. Aku takut mereka akan bertindak ceroboh sebelum langkah terakhir. Kini Kaede hanya seorang diri di tepi sungai, terpisah dari Shizuka. Tanpa sadar, seakan dibawa para arwah, aku telah berdiri di sampingnya. Aku hendak menyapa, namun aku takut Abe melihat, lalu menuduhku hendak menggoda tunangan Shigeru. Akhirnya aku memberanikan diri dengan mengatakan tentang malaiii yang panas, tapi Kaede gemetar seakan kedinginaii, Setelah lama diam, akhirnya dia bertanya. "Pada siapa kau berduka, Lord Takeo?" "Ibuku, ayahku." Setelah terdiam sejenak, kemudian aku melanjutkan. "Begitu banyak yang mati." "Ibuku sedang sekarat," ujarnya. "Kuharap aku bisa bertemu dengannya lagi, tapi perjalanan kita begitu lambat. Aku takut terlambat menengoknya. Aku berumur tujuh tahun saat dijadikan tawanan. Hampir separuh hidupku, aku tidak pernah bertemu ibuku dan juga adikadikku." "Dan ayahmu?" "Aku hampir tak pernah bertemu dengannya." "Dia akan hadir di...?" Aku kaget karena tenggorokanku mengering sehingga aku tak mampu bicara. "Di pernikahanku?" katanya pahit. "Tidak, dia tak akan hadir." Matanya terpaku ke sungai yang penuh dengan cahaya lilin. Kini dia melihat para penari dan kerumunan di balik punggungku, melihat Shigeru dan Lady Maruyama. "Mereka saling mencintai," dia berkata seakan-akan sedang berbicara pada dirinya sendiri. "Itu alasannya kenapa dia membenciku." Tidak sepantasnya aku berdekatan darr berbicara dengannya, tapi aku tidak dapat menggerakkan diriku untuk menjauh. Aku berusaha untuk bersikap lembut, malu-malu, dan sopan. "Meskipun pernikahan ini untuk menjalankan tugas dan mengikat persekutuan, tapi itu bukan berarti tidak akan ada kebahagiaan. Lord Otori sangat baik." "Aku lelah mendengar ini semua. Aku tahu dia baik. Aku hanya mengatakan bahwa dia tak akan mencintaiku." Aku sadar matanya menatapku. "Tapi, aku tahu," dia melanjutkan, "bahwa cinta bukanlah untuk kalangan kita." Kini aku yang gemetar. Dan ketika aku mengangkat kepala, tatapan kami bertemu. "Lalu mengapa aku merasakan cinta?" bisiknya. Aku tak berani berbicara lagi. Kata-kata yang ingin kuucapkan tertahan dimulutku. Aku seperti dapat merasakan manis dan kuatnya rasa cinta. Aku ingin mati saja jika tidak bisa memiliki dirinya. Gendang bertabuhan. Api yang menyala nampak seperti lautan api. Shizuka memanggil dari tempat gelap. "Malam telah larut, Lady Shirakawa." "Aku datang," balas Kaede. "Selamat malam, Lord Takeo." Aku membiarkan diriku menyebut namanya, seperti dia menyebut namaku. "Lady Kaede." Saat dia membalikkan badan, wajahnya nampak bersinar, lebih terang dari cahaya api, lebih cemerlang dari cahaya rembulan yang terpantul dari permukaan sungai.* DELAPAN KAMI mengikuti rombongan Lady Maruyama kembali ke kota, kemudian kami berjalan ke penginapan yang letaknya terpisah. Di perjalanan, beberapa penjaga Tohan datang dan mengawal hingga di pintu penginapan. Mereka berjaga-jaga di luar penginapan, sedangkan seorang pengawal dari pihak Otori tetap mengawasi dari jalan. "Besok kita ke Terayama," kata Shigeru ketika kami bersiap-siap tidur. "Aku harus ziarah ke makam Takeshi, dan untuk menyampaikan rasa hormatku pada kepala biara. Dia teman lama ayahku. Ada beberapa hadiah untuknya." Kami membawa banyak hadiah di kantung yang ada di kedua sisi kuda. Selain barang kami sendiri, kami juga membawa pakaian pengantin, dan bekal untuk perjalanan. Selama ini aku tidak memperhatikan kotak kayu yang akan kami bawa, apalagi isinya. Seperti yang kutakutkan, kamar penginapan terasa pengap. Aku tidak dapat memejamkan mata. Aku mendengar lonceng biara yang berdentang di tengah malam. Kemudian keriuhan di luar penginapan berangsur-angsur lenyap seiring berlalunya jam malam, kecuali rintihan orang-orang yang sekarat di dinding kastil. Akhirnya aku memutuskan untuk bangun. Aku tak mempunyai rencana apa pun. Aku hanya ingin melakukan sesuatu karena tidak bisa tidur. Kenji dan Shigeru sudah terlelap, begitu pula penjaga di luar. Aku lalu mengambil sebuah kotak kedap air, tempat Kenji menyimpan kapsul racun. Kuikat benda itu di pakaian dalamku, lalu aku mengenakan pakaian perjalanan yang berwarna gelap, dan tak lupa kuambil pedang pendek, garrotte, sepasang pengait besi dan talinya dari tempat yang tersembunyi di dalam peti kayu. Setiap gerakanku butuh waktu lama karena harus dilakukan tanpa berbunyi. Tapi, bagi kalangan Tribe, waktu berjalan dengan cara berbeda, waktu dapat berjalan cepat atau lambat sesuai keinginan. Aku pun tidak tergesa-gesa karena aku tahu Kenji dan Shigeru tak akan terbangun. Tubuh penjaga itu bergerak saat aku melangkah di depannya sehingga aku langsung ke kamar mandi untuk menenangkan diri. Kemudian aku mengirim sosok keduaku kembali ke kamar dengan melewati pengawal itu. Aku menunggu di kegelapan hingga si penjaga mendengkur lagi, baru kemudian aku menghilangkan tubuh. Aku memanjat atap dari halaman penginapan, dan menjatuhkan diri di sisi luar jalan. Aku mendengar ada beberapa pengawal Tohan di pintu penginapan, dan aku tahu kalau ada patroli di semua jalan. Meskipun sangat berbahaya, tapi aku ingin mempraktekkan kemampuan yang Kenji ajarkan sebelum kami tiba di Inuyama. Selain itu, aku ingin sekali menghentikan rintihan di balik dinding kastil agar aku bisa tidur. Aku memilih jalan setapak, jalan berliku ke kastil. Hanya sedikit rumah yang lampunya masih menyala, kebanyakan dalam keadaan gelap. Aku mendengar percakapan berbisik saat melewati rumah penduduk: suara seorang bapak menenangkan anaknya yang menangis, ocehan anak yang mungkin sedang demam, pertengkaran antar pemabuk. Dan akhirnya aku sampai di jalan utama, jalan yang langsung mengarah ke parit dan jembatan. Sebuah kanal terbentang di sisi jalan, dan banyak sekali ikan mas. Ikan-ikan mas itu sedang tidur, dan sisiknya bersinar lembut diterangi bulan. Kadang ada yang terbangun, meloncat lalu menceburkan diri. Mungkin ikan itu sedang bermimpi. Aku berjalan dari satu pintu ke pintu lainnya, telingaku selalu waspada -pada setiap langkah kaki atau dentingan baja. Sebenarnya, aku tidak mencemaskan pengawal yang sedang patroli karena aku yakin bisa mendengar mereka terlebih dulu, dan selain itu aku bisa menghilang dan memisahkan diri menjadi dua sosok. Saat berhasil mencapai ujung jalan dan memandangi permukaan sungai kecil itu diterangi sinar rembulan, yang terpikir hanyalah rasa senang karena menjadi seorang Kikuta, melakukan apa yang telah menjadi darahku. Hanya Tribe yang tahu perasaanku saat ini. Di sisi bagian dalam parit ada serumpun pohon wittow yang daunnya berguguran hingga menutupi permukaan air. Untuk keamanan, seharusnya mereka membersihkan daun-daun itu, tetapi mungkin saja penghuni kastil, seperti isteri dan ibu bangsawan di kota ini, menyukai indahnya pemandangan ini. Diterangi cahaya bulan, ranting pohon wittow nampak membeku. Malam ini tak ada angin. Aku menyelinap di antara batang pohon, merunduk, dan memandangi kastil. Kastil ini lebih besar dari kastil yang ada di Tsuwano maupun di Hagi, tapi bentuk bangunannya tidak jauh berbeda. Di kejauhan aku melihat siluet keranjang kurungan yang terletak di menara penjaga, tepatnya di sisi belakang gerbang selatan yang kedua. Agar bisa sampai ke sana, aku harus menyeberangi parit di sekitar kastil, memanjat dinding batu, melewati gerbang pertama dan melintasi bailey di sebelah selatan, memanjat gerbang kedua dan menara penjaga, lalu turun lagi untuk menggapai keranjang. Aku mendengar langkah kaki dan getaran tanah di tempatku berpijak. Beberapa penjaga yang sedang berpatroli mendekati jembatan. Penjaga lain datang dari arah kastil, dan mereka saling bertegur-sapa ketika berpapasan. "Ada masalah?" "Hanya pelanggar jam malam seperti biasa." "Dasar pengacau!" "Besok keadaan akan semakin memburuk. Situasi lebih memanas." Satu grup penjaga itu berjalan ke kota; dan yang lainnya menyeberangi jembatan dan berjalan ke arah gerbang. Ada yang menegur dari balik gerbang, dan mereka membalasnya. Pintu gerbang berdecit ketika dibuka dan langkah kaki pun tidak terdengar lagi. Di balik pepohonan willow, aku mencium bau busuk air dari parit, dan juga bau yang menusuk: bau orang hidup yang badannya mulai membusuk. Tepi parit ditumbuhi rumput dan juga bunga iris yang telah layu. Katak dan jangkrik bernyanyi riuh. Kehangatan udara malam membelai wajahku. Dua ekor angsa putih tampak seperti melayang ke bulan. Aku penuhi jantungku dengan udara lalu aku menyelam hingga mendekati dasar parit, mengikuti arus yang mengalir perlahan agar dapat muncul tepat di bawah jembatan. Dinding batu raksasa di tepi parit memudahkanku menapak, hanya saja putihnya batu itu membuatku cemas akan terlihat. Aku tidak bisa menghilangkan diri terlalu lama. Waktu yang semula terasa lambat, kini mulai berpacu. Aku bergerak lebih cepat, memanjat dinding layaknya monyet. Di gerbang pertama, aku mendengar suara penjaga yang kembali dari berpatroli. Aku menempelkan badanku di pipa saluran air, lalu menghilangkan diri, dan memanfaatkan bunyi langkah kaki mereka untuk menutupi bunyi pengait besi yang kulempar ke atas dinding. Aku mengayun ke atas dan, diam di atap selama beberapa saat, kemudian aku berlari mengitari bailey di selatan. Keranjang yang digunakan untuk mengurung orang-orang sekarat itu tepat berada di atas kepalaku. Orang yang pertama terus-menerus minta air, orang yang kedua hanya mengerang, dan orang yang ketiga menyebut nama tuhannya berulangkali, membuat aku merinding. Sedangkan orang yang keempat diam tak bergerak. Bau darah, air kencing, dan kotoran mereka membuatku mual. Aku berusaha menutup hidung karena bau busuk, dan aku menutup telinga karena tidak tahan lagi mendengar semua itu. Diterangi cahaya rembulan, aku memandangi kedua tanganku. Aku harus melintas di atas pos jaga. Aku mendengar penjaga di pos itu sedang membuat teh dan bercakapcakap. Ketika terdengar bunyi ketel tersentuh rantai besi, aku langsung menggunakan pengait besi untuk memanjat menara penjaga ke parapet* di mana semua keranjang tergantung. Keranjang-keranjang itu digantung dengan tali dan tingginya sekitar dua belas meter dari tanah. Keranjang itu cukup besar untuk menahan orang dalam posisi duduk berlutut dengan kepala mendongak ke atas, dan dengan kedua tangan terikat ke belakang. Tali keranjang itu tampaknya cukup kuat untuk menopang berat badanku. Saat aku meraih salah satu keranjang dari atas parapet, keranjang itu bergoyang dan orang yang ada di dalamnya langsung menjerit ketakutan. Suaranya memecah keheningan malam. Aku diam membeku. Setelah tersedu-sedan selama beberapa waktu, kemudian dia merintih lagi, "Air! Air!" Tak ada suara yang menanggapi teriakan orang itu selain gonggongan anjing di kejauhan. Seisi kota tetap terlelap. Bulan tak lama lagi akan menghilang di balik Saat bulan menghilang di balik gunung, aku memeriksa pengait besi di atas parapet, lalu aku mengeluarkan kapsul racun dan menyimpannya di mulut. Setelah itu aku menuruni dinding dengan menggunakan tali yang kubawa dan merasakan setiap pijakan kakiku di permukaan dinding batu. Di keranjang pertama, kubuka ikat kepalaku yang masih basah karena air parit, dan aku hanya bisa menggapai keranjang itu tanpa bisa mendekat. Aku mendengar desah napas, juga ocehannya, dia mengeluarkan kata-kata yang tak aku mengerti. 'Aku tak bisa menyelamatkanmu," bisikku, "tapi aku punya racun yang bisa memberimu kematian tanpa rasa sakit." Dia menekan wajahnya ke lubang keranjang dan membuka mulutnya untuk menerima racun. Orang yang kedua hanya diam, tapi aku dapat menjangkau urat nadinya karena kepala laki-laki itu merosot di sisi keranjang. Aku menghentikan rintihannya tanpa ada jeritan. Setelah itu aku lalu naik kembali ke parapet untuk mengatur ulang posisi tali agar aku dapat mencapai keranjang lainnya. Lenganku terasa pegal, namun aku bertahan karena saat aku melihat ke bawah, di sana banyak batu-batu. Ketika berhasil menjangkau orang ketiga yang sedang berdoa, dia langsung waspada. Tatapan matanya kelam. Aku menggumamkan doa kaum Hidden lalu aku keluarkan kapsul racun yang ada di mulutku. Dia berkata, "Tapi, itu dosa." "Aku yang akan menanggung dosamu," aku berbisik. "Kau tidak bersalah. Kau akan diampuni." Sewaktu memasukkan kapsul itu ke mulutnya, dia menggambar simbol Hidden dengan lidahnya di telapak tanganku. Setelah berdoa, dia pun terdiam untuk selamanya. Aku tidak mendengar denyut nadi orang yang ke empat, kurasa dia sudah mati, tapi untuk memastikan, aku menempelkan garrotte untuk mendengar denyut nadinya. Ayam mulai berkokok. Aku kembali ke parapet, malam begitu hening. Tak ada rintihan dan teriakan, kesunyian yang sangat berbeda dari sebelumnya. Aku takut penjaga akan menyadari hal ini. Detak jantungku bertabuh ibarat genderang. Aku pulang melalui jalan yang sama ketika aku datang, namun tanpa menggunakan pengait besi. Aku melompat dari dinding ke tanah, bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Ayam yang lain berkokok dan dibalas oleh ayam lainnya lagi. Penghuni kota tak lama lagi akan bangun. Keringatku bercucuran, dan air di parit terasa beku. Karena tak mampu lagi menahan napas selama menyelam, dan aku segera muncul ke permukaan yang tak jauh dari pepohonan willow sehingga membuat angsa-angsa terbangun dari tidur. Kuhirup udara, lalu menyelam lagi. Aku muncul di tepi sungai, di depan pohon willow. Aku bermaksud untuk beristirahat sebentar untuk menormalkan napas. Langit mulai terang. Aku benar-benar lelah. Konsentrasi dan kesadaran seperti tercabut dari diriku. Aku hampir tidak mempercayai apa yang telah kulakukan. Aku kaget saat mendengar ada yang datang. Bukan pengawal, tetapi orang biasa. Dari bau kulit hewan yang keluar dari badannya, kurasa dia penyamak. Belum sempat aku memulihkan tenaga agar dapat menghilang, dia telah melihatku. Dengan melihat sekilas saja, aku sadar kalau dia tahu apa yang telah kulakukan. Kini aku terpaksa membunuhnya, pikirku. Aku merasa mual karena harus membunuh. Aku mencium bau darah dan kematian di kedua tanganku. Namun aku memutuskan untuk membiarkan orang itu hidup, lalu aku meninggalkan sosok tubuhku yang kedua di bawah pohon dan, dalam sekejap, sosokku yang sesungguhnya telah berada di seberang jalan. Aku mendengar orang itu berbicara pada bayanganku sebelum bayanganku berangsur-angsur hilang. "Tuan," katanya dengan ragu-ragu, "maaf. Aku telah mendengar rintihan kakakku selama tiga hari ini. Terima kasih. Semoga tuhan memberkatimu." Ketika sosok keduaku lenyap, dia menjerit kaget dan takjub. "Malaikat!" Aku dengar napasnya yang kasar, hampir seperti terisak-isak, saat aku berlari dari pintu ke pintu sambil berharap penjaga yang berpatroli tak bertemu dengan orang itu, dan juga berharap dia tidak mengatakan apa pun. Aku berusaha meyakinkan diriku kalau dia adalah orang Hidden yang akan membawa rahasianya hingga ke alam kubur. Pagar di sekeliling penginapan cukup rendah untuk diloncati. Aku berjalan ke kamar mandi dan pancuran untuk memuntahkan kapsul yang tersisa, dan membasuh muka dan tangan seakan-akan aku baru bangun tidur. Penjaga masih setengah sadar saat aku melewatinya. Dia mengeluh, "Sudah pagi?" "Hampir pagi," balasku. "Kau pucat, Lord Takeo. Kau kurang sehat?" "Hanya sedikit mual. Itu saja." "Makanan Tohan sialan," dia menggerutu sehingga kami tertawa. "Mau teh?" dia menawarkan. "Kalau mau, aku akan membangunkan pelayan." "Nanti saja. Aku akan tidur lagi." Aku menggeser pintu agar terbuka lalu masuk ke dalam ruangan. Kegelapan telah berlalu, dan kini berganti menjadi keabu-abuan. Dari napasnya, dapat kupastikan kalau Kenji sudah bangun. "Dari mana?" bisiknya. "Dari kamar mandi. Aku kurang enak badan." "Sejak tadi malam?" dia bertanya dengan ragu. Kulepaskan pakaianku yang basah dan menyembunyikan senjata di bawah kasur di saat yang bersamaan, "Hanya sebentar. Kau kan sedang tidur." Dia menarikku dengan kasar lalu meraba pakaianku, "Pakaianmu basah! Kau dari sungai?" "Kan sudah kukatakan, aku merasa kurang enak badan. Mungkin aku akan bangun agak siang." Kenji memukul pundakku begitu kerasnya sehingga Lord Shigeru terbangun. "Ada apa?" bisiknya. "Takeo di luar semalaman. Aku cemas." "Aku tidak bisa tidur," kataku. "Aku hanya ingin keluar sebentar. Aku pernah melakukan ini di Hagi dan Tsuwano." "Aku tahu itu," kata Kenji. "Tapi itu masih wilayah Otori. Sedangkan di sini jauh lebih berbahaya." "Aku kan sudah kembali." Aku masuk ke dalam selimut, menariknya sampai menutupi kepalaku, dan aku pun tertidur nyenyak, tidur seperti orang mati. Aku terbangun karena teriakan burung gagak. Meskipun tidur tidak lama, tapi aku merasa tenang dan damai. Aku tidak lagi memikirkan kejadian tadi malam. Bahkan aku tidak ingat dengan jelas, seakan-akan aku melakukan itu dalam keadaan tak sadar. Hari ini adalah hari yang jarang terjadi di akhir musim semi. Langit cerah dengan warna biru terang, udara pun terasa lembut dan hangat, tidak lembab. Seorang pelayan datang membawa nampan makanan dan teh, setelah membungkuk hormat dan menuangkan teh, dia berkata pelan, "Lord Otori menunggumu di istal. Dia memintamu bergabung secepatnya. Dan gurumu ingin kau membawa alat lukismu." Aku mengangguk, mulutku penuh makanan. Dia berkata, "Akan kukeringkan pakaianmu." "Nanti saja," balasku, aku tak ingin dia melihat senjata di pakaianku. Setelah dia pergi, aku segera berdiri, berpakaian, dan menyembunyikan pengait besi dan garrotte di bagian rahasia di peti perjalanan, tempat Kenji menyimpan benda itu. Lalu aku ambil kantung kuasku, tidak ketinggalan kotak yang berisi batu tinta, kemudian kubungkus dengan sehelai kain. Aku selipkan pedang di pinggangku, kini aku menjadi Takeo, seorang seniman terpelajar, lalu aku pergi ke istal. Saat melewati dapur, aku mendengar pelayan berbhisik, "Mereka mati di kegelapan malam. Orang-orang mengatakan bahwa ada Malaikat Maut yang datang... " Aku terus berjalan sambil menatap ke bawah agar gaya berjalanku terlihat agak kikuk. Rombongan wanita telah di punggung kuda. Shigeru berdiri sambil berbincang dengan Abe yang akan menemani kami. Seorang pengawal Tohan yang masih muda berdiri di sampingiiya sambil memegang tali kekang dua ekor kuda. Seorang penjaga kuda memegang tali kekang kuda Lord Shigeru, Kyu, dan juga kudaku, Raku. "Cepat," seru Abe ketika melihatku. "Kami tak bisa menunggumu seharian." "Segera minta maaf pada Lord Abe," kata Shigeru seraya menghela napas. "Aku sangat menyesal. Tindakanku benar-benar tak bisa dimaafkan," kataku sambil membungkuk pada Abe dan Lady Maruyama serta Lady Shirakawa, berusaha untuk tidak menatap Kaede. "Aku belajar hingga larut malam." Aku berbalik ke arah Kenji dan berkata dengan nada yang berbeda, "Aku sudah membawa peralatan melukis, guru." "Ya, bagus," balasnya. "Kau akan melihat beberapa karya seni yang mengagumkan di Terayama, dan mungkin kau dapat menirunya jika sempat." Shigeru dan Abe menaiki kuda, dan si penjaga kuda membawa Raku kepadaku. Raku senang melihatku; din menggosok-gosokkan moncongnya di pundakku. Aku biarkan gerakan Raku membuatku hilang keseimbangan, sehingga hampir terjatuh. Aku berjalan ke sebelah kanan Raku dan berpura-pura mengalami masalah sewaktu menungganginya. "Semoga kemampuan melukisnya jauh lebih baik daripada caranya berkuda," Abe tertawa mengejek. "Sialnya, tak ada satu pun lukisannya yang luar biasa." Kurasa kekesalan Kenji bukan pura-pura. Aku tidak membalas ucapan mereka, aku hanya menghibur diri dengan mengamati leher Abe yang tebal di saat dia berkuda di depanku, aku membayangkan bagaimana aku menjerat lehernya dengan garrotte atau mengiris dagingnya yang berlemak dengan belati. Gagasan jahat berhasil membuatku sibuk hingga kami melewati jembatan dan keluar dari kota. Kemudian, keindahan hari ini mulai menyihirku. Tanah mulai menyembuhkan dirinya setelah dihantam badai. Bunga morning-glory yang mulai mekar kini berwarna biru cemerlang, walau beberapa tanaman merambat layu berguguran. Ikan hilir-mudik di sungai, sedangkan beberapa burung bangau dan unggas air lainnya berdiri di Air yang dangkal. Lusinan capung yang beraneka ragam terbang di sekeliling kami, dan kupu-kupu berwarna kuning bercampur warna jingga terbang mengelilingi kaki kuda. Kami berkuda di antara sawah yang menghijau. Tumbuh-tumbuhan memaksakan diri untuk tumbuh setelah layu dihantam badai. Hampir semua orang terlihat bekerja dengan wajah bahagia, lupa akan kerusakan akibat badai. Aku teringat penduduk di desaku yang gigih menghadapi bencana, keyakinan mereka tidak tergoyahkan: apa pun yang menimpa, hidup pada dasarnya baik, dan dunia adalah tempat yang aman. Sawah memberi kesempatan kepada sayuran untuk tumbuh di lahan yang bertingkat-tingkat, dan ketika jalan semakin curam, hutan bambu mengiringi kami dengan cahayanya yang hijau pucat keperakan. Di antara pepohonan bambu ada pohon pinus dan cedar, ranting-rantingnya yang lebat menghalangi dan memperlambat langkah kuda. Di sekitar kami terbentang hutan yang lebat. Terkadang kami bertemu para peziarah di jalan setapak yang sempit ini, membuat perjalanan kami ke gunung suci kian sulit. Kami berkuda dengan berbaris sehiiig sulit rasanya bercakap-cakap. Aku tahu Kenji sudah tidak sabar untuk menanyakan kejadian semalam, tapi aku tidak mau membicarakan atau pun memikirkan hal itu. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya kami sampai di beberapa bangunan yan terletak di luar pintu biara. Kami berhenti di sebuah rumah, tempat menginap para peziarah. Semua kuda dibawa pergi untuk diberi makan dan minum, dan kami masuk ke rumah itu untuk menyantap hidangan siang berupa sayur-mayur yang disajikan biarawan. "Aku agak lelah," ujar Lady Maruyama saat kami selesai menyantap makanan. "Lord Abe, maukah kau di sini saat aku dan Lady Shirakawa beristirahat?" Lord Abe tidak kuasa menolak, walaupun sebenarnya dia segan melepas Shigeru dari pandangannya. Lord Shigeru memintaku untuk mengambil kotak kayu, dan kuambil juga tinta dan kuas. Si pemuda Tohan yang turut bersama kami seperti agak marah, kesal. Bila cuaca normal, Shigeru tidak akan sempat ke Terayama untuk ziarah ke makam adiknya tepat pada saat Festival of the Dead. Kami mulai mendaki anak tangga yang curam. Biara Terayama dibangun di sisi gunung, dekat kuil kuno. Beberapa pohon yang tumbuh di hutan suci mungkin sudah berumur empat atau lima ratus tahun, pohonnyit menyerupai payung raksasa, sedangkan lilitan akarnya yang menggantung dan menancap ke tanah mirip roh penunggu hutan. Di kejauhan aku mendengar biarawati sedang melantunkan doa, memukul gong dan lonceng. Sayup-sayup aku mendengar gemuruh air terjun, hembusan angin di dedaunan pohon cedar, dan juga kicau burung. Keindahan hari ini memunculkan perasaan yang mendalam, rasa kagum dan juga pengharapan, seolah-olah ada suatu rahasia besar dan menakjubkan yang akan terungkap. Kami akhirnya sampai di gerbang kedua, di sini terlihat sekumpulan bangunan tempat para peziarah dan pengunjung beristirahat. Di tempat ini kami diminta menunggu sambil minum teh. Tak lama kemudian dua orang biarawan datang. Salah seorang lebih pendek dan lemah karena sudah termakan usia, namun matanya cemerlang dan memantulkan kedamaian. Seorang lainnya jauh lebih muda, berotot, dan raut wajahnya keras. "Kami senang atas kedatanganmu, Lord Otori," kata biarawan yang lebih tua, membuat orang Tohan yang mengiringi kami semakin cemberut. "Kami sedih karena memakamkan Lord Takeshi. Tentu kau datang untuk berziarah ke makamnya." Aku dan Shigeru mengikuti biarawan tua itu ke tempat pemakaman. Di sana tampak beberapa batu nisan berderet di bawah pohon yang sangat besar. Ada yang sedang membakar kayu, asapnya yang keluar dari bawah pohon memunculkan cahaya kebiruan saat menyatu dengan sinar matahari. Kami bertiga duduk berlutut dalam hening. Tak lama kemudian biarawan yang lebih muda memberikan lilin dan dupa pada Shigeru yang kemudian meletakkannya di makam. Keharuman dupa menyebar di sekitat kami. Lilin menyala dengan tenang karena tidak ada hembusan angin, tapi cahayanya hampir tak terlihat karena matahari bersinar terang. Lord Shigeru mengeluarkan dua benda dari balik lengan bajunya- sebuah batu kecil yang berasal dari pantai di Hagi, dan boneka kuda yang terbuat dari jerami seperti yang sering anak-anak mainkan-lalu dia letakkan di makam Takeshi. Aku teringat tangisan Shigeru di malam saat pertama kali aku bertemu dengannya. Kini aku bisa mengerti kesedihannya, tapi kini kami tak lagi menangis. Setelah beberapa saat, biarawan tua itu bangkit, dan menyentuh bahu Shigeru, lalu kami mengikutinya ke bangunan utama biara. Bangunan ini dibangun dari pohon cemara dan pohon cedar, warnanya abu-abu kusam karena sudah termakan waktu. Ukuran bangunan ini tidak besar, tapi aula utamanya dirancang dengan sempurna sehingga menciptakan kesan lega, dan pandangan akan terpusat ke Sang Pencerah yang tampak melayang di antara cahaya lilin seakan dia berada di Surga. Kami melepas sandal dan melangkah masuk ke aula. Kembali, si biarawan muda membawa dupa, lalu kami tusukkan dupa itu di tempat yang telah disediakan, di dekat kaki patung yang berwarna keemasan. Sambil duduk dengan bertumpu pada salah satu lutut, biarawan itu mulai melantunkan doa bagi para arwah. Ruangannya suram, dan mataku silau oleh cahaya ilin, aku mendengar napas Kau tunggu di sini dengan Muto Kenji," kata Shigeru kepada pemuda Tohan. penghuni lainnya di biara ini, dari balik altar, dan saat mataku mulai bisa menyesuaikan dengan kegelapan, aku melihat banyak biarawan sedang bermeditasi. Aula ini jauh lebih besar dari yang kuduga, dan di tempat ini ada banyak sekali biarawan, ratusan. Meskipun besar di kaum Hidden, tapi hanya sekali ibu membawaku ke kuil dan biara di wilayah kami, dan aku tidak tahu banyak tentang ajaran Sang Pencerah. Aku tahu, seperti yang pernah diajarkan, bahwa pada saat berdoa, wajah dan suara biarawan terlihat sama. Kedamaian di tempat ini menusuk jiwaku. Apa yang sedang kulakukan di sini, seorang pembunuh dengan hati yang penuh dendam? Setelah upacara ritual selesai, kami kembali bergabung dengan Kenji yang sedang terlibat pembicaraan yang serius tentang seni dan agama dengan pengawal Tohan. "Kami membawa hadiah untuk kepala biara," kata Lord Shigeru seraya meraih kotak kayu yang kutitipkan pada Kenji. Secercah sinar muncul di mata biarawan tua itu. "Akan kuantarkan padanya." "Pengawal ini ingin melihat lukisan yang ada di sini," kata Kenji. "Makoto akan menunjukkan jalannya. Mari ikut denganku, Lord Otori." Si pengawal Tohan segera menoleh ke belakang, ke Lord Shigeru dan biarawan tua yang menghilang di balik altar. Dia seperti ingin mengikuti mereka, tapi Makoto menghalangi jalan tanpa memberi kesan mengancam. "Sebelah sini, anak muda!" Dengan langkah yang hati-hati Makoto memandu kami keluar biara dan menyusuri sebuah jalan lebar ke arah aula yang lebih kecil. "Pelukis besar Sesshu pernah tinggal di sini selama sepuluh tahun," dia menceritakan. "Dia juga yang merancang taman dan melukis pemandangan dan burung. Lukisan di kasa pintu ini merupakan karyanya." "Ini baru namanya karya seni," kata Kenji dengan nada menggurui. "Ya, guru," balasku. Aku tidak perlu berpura-pura merendahkan diri karena aku memang sangat terkesan pada lukisan yang ada di depanku. Lukisan kuda hitam dan beberapa bangau putih ini seolah-olah ditangkap dan dibekukan dalam sekejap oleh kemampuan sang pelukis yang menakjubkan. Setiap kata yang diucapkan terasa seperti merusak lukisan ini, akan membuat kudanya lari, dan bangaunya terbang. Sang pelukis berhasil melakukan apa yang ingin kulakukan: menangkap sang waktu dan membuatnya berhenti. Tidak terlihat lukisan di kasa jendela yang paling dekat dengan pintu. Kutatap tajam jendela itu karena aku yakin pasti sebelumnya ada lukisan di jendela itu. Makoto berkata, "Memang ada lukisan burung di situ. Menurut legenda, lukisan burung itu begitu nyata sehingga burung itu akhirnya terbang." "Lihatlah, kau masih harus belajar banyak," kata Kenji padaku. Kurasa Kenji terlalu berlebihan, namun si pengawal Tohan melemparkan pandangan merendahkan ke arahku, setelah melihat lukisan-lukisan itu secara sambil lalu. Dia kemudian berjalan keluar dan duduk di bawah pohon. Aku mengeluarkan tinta, dan Makoto memberiku air. Kusiapkan tinta lalu kubentangkan kertas. Aku ingin meniru goresan sang pelukis besar ini sambil berharap agar kemampuan seninya pindah kepadaku. Cuaca sore semakin panas, cahayanya menyilaukan, apalagi nyanyian jangkrik yang bersemangat. Udara di aula lebih dingin. Waktu berjalan begitu lambat. Aku mendengar tarikan napas si pemuda Tohan yang sedang tertidur pulas. "Taman ini juga karya Sesshu," kata Makoto. Lalu dia dan Kenji duduk di lantai membelakangiku. Mereka menatap bebatuan dan pepohonan. Di kejauhan, air terjun bergemuruh, dan dua ekor burung merpati saling bersahutan. Kenji selalu memberi pendapat atau bertanya soal taman, dan Makoto menjawabnya. Lama-kelamaan percakapan mereka tidak berujung pangkal dan akhirnya mereka terlihat mengantuk. Hanya ditemani tinta, kertas, dan lukisan yang luar biasa ini, membuat aku bisa berkonsentrasi dan kesadaranku tercabut mirip seperti perasaanku yang datang tadi malam. Aku dalam keadaan setengah sadar. Hal ini membuatku agak sedih karena ternyata keahlian yang Tribe miliki juga ada dalam bidang seni. Ada keinginan kuat dalam diriku untuk tinggal di tempat ini selama sepuluh tahun, seperti yang dilakukan si pelukis besar Sesshu, dan aku pun ingin selalu melukis hingga hasil lukisanku bisa hidup dan terbang jauh. Karena merasa tidak puas dengan hasil tiruanku, aku lalu melukis burung bersayap putih yang sedang terbang. Aku menyatu dengan lukisanku, meski aku masih dapat mendengar pembicaraan Lord Shigeru dengan biarawan tua itu. Aku tidak serius mendengarkan pembicaraan mereka: Kurasa dia sedang mencari nasihat spiritual, sesuatu yang pribadi. Tapi pembicaraan mereka jatuh tepat ke telingaku, dan lambat-laun menjadi jelas kalau pembicaraan mereka sangat berbeda dari apa yang kuduga. Mereka membahas pungutan pajak yang baru diberlakukan, kebebasan yang terbatas, rencana Iida untuk menghancurkan biara, pelatihan ribuan biarawan untuk menjadi prajurit, dan keinginan untuk mengambil alih kekuasaan Tohan atas kota ini. Aku menyeringai sambil menyesali diri. Pendapatku tentang biara sebagai tempat yang damai, dan jauh dari perang, ternyata salah. Para biarawan di sini tidak berbeda dengan kami, sama-sama telah dirasuki dendam. Aku melukis lagi satu lukisan tiruan kuda, dan merasa lebih puas dengan hasil karyaku yang satu ini. Aku menangkap satu kekuatan membara di tempat ini. Roh Sesshu seakan menyentuhku. Kemudian aku mendengar suara lain yang membuat jantungku berdebar, suara Kaede. Para wanita dan Abe sedang mendaki anak tangga di gerbang kedua. Aku berbisik kepada Kenji, "Ada yang datang." Makoto langsung berdiri dan menggeser alas duduknya dengan perlahan. Tak lama kemudian, biarawan tua dan Lord Shigeru berjalan ke aula, tempat aku menyelesaikan tiruan lukisan kuda. "Ah, ternyata Sesshu berbicara padamu!" kata biarawan tua seraya tersenyum. Aku berikan lukisanku pada Shigeru. Dia duduk sambil menatap lukisanku ketika Lady Maruyama, Kaede dan Abe datang bergabung. Si pengawal Tohan segera bangkit dan berpura-pura kalau dia tadi tidak tidur. Pembicaraan lalu beralih hanya soal lukisan dan taman. Lady Maruyama meneruskan usahanya untuk memberi perhatian khusus pada Abe, dia bertanya dan memuji sampai Abe tertarik dengan topik pembicaraannya. Kaede menatap lukisan burung yang kubuat. "Boleh aku memilikinya?" pintanya. "Boleh saja bila kau menyukainya, Lady Shirakawa," jawabku. "Aku khawatir lukisanku ini tidak ada yang mau." "Lukisanmu sangat bagus," katanya dengan suara rendah. "Membuat aku berpikir tentang kebebasan." Tinta lukisan cepat mengering karena cuaca yang panas. Aku gulung lukisan burung itu lalu kuberikan padanya, jariku menyentuh jarinya. Inilah pertama kalinya kami bersentuhan. Kami terdiam. Nyanyian jangkrik melengking tinggi. Aku lelah. Aku pusing karena kurang tidur dan terbawa emosi yang mendalam. Jariku seperti kehilangan keseimbangan dan gemetar saat aku merapikan alat lukis. "Mari kita jalan jalan di taman," ajak Shigeru, dan memboyong para wanita ke luar. Aku merasa kalau biarawan tua itu sedang menatapku. "Datang lagi kemari," katanya, "Saat semuanya telah berakhir. Akan selalu ada tempat bagimu di sini." Aku memikirkan semua kekacauan, dan biara ini nampak berubah, keinginan berperang telah merasuki biara ini. Sesungguhnya tempat ini penuh kedamaian: pohon-pohon berdiri tenang selama ratusan tahun, Sang Pencerah duduk di antara lilin dengan tersenyum tulus. Tapi, bahkan di tempat damai ini pun, orang pencinta damai sedang bersiap untuk berperang. Aku tak akan pernah bisa menyendiri untuk melukis dan merancang taman sebelum Iida mati. "Akankan ini berakhir?" balasku. "Semua yang berawal, pasti akan berakhir," ujarnya. Aku menyembah di depan orang tua ini, dan dia menyentuh kepalaku dengan kedua tangannya sambil memberi pemberkatan. Makoto berjalan ke taman bersamaku. Dia menatapku dengan tatapan yang aneh. "Seberapa banyak yang kaudengar?" dia bertanya perlahan. Aku melihat ke sekelilingku. Pengawal Tohan sedang bersama Shigeru di puncak anak tangga. "Kau bisa mendengar pembicaraan mereka?" Dia mengira-ngira jaraknya, lalu berkata, "Bila mereka berteriak." "Aku mendengar setiap kata-kata mereka. Mereka sedang makan di bawah sana. Aku bisa mengatakan jumlahnya." Kemudian, aku terkejut karena suara-suara itu terdengar sangat riuh. Makoto tertawa singkat, kagum dan juga memuji. "Seperti pendengaran anjing?" "Ya, seperti anjing," ulangku. "Sangat berguna bagi tuanmu." Perkataannya mengusik hatiku. Aku memang berguna bagi tuanku: bagi Shigeru, Kenji, dan Tribe. Aku terlahir dengan bakat yang kelam. Aku tidak pernah memintanya, tapi aku tak mampu menahan diri untuk tidak menguji atau mengasahnya. Tanpa itu semua, aku pasti sudah mati. Dengan bakat ini pula aku ditarik ke dunia yang penuh dengan kebohongan, kesuraman dan dendam. Aku bertanya-tanya, seberapa banyak yang Makoto tahu, dan berharap aku bisa membagi perasaanku dengannya. Secara naluri, aku menyukainya-lebih dari sekedar suka: aku mempercayainya. Sayang, bayangan berangsur-angsur memanjang: hari telah senja. Kami harus segera ke Yamagata sebelum malam. Tak ada waktu lagi untuk berbincang dengannya. Ketika menuruni anak tangga, aku melihat kerumunan orang, mereka berkumpul di luar penginapan. "Mereka kemari untuk merayakan Festival of the Dead?" tanyaku pada Makoto. "Sebagian," jawabnya, lalu dia berbisik kepadaku, "Tapi, sebagian besar mereka datang karena mendengar Lord Otori ada di sini. Mereka belum lupa keadaain sebelum perang Yaegahara. Begitu juga kami di sini." "Selamat tinggal," kata Makoto sewaktu aku menunggangi Raku. "Kita akan berjumpa lagi." Di jalan setapak maupun di jalan besar, keadaan sama seperti biasa. Banyak orang yang keluar rumah dan tampaknya mereka ingin melihat Lord Shigeru secara langsung. Sewaktu kami lewat, mereka langsung menyembah dengan hening. Mereka mengiringi kepergian kami dengan tatapan sedih, mata mereka tampak berkaca-kaca. Kedua pengawal Tohan sangat marah, tapi tidak ada yang dapat mereka lakukan. Meskipun mereka berkuda jauh di depan, tetap saja aku bisa mendengar percakapan berbisik mereka, seakan-akan kata-kata itu menetes ke telingaku. "Apa yang Shigeru lakukan di biara?" tanya Abe. "Sembahyang, berbicara dengan biarawan. Kami diperlihatkan beberapa karya Sesshu, anak itu pun sempat membuat beberapa lukisannya." "Aku tidak peduli apa yang dilakukan anak itu! Apakah Shigeru hanya berdua dengan biarawan?" "Tidak lama," pengawal Tohan itu berbohong. Kuda tunggangan Abe meloncat. Dia pasti telah menyentak tali kekang dengan sangat marah. "Shigeru tidak merencanakan apa pun," kata pemuda Tohan itu dengan suara mengambang. "Semuanya terjadi seperti apa yang terlihat. Lagi pula, dia kan hendak menikah. Aku tidak melihat alasan mengapa kau cemas. Mereka tidak berbahaya. Mereka itu bodoh juga penakut-dan tak berbahaya." "Kau bodoh bila menganggap seperti itu," geram Abe. "Shigeru jauh lebih berbahaya dari yang terlihat. Dia bukan penakut. Dia memiliki kesabaran. Dan tak seorang pun di Tiga Wilayah ini yang memiliki pengaruh seperti dia!" Sejenak mereka membisu, lalu Abe menggerutu, "Begitu melihat tanda-tanda dia berkhianat, kita langsung bertindak." Kata-kata Abe berhembus ke telingaku di sore hari, di musim panas yang sempurna ini. Ketika sampai di sungai, hari menjelang senja, cahaya biru bersinar dari kunang-kunang di sela-sela ilalang. Di tepi sungai, kembang api mulai dinyalakan untuk memperingati malam kedua Festival of the Dead. Malam sebelumnya penuh dengan kedukaan dan ketegangan, dan malam ini suasana kian liar. Seperti arus terpendam yang bergejolak dan marah. Jalanan penuh sesak, kerumunan semakin banyak di tepi sungai. Semua orang berdiri menatap pintu gerbang kastil. Ketika melewati gerbang kastil, kami melihat ada empat kepala yang digantung di gerbang. Keranjang untuk mengurung orang Hidden telah diturunkan dari dinding. "Mereka mati begitu cepat," kata Lord Shigeru. "Mereka sangat beruntung." Aku tak membalas ucapannya. Aku sedang memperhatikan Lady Maruyama. Sekilas dia menatap kepala-kepala itu, namun segera berpaling ke tempat lain. Wajahnya pucat, walaupun tetap tenang. Aku bertanya, tanya apa yang ada di benaknya bila dia sedang berdoa. Kerumunan mulai gaduh dan mereka saling mendorong seperti hewan-hewan yang sedih di tempat pemotongan, ketakutan pada bau darah dan kematian. "Jalan saja terus," kata Kenji. "Aku akan mencarl tahu rumor tentang peristiwa ini. Kita bertemu di penginapan. Kalian tetap di kamar." Dia memanggil salah seorang penjaga kuda, lalu dia turun dari kuda dan memberikan tali kekangnya pada orang itu, kemudian menghilang di balik kerumunan. Saat kami berbelok ke jalan lurus yang pernah aku lalui semalam, sekelompok pasukan Tohan yang berkuda dan membawa pedang mendatangi rombongan kami. "Lord Abe!" salah seorang di antara mereka memanggil. "Kami hendak mengosongkan jalan. Kota dalarn keadaan kacau. Bawa tamu ke penginapan dan perintahkan beberapa orang untuk berjaga-jaga di pintu." "Ada apa?" tanya Abe, menuntut penjelasan. "Semua penjahat mati semalam. Beberapa orang mengatakan ada malaikat datang dan mencabut nyawa mereka!" "Kehadiran Lord Otori tak akan mampu membantu dalam situasi seperti ini," kata Abe tajam saat dia menggiring kami ke penginapan. "Kita berangkat besok." "Festival belum berakhir," Shigeru mengingatkan. "Bepergian di hari ketiga hanya akan membawa sial." "Apa boleh buat! Bila ditunda justru akan lebih buruk." Abe menarik pedangnya dan kini pedang itu berdesis di udara saat dia berusaha mengibasnya ke kerumunan. "Menyingkir!" teriaknya. Keributan membuat Raku meloncat maju, dan tanpa disengaja lututku bersentuhan dengan lutut Kaede. Kuda kami berjalan bersisian seakan mereka saling memberi semangat. Mereka melangkah secara bersamaan. Sambil terus menatap ke depan, Kaede berbicara dengan suara pelan sehingga tak akan ada yang bisa mendengar dalam keriuhan ini, selain aku, "Kuharap kita bisa berdua saja. Aku ingin lebih mengenalmu. Aku bahkan tidak tahu siapa kau sebenarnya. Kenapa kau berpura-pura bodoh? Kenapa kau menyembunyikan kecerdasanmu?" Aku sangat senang bila dapat berkuda beriringan dengan Kaede untuk selamanya, hanya saja jalan ini terlalu sempit, dan aku juga takut menjawab pertanyaannya. Aku menghentakkan tali kekang kuda agar berjalan lebih cepat, seolah-olah tidak mengenalinya, meskipun jantungku berdebar keras mendengar perkataannya. Situasi seperti inilah yang kuimpikan, berduaan dengannya. Ingin kuungkapkan isi hatiku, dan ingin rasanya kulepaskan semua rahasia dan kebohongan yang ada, lalu berbaring di sisinya, kulitku bersentuhan dengan kulitnya. Mungkinkah ini terjadi? Andai saja Iida mati. Ketika tiba di penginapan, aku mencari penjaga kuda. Pengawal Otori yang berjaga-jaga di belakang penginapan menyapaku dengan lega. Mereka mencemas kan keselamatan kami. "Kota ini sedang bergejolak," kata salah seorang di antara mereka. "Satu orang saja salah bergerak, perkelahian pasti terjadi." "Apa yang kaudengar?" tanyaku. "Tentang orang Hidden yang disiksa para bajingan itu. Ada yang membunuh mereka semalam. Luar biasa! Banyak yang mengatakan bahwa malaikat yang melakukan itu!" "Mereka tahu kedatangan Lord Otori," tambah yang lain. "Mereka masih menganggap diri mereka sebagai penduduk Otori. Kurasa mereka sudah muak dengan perilaku orang Tohan." "Kita bisa menguasai kota ini seandainya kita ada seratus orang," gerutu pengawal yang tadi menyapaku. "Jangan bicara soal ini lagi. Tidak pada dirimu, atau kepadaku," aku memperingatkan mereka. "Kita tidak punya seratus pasukan. Kini kita dalam belas kasih Tohan. Kita seharusnya yang menjadi perekat persekutuan. Kita harus terlihat seperti sekutu mereka. Nyawa Lord Shigeru adalah taruhannya." Mereka masih menggerutu sambil menurunkan pelana, lalu memberi makan kuda. Aku merasakan semangat mereka yang membara, semangat untuk segera menuntaskan semua penghinaan dan untuk membalas dendam. "Jika ada di antara kalian yang menghunuskan pedang pada orang Tohan, nyawanya menjadi urusanku!" Mereka tidak terkesan pada perkataanku. Mungkin mereka tahu tentang diriku lebih banyak dibanding Abe dan anak buahnya, tapi tetap saja mereka menganggap aku Takeo muda yang terpelajar, gemar melukis, tak cakap menggunakan pedang, terlalu baik hati, dan terlalu lembut. Anggapan bahwa aku dapat membunuh hanya akan membuat mereka menyeringai. Aku mencemaskan kecerobohan mereka. Seandainya terjadi perkelahian, maka pengawal Tohan pasti akan memanfaatkannya untuk menuduh bahwa Lord Shigeru berkhianat. Tak seorang pun boleh menghalangi kami pergi ke Inuyama. Setelah meninggalkan istal, kepalaku terasa sakit yang menusuk. Seperti tidak tidur berminggu-minggu. Aku pergi ke tempat permandian. Gadis pelayan yang tadi pagi membawakan aku teh dan hendak mencuci pakaianku sedang di sana. Dia menggosok punggungku dan memijat pelipisku. Gadis itu pergi ketika aku berendam di air panas, tapi sebelum pergi dia berbisik, "Kau melakukannya dengan sangat bagus." Semula aku hampir tertidur, namun perkataannya membuatku langsung terbangun. "Melakukan apa?" tanyaku, tapi dia telah menghilang. Merasa tidak tenang, aku langsung ke luar dari bak mandi dan balik ke kamar, sakit kepala masih terasa menusuk. Kenji sudah datang. Aku dengar dia sedang berbincang pelan dengan Shigeru. Mereka terdiam saat aku datang, keduanya menatapku. Dari wajah mereka aku sadar kalau mereka sudah tahu yang sebenarnya. Kenji bertanya, "Bagaimana?" Kupasang telingaku. Penginapan ini sunyi-senyap, para pengawal Tohan masih di jalan. Lalu aku berkata lirih, "Dua orang dengan racun, satu dengan garrotte, satu lagi dengan tanganku." Kenji menggeleng-gelengkan kepala. "Sulit dipercaya. Di balik dinding kastil? Hanya sendiri?" "Aku tidak mengingatnya. Kupikir kau akan marah," jawabku. "Aku marah," jawabnya. "Lebih dari marah-aku berang karena perbuatan idiotmu itu. Seharusnya kau dikubur hidup-hidup sekarang ini juga demi menegakkan aturan." Aku memasang badan untuk menerima pukulannya. Namun ternyata dia tidak memukulku, dia bahkan memelukku. "Aku bangga padamu," katanya. "Aku takut kehilangan dirimu." "Tidak kusangka kau mampu melakukan itu," kata Shigeru. . Tampaknya dia tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum, "Akhirnya rencana kita akan berhasil!" "Orang-orang mengatakan bahwa yang melakukan itu pastilah Shintaro," kata Kenji, "Walaupun tidak ada orang yang tahu siapa yang menyuruhnya atau apa alasannya." "Shintaro sudah mati," kataku. "Tak banyak orang yang tahu tentang itu. Lagi pula, banyak yang berpendapat bahwa pembunuhnya adalah roh dari surga." "Ada orang yang melihatku, dia adalah saudara dari orang yang mati itu. Dia sempat melihat sosokku yang kedua, dan pada saat sosok keduaku menghilang, dia mengira aku malaikat." "Orang itu tidak tahu dirimu sebenarnya. Kejadiannya di saat gelap, dia tak melihatmu dengan jelas. Dia benar-benar mengira kau adalah malaikat." "Mengapa kau lakukan itu, Takeo?" tanya Lord Shigeru. "Mengapa kau ambil resiko?" Lagi-lagi, aku tak ingat. "Aku tidak tahu, aku hanya tidak bisa tidur.... " "Itu karena kelembutan hatinya," kata Kenji. "Dia lakukan itu karena rasa kasihan." "Ada seorang gadis di penginapan ini," kataku, "Sepertinya dia tahu sesuatu. Tadi pagi dia mengambil pakaianku yang basah, dan baru saja dia mengatakan... " "Gadis itu orang kita," Kenji menyela, dan segera saja aku sadar kalau gadis itu adalah anggota Tribe. "Tentu saja Tribe sudah curiga. Mereka tahu cara Shintaro mati. Mereka tahu kau ada di sini bersama Lord Shigeru. Tak ada yang percaya kau bertindak tanpa ketahuan, namun Tribe tahu bahwa tidak ada orang lain yang mampu melakukan itu." "Bisakah ini dirahasiakan?" tanya Shigeru. "Tidak akan ada orang yang menyerahkan Takeo pada Tohan, jika itu maksudmu. Orang-orang Tohan juga tidak mencurigaimu. Kau sungguh pintar berpura-pura," kata Kenji padaku. "Bahkan, hingga hari ini, aku masih menganggapmu dungu." Shigeru kembali tersenyum. Kenji terus berbicara, nada suaranya yang santai terdengar seperti dibuat-buat. "Hanya saja, Shigeru, aku tahu rencanamu; aku tahu Takeo setuju membantumu untuk membunuh mereka. Tapi setelah itu, aku tak yakin Tribe akan mengijinkan Takeo bersamamu lebih lama lagi. Mereka pasti akan datang menjemput Takeo." "Kita hanya butuh waktu seminggu lagi," ujar Shigeru lirih. Aku merasakan kegelapan menjalar di tubuhku seperti tinta hitam yang membasahi nadiku. Aku menatap Lord Shigeru-tindakan yang jarang sekali kulakukan. Kemudian kami berdua pun tersenyum. Belum pernah kami sedekat ini, bahkan di saat kami berdua sepakat untuk membunuh Iida beberapa waktu lalu. Di luar sana aku mendengar teriakan, tangisan, langkah orang yang berlari, derap kuda, percikan api, kegaduhan, dan jeritan. Pasukan Tohan sedang mengosongkan jalan, memberlakukan jam malam. Tak lama kemudian, kegaduhan mulai reda dan malam di musim semi ini kembali tenang. Bulan mulai menampakkan diri, menyinari kota dengan cahayanya. Aku mendengar derap kaki kuda masuk ke halaman penginapan, dan juga suara Abe. Disusul langkah halus pelayan yang mendekati pintu sambil membawa nampan berisi hidangan makan malam. Salah seorang di antara mereka adalah gadis yang tadi berbicara padaku. Dia tetap melayani kami setelah pelayan yang lain keluar. Dia berkata pelan pada Kenji, "Lord Abe sudah kembali, tuan. Akan ada tambahan penjagaan. Pengawal Otori akan diganti dengan pengawal Tohan." "Mereka pasti tak akan menyukainya," kataku, teringat kegelisahan para pengawal Otori tadi. "Ini provokatif," gerutu Shigeru. "Apakah mereka mencurigai kita?" "Lord Abe marah dan panik karena kekerasan yang terjadi di kota malam ini," jawab gadis itu. "Menurutnya, ini semua untuk melindungimu." "Bersediakah kau sampaikan pada Lord Abe untuk menemuiku dulu?" Gadis itu membungkuk lalu pergi. Kami makan dalam suasana hening. Setelah selesai makan, Shigeru berbicara tentang lukisan Sesshu. Dia membentangkan gulungan kertas berisikan lukisan kuda yang kubuat. "Lukisan ini bagus," ujarnya. "Tiruan yang sangat mirip. Sesuatu dalam dirimu tercermin dalam lukisan ini. Kau bisa menjadi seniman yang hebat... " Dia tidak melanjutkan, tapi aku juga memikirkan hal yang sama, Andaikan aku hidup di dunia yang berbeda, dalam kehidupan yang berbeda, di wilayah yang tidak dikuasai oleh nafsu perang. "Taman di biara amat indah" kata Kenji. "Meskipun tidak luas, namun lebih mempesona dibanding lukisan Sesshu." "Aku setuju," kata Lord Shigeru. "Tentu saja, apalagi ditambah dengan pemandangan Terayama yang begitu indah." Aku mendengar langkah Abe mendekat. Ketika pintu terbuka, aku langsung mengalihkan pembicaraan, "Maukah kau jelaskan tentang penempatan batu-batu di biara tadi, guru." "Lord Abe," sapa Shigeru. "Silahkan masuk." Dia lalu memanggil pelayan, "Bawakan kami teh segar dan sake." Abe membungkuk acuh tak acuh dan bersila di atas alas duduk. "Aku tak akan lama; aku pun belum makan, dan kita harus berangkat pagi sekali." "Kami sedang membicarakan tentang Sesshu," ujar Shigeru. Sake telah dihidangkan, dan Shigeru pun menuangkan sake ke cangkir Abe. "Dia seniman besar," kata Abe sepakat sambil minum sake. "Tapi di saat genting seperti ini, seniman tak begitu penting dibanding prajurit." Dia memberi tatapan mengejek ke arahku. Ini membuatku bertambah yakin penyamaranku masih aman. "Kini kota sudah tenang, tapi situasinya masih berbahaya. Kurasa anak buahku bisa melindungi kalian dengan lebih baik." "Prajurit memang sangat diperlukan," ujar Shigeru. "Itu sebabnya aku lebih suka bila pengawalku yang berada di dekatku." Suasana menjadi hening, perbedaan mereka berdua amat mencolok. Abe hanyalah seorang bangsawan biasa. Sedangkan Shigeru adalah keturunan langsung dari klan yang telah berkuasa sejak lama. Walaupun enggan, tapi akhirnya Abe pasti akan menyetujuinya. Abe menekan keras bibir bawahnya. "Bila itu kehendak Lord Otori..." akhirnya dia pun menyerah. "Tentu saja." Shigeru tersenyum tipis dan menuangkan lebih banyak sake. Setelah Abe pergi, Lord Shigeru berkata, "Takeo dan pengawal berjaga-jaga malam ini. Beri kesan bahwa di luar sana ada gangguan. Aku sebenarnya setuju untuk mengalihkan penjagaan pada Abe, sebagai hukuman bagi pengawal Otori. Hanya saja, aku takut mereka memberontak terlalu dini. Tujuan kita sudah begitu dekat." Hanya itu yang kupikirkan, bukan perkataan Kenji bahwa Tribe akan menuntut haknya atas diriku. Aku hanya memusatkan perhatian pada Iida Sadamu yang berada di Inuyama. Akan aku buru dia dengan melintasi nightingale floor. Dan akan kubunuh dia. Dengan memikirkan Kaede, tekadku justru makin bulat. Aku tak perlu sepintar Ichiro untuk mengetahui bahwa kalau Iida mati sebelum pernikahan, maka Kaede bebas menikah denganku.* SEMBILAN KEESOKAN hari kami bangun pagi-pagi dan sudah memulai perjalanan saat fajar menyingsing. Cuaca berawan hari kemarin lenyap tanpa bekas; hari ini cuaca gerah dan panas. Penduduk dilarang berkumpul, pasukan Tohan pun memaksakan aturan dengan pedang. Mereka menebas mati seorang pemulung karena berani berhenti dan memandangi iring-iringan kami. Mereka juga memukul seorang wanita tua yang tidak segera menyingkir dari jalan. Sudah cukup kesialan bagi kami karena melakukan perjalanan pada hari ketiga Festival ofthe Dead. Tindakan pasukan Tohan yang kejam dan dinodai darah kematian tampak menambah pertanda buruk perjalanan kami ini. Rombongan wanita dibawa dalam tandu sehingga aku sulit melihat Kaede hingga waktu makan siang. Aku tidak sempat berbicara dengannya, namun aku kaget ketika melihatnya. Dia begitu pucat, kulitnya tembus pandang, dan ada lingkaran hitam di sekitar matanya. Hatiku bagai terpilin melihatnya. Semakin lemah dia, semakin tinggi cintaku. Lord Shigeru menyatakan pada Shizuka tentang keprihatinannya melihat kondisi Kaede yang kian lemah. Shizuka mengatakan bahwa gerakan tandu yang memhuat Kaede tidak nyaman-hanya itu saja-tapi matanya mengedip kepadaku, aku tahu pesan yang ingin dia sampaikan. Rombongan kami berjalan dalam keheningan, semua orang sibuk dengan pikirannya masing-masing. Para pengawal terlihat tegang dan lekas marah. Panas terasa menyengat. Hanya Lord Shigeru yang tenang, bicaranya ringan dan riang, seakan-akan dia sangat mendambakan pernikahan ini. Semakin jauh ke timur, semakin sedikit kerusakan akibat badai. Kondisi jalan kian membaik saat kami mendekati ibukota, dan setiap hari kami menempuh jarak yang lebih jauh lagi. Pada sore hari kelima, kami akhirnya tiba di Inuyama. Iida menetapkan kota di daerah timur ini sebagai ibukota setelah perang Yaegahara, dan membangun sebuah kastil yang kokoh. Kastil ini mendominasi kota dengan dindingnya yang berwarna hitam dan celah dinding yang bernuansa putih, atapnya menjulang tinggi hingga seperti menyentuh langit. Saat berkuda ke kastil, aku mengamati bangunan kastil, mengukur tinggi pintu gerbang dan dinding, mencari tempat pijakan kaki di permukaan pintu dan dinding... di situ aku akan menghilangkan diri, di situ aku perlu menggunakan pengait besi... Aku tidak membayangkan kalau kota ini begitu luas sehingga perlu banyak pengawal untuk menjaga kastil dan bangunan di sekitar kastil. Abe memperlambat jalan kudanya sehingga sejajar denganku, akulah korban yang paling dia sukai. Dia tidak segan mengolok-olok atau mengejekku. "Ini yang namanya kekuatan, anak muda. Ini dapat kau peroleh bila menjadi ksatria. Ini membuat lukisan dan kuasmu terlihat sangat lemah, eh?" Aku tidak keberatan pada anggapan Abe, selama dia tidak mencurigaiku. "Inilah kastil paling mengesankan yang pernah kulihat, Lord Abe. Aku berharap dapat mempelajari bangunan ini lebih dekat, termasuk arsitektur dan karya seninya." "Kuyakin 'keinginanmu bisa terkabul," ucapnya, dia terlihat cukup siap untuk berlagak seperti pelindung karena dia telah kembali dengan aman di kotanya. "Nama Sesshu masih hidup hingga kini," aku menjelaskan, "Sedangkan semua ksatria yang hidup di masanya telah dilupakan." Abe tertawa, "Tapi kau bukan Sesshu, kan?" Perkataannya membuatku kesal, tapi tanpa perlawanan aku menyetujuinya. Dia tidak mengetahui diriku yang sebenarnya, hanya itu yang membuatku tenang. Kami diantar ke sebuah rumah yang letaknya tidak jauh dari parit yang mengelilingi kastil. Rumah yang sangat megah. Banyaknya pernak-pernik menunjukkan kesungguhan Iida untuk merayakan pesta pernikahan Shigeru dan niatnya untuk bersekutu dengan Otori. Berbeda dengan kami, rombongan wanita dibawa ke rumah Iida yang terletak di dalam kastil. Anak Lady Maruyama juga tinggal di tempat itu. Aku tidak bertemu Kaede lagi, tapi saat di tandu, dia membiarkan tangannya terlihat sejenak dari balik tirai tandu. Ia memegang gulungan kertas yang aku berikan, lukisan burung kecil yang menurutnya bisa membuat dia memikirkan tentang kebebasan. Gerimis di sore hari mulai turun, menyamarkan garis siluet bangunan kastil, membuat atap dan jalan yang berbatu nampak berkilauan. Dua angsa terbang dengan kepakan sayap yang teratur, lalu hilang dari pandangan, tapi masih dapat kudengar teriakan sedih mereka. Abe datang ke tempat kami menginap dengan membawa hadiah pernikahan dan pesan selamat datang yang dibumbui puja-puji dari Iida. Aku lantas mengingatkan Abe akan janjinya untuk menunjukkan kastil, kuganggu dia dan aku ingatkan tentang olok-oloknya tadi siang sampai akhirnya dia setuju untuk memenuhi janjinya esok hari. Aku dan Kenji mengikuti Abe keesokan harinya, dan dengan penuh perhatian aku mendengar dan menggambar. Abe, yang mulai jemu, menyuruh salah seorang pengawalnya untuk menemani kami berkeliling kastil. Selagi menggambar pohon, taman, dan berbagai pemandangan lain, aku mengamati kastil ini, memperhitungkan jarak antara gerbang utama dan gerbang kedua (mereka menyebutnya Gerbang Intan), dari Gerbang Intan ke bailey dalam, dan dari bailey ke rumah Iida. Sungai mengalir di sepanjang sisi sebelah timur; keempat sisi kastil dikelilingi parit. Sambil menggambar, aku mendengarkan dan mengira-ngira posisi pengawal, yang terlihat dan yang tersembunyi, serta menghitung jumlah mereka. Kastil ini penuh dengan berbagai jenis orang: pasukan perang dan penjaga, pandai besi, pembuat panah dan baju besi, beberapa pengurus kuda, juru masak, dan segala macam pelayan. Aku ingin tahu ke mana mereka pergi bila hari telah malam. Pengawal yang menemani kami lebih banyak bicara dibanding Abe, dia sangat membanggakan Iida, dan dengan lugti dia terkesan pada hasil lukisanku. Kulukis sketsa dirinya dengan cepat, lalu kuberikan kepadanya. Akhir-akhir ini aku sudah dapat melukis orang, dan pengawal itu memegang lukisan itu seperti dia sedang memegang jimat. Setelah itu dia menunjukkan lebih banyak dari yang seharusnya dia tunjukkan, termasuk ruangan rahasia yang menjadi pos penjaga, jendela pengintai, dan juga rute yang dilalui oleh penjaga yang berpatroli di malam hari. Kenji tidak banyak bicara, selain sesekali mengkritik lukisanku dan membetulkan goresan kuasku. Aku bertanya-tanya apakah dia akan menemaniku ke kastil ini nanti. Aku sempat merasa tak ada yang dapat kulakukan tanpa dia, tapi kemudian aku sadar akan keinginanku untuk melakukannya sendiri saja. Sesampai di menara utama, pengawal Tohan itu mengajak kami masuk. Kami diperkenalkan pada pimpinan penjaga, dan diijinkan naik melalui anak tangga kayu yang curam ke lantai yang paling atas. Pilar-pilar kokoh yang menyangga menara utama ini tingginya kira-kira dua puluh satu meter. Semua pilar di sini ibarat pohon yang ada di hutan, sungguh tinggi pucuk pohon ini, dan betapa gelap bila berada di bawahnya. Balok-balok kayu masih terlihat corak aslinya, seolaholah siap tumbuh. Kastil ini terasa seperti makhluk gaib yang berdiri tegak dan siap menyerang. Dari puncak menara, di bawah tatapan curiga para pengawal yang sedang berjaga, kami dapat melihat seluruh kota. Di utara menjulang gunung yang dulu aku dan Shigeru lewati, dan di balik gunung itulah terbentang dataran Yaegahara. Sedangkan di sebelah tenggara terhampar tanah kelahiranku, Mino. Udara berkabut dan tenang, nyaris tanpa hembusan angin. Selain gelap, menara ini terasa panas mencekik. Keringat di wajah penjaga berkilauan saat terkena sinar matahari, dan mereka nampak tidak nyaman karena beratnya baju besi yang mereka pakai. Jendela menara di sebelah selatan menghadap ke menara kedua yang lebih rendah, yaitu rumah Iida. Rumah itu didirikan di atas kubu pertahanan yang luas dan hampir berbatasan langsung dengan parit. Di sebelah ti ur ada lahan yang luasnya sekitar seratus meter, dan di sana terdapat sungai besar yang mengalir dengan deras, gelombangnya semakin besar bila ada angin kencang. Di atas kubu itu berjejer banyak jendela kecil, pintu rumah Iida menghadap ke barat. Atap yang melandai dengan anggunnya menaungi beranda, dan dari atas sini terlihat taman kecil yang dikelilingi dinding bailey kedua. Pemandangan itu tak akan terlihat dari bawah, namun dari sini kami bisa melihat ke bawall ibarat elang yang sedang terbang mencari mangsa. Di sisi yang berlawanan dari bailey sisi barat laut terletak dapur dan beberapa ruangan lainnya. Mataku terus berjalan dari sudut istana Iida ke tempat lainnya. Sebelah barat kastil begitu indah dan nyaris menonjolkan kelembutan, tapi di sebelah timur kastil memperlihatkan kekejaman dan kekuatan, apalagi ada rantai besi di dinding, di bawah jendela menara. Di situ ada banyak rantai. Menurut penjaga, rantai-rantai besi itu digunakan untuk menggantung musuh. Penderitaan si korban akan membuat Iida puas. Ketika menuruni anak tangga, aku mendengar para penjaga mengolok-olok kami, dan Otori yang selalu dijadikan korban: menurut mereka, laki-laki Otori lebih suka anak laki-laki daripada wanita di tempat tidur, lebih suka makan enak daripada berperang, dan lemah karena lebih suka mandi air panas yang telah dikencingi. Tawa parau mereka bergema di belakang kami. Merasa malu, pengawal yang menemani kami meminta maaf. Setelah meyakinkan dia bahwa kami tidak tersinggung, aku berdiri sejenak di pintu bagian dalam bailey, berpura-pura mengagumi keindahan bunga morning glory yang merambat di dinding dapur. Aku mendengar berbagai bunyi yang biasa berasal dari dapur; desisan air mendidih, gemerincing pisau baja, bunyi tumbukkan dari orang yang sedang membuat kue nasi, teriakan juru masak dan teriakan melengking dari gadis yang sedang bercakap-cakap. Selain bunyi-bunyian itu aku juga mendengar sesuatu dari balik dinding taman. Aku langsung tahu bunyi itu: langkah kaki orang yang melintasi nightingale floor. "Kau mendengar bunyi yang aneh?" aku bertanya dengan polosnya pada Kenji. Kenji mengerutkan dahi, "Bunyi apa itu?" Pengawal itu pun tertawa. "Itu bunyi nightingale floor." "Nightingale floor?" ujarku dan Kenji bersamaan. "Ya, lantai yang bisa bernyanyi. Jangankan orang, kucing pun tidak dapat melintasi lantai itu tanpa menimbulkan bunyi yang mirip burung mencicit." "Kedengarannya seperti sihir," kataku. "Seperti itulah," balas si pengawal sambil menertawai kepercayaanku pada sihir. " Apa pun namanya, lantai itu yang membuat Lord Iida bisa tidur nyenyak." "Mengagumkan! Aku ingin melihatnya," ujarku. Dengan wajah yang masih tersenyum, pengawal itu mengajak karni mengitari bailey menuju sebelah selatan di mana pintu taman terbuka lebar. Pintu itu tidak tinggi tapi ada lapisan yang amat kokoh, dan anak tangganya sangat curam sehingga dapat dengan mudah mengalahkan musuh yang masuk. Dari gerbang ini kaml memandang bangunan di atasnya. Semua daun jendela terbuat dari kayu dan dalam keadaan terbuka. Dari sini bisa kulihat lantai kokoh berkilauan yang terhampar di sekeliling rumah Iida. Tampak iring-iringan para pelayan sedang membawa nampan makanan karena hari telah siang, mereka melepas sandal, lalu melintasi lantai. Begitu mendengar bunyi lantai itu, aku langsung putus asa. Lantai ini empat kali lebih besar dari lantai yang ada di Hagi dan bunyinya pun sangat rumit. Apalagi aku tak sempat berlatih. Hanya ada satu kesempatan untuk dapat menaklukkan lantai ini. Aku berdiri cukup lama, berseru kagum sambil berusaha membedakan setiap bunyi dan juga berusaha mendengar suara Kaede yang menginap di rumah ini, tapi aku tak mendengar suaranya. Akhirnya Kenji berkata, "Ayo pulang! Aku sudah lapar. Lord Takeo bisa melihat lantai ini lagi besok saat dia menemani Lord Otori." "Apa kita akan ke kastil ini besok?" "Lord Otori akan menjumpai Lord Iida besok sore," ujar Kenji. "Tentu saja Lord Takeo akan ikut bersamanya." "Sungguh menyenangkan," balasku, jantungku berdebar mendengar kemung-kinan itu. Saat kami kembali ke penginapan, Lord Shigeru sedang mengamati beberapa kimono pernikahannya. Semuanya berserakan di karpet, mewah, berwarna cerah, dibordir dengan lambang keberuntungan dan keabadian: buah plum, bangau putih, dan kura-kura. "Kedua pamanku yang mengirimkan ini," ucapnya. "Apa pendapatmu tentang kimono ini, Takeo?" "Berlebihan," jawabku, muak atas kepura-puraan kedua paman Shigeru. "Mana yang sebaiknya kupakai?" Dia mengambil kimono dengan bordir buah plum, dan orang yang membawa kimono ini membantu Shigeru memakainya. "Yang itu kelihatannya bagus," kata Kenji. "Dan kini waktunya kita makan." Lord Shigeru tetap berdiri seakan tak mau pergi, lalu dia menyentuh kain yang indah itu, mengagumi kehalusan bordirnya. Meskipun hanya diam, tapi ada sesuatu di wajahnya: penyesalan, mungkin, atas pernikahan yang tak akan terjadi, dan mungkin juga, tentang nasibnya. "Aku akan memakai yang ini," katanya sambil melepas kimono dan menyerahkan pada laki-laki pembawa kimono itu. "Sungguh pilihan yang tepat," ucap orang itu lirih. "Tak banyak orang yang setampan Lord Otori." Shigeru tersenyum tulus tanpa menanggapi, dia pun diam selama makan. Kami semua diam, terlalu tegang untuk membicarakan hal remeh, dan terlalu waspada akan kemungkinan adanya mata-mata bila kami membicarakan hal lain. Aku merasa lelah dan gelisah. Panasnya sore memaksaku untuk tetap di rumah. Walaupun semua pintu terbuka lebar ke taman, namun tidak ada angin yang berhembus ke ruangan ini. Sambil terkantuk aku berusaha mengingat bunyi nightingale floor tadi. Di saat yang sama, suara-suara di taman, serangga yang berdengung, dan gemuruh air terjun seakan membasuh sekujur tubuhku, membuatku setengah terjaga, membuatku berpikir kalau aku sedang berada di Hagi. Menjelang malam, hujan turun dan udara agak dingin. Kenji dan Shigeru larut dalam permainan Go*, Kenji memainkan yang hitam. Aku pasti tertidur pulas karena tiba-tiba terbangun oleh langkah kaki di depan pintu dan aku mendengar pelayan menyampaikan pesan untuk Kenji. Kenji mengangguk, lalu pergi. Shigeru menatap kepergian Kenji, lalu kembali mengamati papan permainan, seakan dia hanya terpaku pada permainan itu saja. Aku berdiri, dan menatap ke papan permainan. Mereka sering bermain dan selalu saja Shigeru yang menang, namun sekali ini dia terancam kalah. Aku pergi ke pancuran untuk membasuh muka dan tanganku. Dan dengan perasaan terperangkap dan tertekan bila berada di kamar, aku melintasi taman ke arah pintu utama rumah penginapan dan melangkah ke jalan. Kenji berdiri di seberang jalan, sedang berbicara dengan seorang pemuda yang memakai pakaian yang biasa dipakai oleh pembawa pesan. Belum sempat aku mendengar pembicaraan mereka, Kenji telah melihatku dan dia langsung menyuruh orang itu pergi. Kenji lalu menyeberang jalan ke arahku, berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Dia terlihat seperti seorang guru yang tua dan tidak berbahaya. Dia berjalan tanpa menoleh padaku. Sebelum dia sempat melihatku tadi, aku dapat merasakan kalau sosok Muto Kenji yang asli muncul: kejam, sekejam Jato. Shigeru dan Kenji lalu bermain Go hingga larut malam. Aku tak sanggup melihat biji putih mulai terdesak, tapi aku tidak bisa tidur, pikiranku penuh dengan kejadian tadi, dan juga tingkah Kenji yang mencurigakan. Pagi dini hari Kenji telah pergi, dan pada saat dia pergi, Shizuka datang membawa hadiah pernikahan dari Lady Maruyama. Di balik bungkusan itu ada dua gulungan kertas. Salah satu surat itu dia diserahkan pada Shigeru. Lord Shigeru membacanya. Dia nampak tegang dan menonjolkan garis-garis kelelahan. Kemudian dia melipat dan memasukkan surat itu ke balik lengan kimononya. Lalu dia mengambil gulungan kertas yang kedua dan setelah menatap sekilas, dia serahkan kepadaku. Gambar dalam surat kurang jelas, tapi akhirnya aku tahu. Itu adalah denah ruangan di rumah Iida, dan dengan jelas ditunjukkan kamar tidur Iida. "Sebaiknya semua kertas itu langsung dibakar, Lord Otori," bisik Shizuka. "Tentu saja. Ada kabar lainnya?" "Boleh aku mendekat?" tanya Shizuka, dan berbisik di telinga Shigeru, hanya aku dan Shigeru yang bisa mendengarnya. "Arai telah masuk ke barat daya. Dia berhasil mengalahkan Noguchi dan kini sedang menuju ke Inuyama." "Iida tahu?" "Jika dia belum tahu, maka tidak lama lagi dia akan tahu. Iida punya banyak mata-mata." "Dan Terayama? Kau mendengar kabar tentang wilayah itu?" "Mereka yakin bisa merebut Yamagata tanpa perlawanan, begitu Iida..." Shigeru segera mengangkat tangan, dan Shizuka pun langsung diam. "Malam. ini, kalau begitu," ucapnya singkat. "Lord Otori," Shizuka membungkuk hormat. "Lady Shirakawa baik-baik saja?" tanya Shigeru, kembali dengan suara biasa, sambil bergerak menjauh dari Shizuka. "Kuharap dia akan membaik," balas Shizuka perlahan. "Dia tidak makan, juga tidak tidur." Detak jantungku sempat berhenti ketika Shigeru berkata malam ini. Tapi setelah itu, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, mengalirkan darah ke seluruh pembuluh darahku. Aku perhatikan denah itu sekali lagi, berusaha mengingatnya. Pikiran tentang Kaede, wajah pucatnya, lengannya yang rapuh, dan rambut hitamnya yang lebat membuatku bimbang. Aku berdiri dan berjalan ke pintu, berusaha menyembunyikan perasaanku. "Aku menyesal telah menyeretnya dalam bahaya," ujar Shigeru. "Justru dia yang cemas karena bisa membawa bencana bagimu," balas Shizuka, dan menambahkan dengan suara rendah, "kecemasannya pada dirimu adalah salah satu di antara beberapa kecemasan lain. Kini aku harus kembali padanya. Aku takut meninggalkan dia sendiri." "Apa maksudmu?" teriakku sehingga mereka langsung melihat kepadaku. Shizuka nampak bimbang. "Dia sering bicara tentang mati," jawab Shizuka, akhirnya. Ingin rasanya aku mengirim pesan untuk Kaede. Ingin rasanya aku berlari ke kastil dan menariknya keluar dari sana-membawanya ke tempat di mana kami berdua akan aman. Tapi, aku tahu kalau tidak ada tempat seperti itu, dan tak akan pernah ada, sebelum semua ini berakhir.... Sebenarnya aku juga ingin bertanya pada Shizuka tentang Kenji-apa rencananya, apa yang Tribe pikirkan saat ini-sayangnya, seorang pelayan datang membawa makan siang sehingga aku tak sempat berbicara dengan Shizuka. Selama makan, kami membicarakan tentang rencana kunjungan sore ini. Kemudian, Lord Shigeru menulis surat, sementara aku berusaha mempelajari gambar kastil yang kubuat kemarin. Aku sadar pada tatapan Lord Shigeru yang sering tertuju kepadaku dan aku merasakan keinginannya untuk berbicara lebih banyak, namun tak sepatah kata pun yang dia ucapkan. Aku duduk diam di lantai, memandangi taman di luar, membiarkan tarikan napasku melambat, masuk ke sisi kelam diriku yang selama ini bersemayam di tubuhku, membiarkan kegelapan diriku mengambil alih setiap otot, nadi, dan pembuluh darahku. Kini pendengaranku semakin tajam. Aku dapat mendengar keriuhan manusia dan hewan, kesenangan, gairah, luka, kesedihan seisi kota. Tak sabar rasanya aku menanti keheningan, terbebas dari semua ini. Aku menantikan malam tiba. Kenji kembali tanpa mengatakan ke mana dia pergi. Tanpa banyak bicara, dia mengawasi kami yang sedang memakai kimono resmi berlambang bangau Otori di punggung. Dia hanya berbicara sekali saja, menyarankan agar aku jangan ikut ke kastil. Tapi Lord Shigeru menjelaskan jika aku tidak ikut bersamanya justru akan menarik perhatian Iida. Lord Shigeru tidak mengatakan bahwa aku perlu melihat kastil itu sekali lagi. Aku pun ingin melihat Iida lagi. Satu-satunya yang aku ingat tentang Iida yaitu sosok mengerikan yang kulihat di Mino setahun lalu. Dia dalam balutan baju besi hitam, penutup kepala berhiaskan tanduk rusa dan pedang yang hampir saja mengakhiri hidupku. Begitu hebat dan kuatnya bayangan itu di benakku sampai-sampai melihat dia tanpa baju besi pun bisa membuatku gemetar. Kami berkuda diiringi dua puluh pengawal Otori. Mereka menunggu di bailey pertama, sedangkan Shigeru dan aku masuk bersama Abe. Kami melepas sandal sewaktu hendak melangkah di nightingale floor, aku menahan napas sambil mendengarkan kicau burung di kakiku. Rumah ini dibangun dengan penuh pesona dan dengan gaya mutakhir, lukisannya begitu menakjubkan hingga nyaris meng-alihkan perhatianku dari tujuan semula. Sayangnya lukisan di sini tak memberi kesan damai dan tenang seperti karya Sesshu di Terayama, melainkan meriah dan semarak, penuh gairah hidup dan kekuatan. Di ruangan itu, tempat kami menunggu, semua kasa pintu dan jendela dipenuhi lukisan bangau di sela-sela pohon willow bersalju. Shigeru mengagumi karya itu, dan di bawah tatapan jahat Abe, kami membicarakan lukisan yang ada di ruangan ini. "Menurutku, lukisan ini jauh lebih bagus dari karya Sesshu," kata Lord Abe. "Warnanya lebih kaya dan terang, dan ukurannya pun lebih ambisius." Shigeru bergumam, tidak jelas apakah dia setuju atau menolak anggapan Abe itu. Aku tidak memberi komentar. Tak lama kemudian, seorang laki-laki tua datang, menyembah lalu berkata pada Abe. "Lord Iida siap menerima tamu." Kami bangkit dan melintasi nightingale floor lagi, mengikuti Abe menuju Aula Besar. Di ruangan ini, Lord Shigeru duduk berlutut di pintu masuk, dan aku mengikuti apa yang dia lakukan. Abe mengisyaratkan agar kami masuk, dan di dalam, kami kembali duduk berlutut sambil membungkuk. Sekilas aku menangkap sosok Iida sedang duduk di singgasana, jauh di ujung aula. Kimononya yang berwarna emas dan putih gading terhampar di sekeliling tubuhnya, sebuah kipas merah keemasan di tangan kanannya, topi kecil resmi berwarna hitam menghiasi kepalanya. Dia lebih kecil dari yang kuingat, tapi bukan berarti tidak mengesankan. Usianya sekitar delapan atau sepuluh tahun lebih tua dari Lord Shigeru dan tingginya pun hanya sepundak Shigeru. Sosoknya tidak istimewa, kecuali bentuk matanya yang bagus, bertentangan dengan kekejamannya. Iida tidaklah tampan, namun dia memiliki penampilan yang kuat dan dominan. Ketakutan lamaku tiba-tiba muncul kembali. Ada sekitar dua puluh pengawal yang sedang membungkuk di lantai. Hanya Iida dan seorang pemuda di samping kirinya yang tetap duduk tegak. Keheningan panjang melanda ruangan ini. Di saat yang sama, waktu mendekati Waktu Monyet*. Tak ada pintu yang terbuka, dan panas terasa mencekik. Selain wangi dari balik kimono, tercium juga aroma kekejaman dari keringat orang-orang di ruangan ini. Dari sudut mata, aku melihat ada siluet di beberapa ruangan rahasia dan terdengar napas para pengawal yang bersembunyi. Iida memecah keheningan dengan berkata, "Selamat datang Lord Otori. Inilah saat yang membahagiakan: pernikahan sekaligus persekutuan." Suara Lord Iida yang kasar dan acuh tak acuh membuat sambutan resmi terasa tidak pantas keluar dari mulutnya. Shigeru mengangkat kepala dan duduk dengan perlahan. Dia membalas ucapan Iida dengan nada yang sama resminya, dia menyampaikan salam dari kedua pamannya dan juga dari seluruh klan Otori. "Aku senang dapat melayani dua klan besar." Ucapan Lord Shigeru merupakan sindiran halus bagi Iida, menekankan kalau mereka berdua berasal dari klas dan darah yang sama. Iida tersenyum tidak senang dan membalas, "Ya, kita memang harus berdamai. Kami tidak ingin peristiwa Yaegahara terulang." Lord Shigeru menegakkan kepala lalu berkata, "Yang lalu, biarkan berlalu." Aku bisa melihat raut wajah Shigeru, meskipun aku masih membungkuk. Pandangannya jernih dan lurus, sikapnya tenang dan riang. Tidak ada yang dapat menebak apa yang dia pikirkan, selain apa yang dia perlihatkan: calon pengantin yang senang karena dicarikan istri oleh orang yang lebih tua. Mereka berbincang sesaat, saling bergurau. Lalu, teh disajikan untuk mereka berdua. "Kudengar dia anak angkatmu," kata Iida ketika menuangkan teh. "Maka dia juga boleh minum bersama kita." Ini berarti aku harus menegakkan tubuh, walau sebenarnya aku tidak ingin melakukannya. Aku kembali membungkuk, lalu maju dengan menggunakan lutut, berusaha agar jariku tidak gemetar ketika mengambil mangkuk teh. Aku bisa merasakan tatapan Iida, tapi aku tak berani menatapnya, sulit bagiku untuk mengetahui apakah dia mengenaliku sebagai anak yang menusuk kudanya hingga dia terjatuh ketika di Mino. Aku mengamati mangkuk teh yang sedang kupegang. Mangkuk itu terbuat dari bahan metal abu-abu, dan di bagian dasarnya berwarna kemerahan, belum pernah aku melihat mangkuk yang seperti ini. "Dia sepupu jauh mendiang ibuku," Lord Shigeru menjelaskan. "Ibuku ingin mengangkatnya menjadi keluarga, namun setelah ibuku meninggal baru aku dapat mewujudkan harapannya." "Namanya?" Iida terus menatapku sambil menghirup tehnya dengan berisik. "Dia diberi nama sesuai nama Otori," jawab Lord Shigeru. "Kami memanggilnya Takeo." Lord Shigeru tidak mengatakan sesuai nama adikku, tapi nama Takeshi terasa bergantung di udara, seolaholah arwahnya melayang-layang di ruangan ini. Lord Iida menggerutu. Selain udara yang panas, suasananya pun kaku dan mencekam. Aku yakin Lord Shigeru juga menyadari itu. Aku bisa merasakan kalau dia tegang, meskipun dia tetap tersenyum. Di balik semua senda-gurau, tersembunyi kebencian di antara mereka, diperuncing dengan derita akibat perang Yaegahara, rasa cemburu Iida, dan rasa sedih Shigeru serta keinginannya untuk membalas dendam. Aku mencoba berperan sebagai Takeo, seorang seniman yang terpelajar, tertutup dan juga kikuk. "Berapa lama dia bersamamu?" "Sekitar setahun," balas Shigeru. "Memang ada ciri khas keluargamu pada dirinya," kata Iida. "Ando, kau setuju?" Dia bertanya pada salah seorang pengawalnya yang duduk berlutut menyamping ke arah kami. Orang itu mengangkat kepala lalu memandangku. Tatapan mata kami bertemu, dan aku langsung mengenali wajah dan alis yang mirip serigala serta mata yang dalam. Tubuh sebelah kanannya tersembunyi dariku, tapi aku tahu kalau lengan kanannya putus tertebas Jato yang digenggam Lord Shigeru. "Sangat mirip," jawab Ando. "Aku melihat kemiripan itu ketika pertama kali aku melihatnya." Dia berhenti, kemudian menambahkan, "di Hagi." Aku membungkuk, lalu berkata dengan rendah hati. "Maaf, Lord Ando, kurasa kita belum pernah bertemu." "Benar, kita memang belum pernah bertemu," dia membenarkan. "Aku melihatmu sedang bersama Lord Otori, dan aku melihat kemiripanmu... dengan keluarga Otori." "Dia masih kerabat kami," balas Lord Shigeru, tidak gelisah. Tidak diragukan lagi kalau Iida dan Ando telah mengetahui diriku yang sebenarnya. Mereka juga tahu kalau Shiger|i yang menyelamatkanku. Aku berharap mereka segera menahan kami, atau meminta pengawal membunuh kami sekarang juga, di saat jamuan minum teh ini. Lord Shigeru menggerakkan badan dengan sangat perlahan. Aku tahu dia sedang bersiap-siap melompat berdiri, pedang ada di tangannya jika terjadi sesuatu. Namun aku juga tahu, dia tak akan menghancurkan rencana yang telah dia susun selama berbulan-bulan. Ruangan ini penuh dengan ketegangan seiring keheningan yang kian mencekam. Bibir Iida membentuk senyuman. Bisa kurasakan kalau dia senang atas situasi yang terjadi saat ini. Dia tak akan membunuh kami sekarang, dia akan bermain-main dulu dengan kami. Bagi kami, tertutup kemungkinan untuk lolos. Kami telah terperangkap di wilayah Tohan, terus menerus di bawah pengawasannya, dan kami hanya memiliki dua puluh orang pengawal. Tidak diragukan lagi, Iida hendak menghabisi kami, tapi dia akan menikmati dulu saat-saat musuh lamanya berada dalam kekuasaannya. Iida lalu beralih membicarakan pernikahan. Dari nada suaranya aku dapat merasakan kalau dia memendam rasa benci. dan juga cemburu. "Lady Shirakawa adalah anak perwalian Noguchi, sekutuku yang terpercaya." Dia tidak mengatakan soal kekalahan Noguchi atas Arai. Apakah dia tidak tahu, ataukah dia pikir kami yang belum tahu? "Lord Iida memberi penghormatan yang sangat besar bagiku," jawab Shigeru. "Baiklah, memang sudah tiba saatnya untuk berdamai." Iida berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Lady Shirakawa sangat cantik. Sayang, reputasinya kurang bagus. Kuharap hal ini tak membuatmu cemas." Aku mendengar para pengawal menanggapi perkataan Iida dengan pelan-tidak tertawa, tapi otot-otot muka mereka membentuk senyuman. "Kurasa reputasinya tidak berdasar," balas Lord Shigeru bijak. "Dan karena aku di sini sebagai tamu Iida, aku tidak perlu cemas." Senyuman Iida pun langsung hilang, dan dia memandang dengan marah. Kurasa dia terbakar oleh rasa cemburu. Seharusnya, sopan santun dan rasa percaya diri bisa mencegahnya mengatakan hal berikut ini, tapi ternyata tidak. "Ada rumor tentang dirimu," katanya tanpa basa-basi. Shigeru mengangkat alis, tidak berkata. "Tentang ikatan yang telah berlangsung lama, suatu pernikahan rahasia," kata Iida dengan nada suara tinggi. "Lord Iida membuatku heran," balas Lord Shigeru dingin. "Aku sudah tidak muda lagi. Wajar saja bila aku mengenal banyak perempuan." Iida mendapatkan kembali kendali diri dan membalas perkataan Shigeru dengan gerutuan, tapi matanya terbakar oleh rasa dengki. Kami diusir dengan basa-basi kesopanan, Iida tak bicara banyak, selain, "Kita bertemu tiga hari lagi di saat upacara pernikahan." Saat kami bergabung dengan pengawal Otori, mereka nampak tegang dan tertekan karena diejek dan diancam pengawal Tohan. Aku dan Shigeru tak bicara sepatah kata pun saat menuruni anak tangga dan melewati pintu gerbang utama. Aku sibuk mengingat sebanyak mungkin denah kastil, walaupun rasa benci dan marah pada Iida selalu muncul dibenakku. Akan kubunuh dia sebagai balas dendam atas masa lalu, dan juga atas penghinaannya pada Lord Otori tadi sore. Jika aku tidak membunuhnya malam ini, berarti dia yang akan membunuh kami. Di perjalanan ke penginapan, jauh di arah barat matahari tampak bulat pucat. Kenji telah menunggu kami di sana. Tercium samar-samar bau sesuatu terbakar dari dalam kamar. Dia telah membakar pesan dari Lady Maruyama di saat kami pergi. Dia mengamati wajah kami. "Mereka mengenali Takeo?" dia bertanya. Lord Shigeru melepaskan pakaian resminya. "Aku perlu mandi," dia berkata, dan tersenyum seakan-akan mandi dapat membuatnya terbebas dari beban yang berat. "Bisakah kita bicara dengan bebas, Takeo?" Dari dapur terdengar suara pelayan yang sedang menyiapkan hidangan malam. Beragam langkah kaki melintas di jalan, namun tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Seorang gadis yang membawa mangkuk berisi nasi dan sop sedang mendekati penjaga di gerbang utama. "Bisa saja, jika kita berbisik," balasku. "Kita harus berbicara cepat. Mendekatlah, Kenji. Ya, benar, dia mengenali Takeo. Iida curiga dan takut. Dia bisa menyerang kita kapan saja." Kenji berkata, "Akan kubawa Takeo pergi untuk sementara. Aku bisa menyembunyikan dia di kota." "Tidak," seruku. "Malam ini aku akan ke kastil." "Hanya malam ini kesempatan kita," Lord Shigeru berbisik. "Kita harus serang dia lebih dulu." Kenji menatap kami secara bergantian. Dia menarik napas panjang. "Baiklah, aku ikut denganmu." "Kau teman baikku," kata Lord Shigeru perlahan. "Kau tidak perlu membahayakan dirimu." "Aku melakukan ini bukan untukmu, Shigeru. Aku lakukan ini untuk menjaga Takeo," balas Kenji. Lalu dia berkata padaku, "Sebaiknya kau periksa dinding kastil dan sungai sekali lagi sebelum tiba jam malam. Aku akan menemanimu. Bawa alat lukismu. Akan ada sandiwara ringan yang menarik di tepi sungai." Setelah mengumpulkan alat lukis, kami langsung pergi. Baru beberapa langkah, Kenji membuatku kaget saat dia berbalik dan membungkuk. "Lord Otori," katanya. Saat itu aku menduga dia hanya bersikap ironis semata; namun kelak aku menyadari bahwa itu adalah ucapan perpisahan. Aku tidak mengucapkan selamat tinggal, aku hanya membungkuk seperti yang biasa kulakukan. Cahaya sore dari arah taman berada di balik punggung Lord Shigeru sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya. Lapisan awan menebal, meskipun tidak turun hujan. Udara kini terasa semakin dingin seiring terbenamnya matahari, narnun tetap saja udara terasa panas dan gerah. Jalan dipenuhi orang yang ingin memanfaatkan waktu antara matahari terbenam dan jam malam. Beberapa kali aku bertubrukan sehingga membuatku panik dan gelisah. Aku melihat mata-mata dan pembunuh di segala tempat. Melihat Iida telah membuatku lemah, mengubahku menjadi Tomasu, anak penakut yang berhasil lolos dari pembantian di Mino. Dapatkah aku memanjat dinding kastil Inuyama dan membunuh bangsa. wan yang baru saja kulihat, yang mengenaliku sebagai satu-satunya orang yang tersisa di desaku dan berhasil lolos tepat di depan wajahnya? Aku mungkin bisa berpura-pura menjadi Lord Otori Takeo atau Kikuta, namun aku bukanlah salah seorang dari mereka. Aku hanyalah orang Hidden, orang yang diburu. Kami berjalan ke barat, menyisir sebelah selatan kastil. Seiring dengan datangnya malam, aku bersyukur karena malam sangat gelap, tidak ada bulan maupuil bintang. Obor-obor bercahaya di gerbang, sedangkan kedai-kedai diterangi lampu minyak atau api lilin. Tercium bau wijen dan kedelai, arak beras dan ikan bakar. Karena merasa lapar, aku hendak berhenti untuk membeli sesuatu, tapi Kenji menyarankan agar kami berjalan agak lebih jauh lagi. Jalan semakin gelap dan kosong. Aku mendengar ada roda gerobak berderu di jalan yang berbatu, dan bunyi seruling. Ada sesuatu yang mengerikan dari suara itu. Bulu kudukku berdiri. "Kita pulang saja," kataku, dan pada saat itu pula muncul iring-iringan kecil dari bukit di depan kami. Kukira mereka penghibur jalanan atau semacamnya. Seorang laki-laki tua mengendarai gerobak yang dihiasi pernak-pernik. Seorang gadis sedang meniup seruling di atasnya, dan serulingnya terjatuh ketika melihat kami. Dua orang laki-laki muncul dari tempat gelap sambil menari. Mereka nampak seperti tersihir dan dikuasai roh. Aku berhenti. Kenji berdiri tepat di belakangku. Gadis lain mendekati kami dan berkata, "Kemari dan lihatlah, tuan." Aku seperti mengenal suara itu, dan perlu beberapa saat untuk dapat mengingatnya. Dan aku langsung melompat ke belakang, menghindar dari Kenji, dan meninggalkan sosok keduaku di gerobak. Gadis itu adalah gadis pelayan di penginapan saat kami di Yamagata. Gadis yang Kenji sebut, "Dia orang kita." Aku kaget karena ada yang mengejarku tanpa mempedulikan sosok keduaku. Aku menghilangkan diri, tapi dia dapat menebak keberadaanku. Kini aku yakin kalau semua ini adalah rencana Tribe, mereka datang mengambilku seperti yang pernah Kenji bilang. Aku menjatuhkan diri ke tanah, berguling, dan menyelinap ke bawah gerobak, namun Kenji ada di seberang gerobak. Kugigit tangannya, tapi tangannya yang lain memegang rahangku, memaksaku untuk melepaskan gigitan. Aku tendang dia, namun aku terhuyung-huyung dalam genggamannya. Aku berusaha menyelipkan jari jariku, tapi semua trik yang aku dapat adalah ajaran yang dia berikan. "Menyerahlah, Takeo," dia berdesis. "Jangan melawan. Tak ada yang akan menyakitimu." "Baiklah," kataku, dan kembali tenang. Dia melepaskan pegangannya dan aku langsung menjauh. Aku tarik belati dari sabukku. Tapi, lima orang di sekitarku langsung menyerang. Salah seorang dari mereka membuat gerakan tipuan sehingga aku terpojok di gerobak. Aku menebaskan belatiku ke tubuhnya dan kurasa belatiku mengenai tulangnya. Lalu aku membuat gerakan mengiris pada salah satu gadis. Sedangkan gadis yang lainnya menghilang, dan ternyata dia melompat seperti monyet ke atas kepalaku, kedua kakinya melingkari leherku, salah satu tangannya membekap mulutku, dan tangannya yang satu lagi mencekik leherku. Aku tahu apa yang akan dia lakukan, dan aku pun berputar kasar sehingga keseimbanganku hilang. Orang yang aku lukai dengan belati segera memegang pergelangan tanganku dan dia pelintir sehingga belatiku terlepas. Gadis itu dan aku terjatuh. Tangannya masih mencekik leherku. Sebelum tidak sadarkan diri, aku sempat melihat Shigeru sedang duduk menunggu kami di kejauhan. Aku mencoba berteriak dengan marah karena pengkhianatan yang Kenji lakukan, namun mulutku tersumpal, aku bahkan tak bisa lagi mendengar.* SEPULUH PAGI ini adalah hari ketiga Kaede berada di Inuyama. Karena gerakan tandu yang bergoyang-goyang saat ke kastil, kondisi Kaede semakin memburuk. Keadaan di Inuyama begitu menakutkan dan mencekam, jauh lebih buruk dibandingkan di kastil Noguchi. Para wanitanya nampak lemas dan berkabung, mereka berduka karena majikan mereka, isteri Iida, meninggal di awal musim panas. Kaede hanya melihat sekilas tuan mereka, Lord Iida, namun sangat mustahil bagi Kaede untuk tidak menyadari kehadiran orang itu. Iida begitu mendominasi rumahnya, tak heran semua penghuni di sini bergerak dengan ketakutan, takut dimarahi tuannya. Tak ada yang berani bicara terang-terangan. Ucapan selamat hanya disampaikan kepada Kaede melalui suara yang lemah dan tatapan yang kosong. Wanita-wanita itu juga menyiapkan kimono pengantin dengan lesu, tidak bergairah. Kaede merasakan suasana kematian juga melingkupi dirinya. Lady Maruyama, setelah mengalami masa bahagia karena bertemu anaknya, kini nampak tegang. Beberapa kali dia seperti ingin mengatakan sesuatu pada Kaede, tapi jarang sekali mereka bisa berdua dalam waktu yang cukup lama. Kaede menghabiskan waktu dengan selalu mengingat-ingat kembali semua peristiwa yang terjadi selama perjalanan, berusaha meraba-raba rahasia yang ada di sekeliling dirinya, tapi ia sadar kalau ia tidak tahu apa-apa. Semuanya penuh dengan kepura-puraan, ia bahkan tidak bisa mempercayai seorang pun juga-tidak juga Shizuka, kecuali, tentu saja, beberapa hal yang sudah Shizuka katakan. Bagi Kaede, keselamatan keluarganya yang membuat ia kuat menjalani pernikahan dengan Lord Otori: ia tidak curiga bahwa pernikahan ini tak akan berjalan sesuai rencana. Bayangan tentang pernikahan begitu jauh, sama jauhnya seperti bulan. Tapi, bila ia tidak jadi menikah jika ada lagi yang mati karena dirinya-maka tak ada jalan lain baginya kecuali mati. Ia berusaha menghadapi pernikahan ini dengan berani, tapi ia tidak dapat membohongi dirinya: Ia sudah berusia lima belas tahun, belum mau mati, dan ingin hidup bersama Takeo. Hari-hari yang sebelumnya begitu panas mencekik kini perlahan-lahan mulai berakhir, matahari yang bersinar pucat memancarkan sinar kemerah-merahan di seluruh pelosok kota. Kaede bosan dan gelisah. Ia tak sabar menantikan saat-saat ia akan terbebas dari lapisan kimono yang tebal, menunggu datangnya dingin dan gelapnya malam, walaupun sebenarnya ia takut akan datangnya hari esok. "Bangsawan Otori akan ke kastil hari ini, kan?" ia bertanya sambil berusaha menahan emosinya. "Ya, Lord Iida yang akan menyambut mereka." nada bicara Shizuka terkesan bimbang. Kaede merasa kalau Shizuka menatapnya dengan iba. Dia berkata pelan, "Lady... " Dia tak melanjutkan. Ketika dua orang pelayan lewat di depan pintu, Shizuka pun mulai membicarakan tentang kimono yang akan dikenakan untuk acara pernikahan nanti. Langkah kaki kedua pelayan itu membuat lantai bernyanyi. Saat lantai itu berhenti bernyanyi, Kaede bertanya, "Apa yang ingin kau katakan?" "Kau masih ingat perkataanku kalau kau bisa saja membunuh hanya dengan menggunakan jarum? Kini akan kuajari caranya. Mungkin kelak kau perlukan." Shizuka mengeluarkan benda mirip jarum biasa, tapi saat Kaede memegangnya ia sadar bahwa jarum itu sangat kuat dan berat, mirip senjata kecil. Shizuka menunjukkan cara menusuk jarum itu ke mata atau leher seseorang. "Sembunyikan jarum ini di balik lengan bajumu. Hati-hati, jangan sampai kau yang tertusuk." "Ada apa?" Kaede takut, agak ngeri, sekaligus takjub. "Aku tak tahu apakah aku bisa melakukannya." "Kau pernah menikam seorang laki-laki dalam keadaan marah," kata Shizuka. "Kau tahu itu?" "Arai yang memberitahu. Saat marah atau takui, manusia tak menyadari kemampuannya. Simpan juga belatimu. Kuharap kita memiliki pedang, tapi nampaknya sulit untuk disembunyikan. Jadi, di saat berkelahi, kau harus bunuh orang itu secepat mungkin dan langsung kau ambil pedangnya." "Ada apa sebenarnya?" tanya Kaede lirih. "Ingin sekali aku mengatakan, tapi itu justru akan membahayakan dirimu. Aku hanya ingin agar kau waspada." Kaede membuka mulut untuk bertanya lebih lanjtii lagi, namun Shizuka bergumam, "Kau harus diam: tidak boleh bertanya padaku dan tidak boleh berkata apa pun pada orang lain. Makin sedikit yang kau tahu, makin bagus." Kamar yang di tempati Kaede tidak begitu besar dan terleiak di ujung rumah Iida, di sebelahnya ada sebuah kamar yang besar. Kamar itu ditempati oleh penghuni wanita di rumah Iida, juga Lady Maruyama dan anak gadisnya. Kedua kamar itu menghadap ke taman yang terhampar di sisi selatan rumah. Kaede bisa mendengar percikan air sungai dan lambaian dedaunan. Malam itu Kaede melihat Shizuka siaga semalaman. Ia melihat Shizuka bersila di pintu, hampir tidak terlihat karena berada di bawah langit gelap yang tidak berbintang. Burung hantu bersahut-sahutan di kegelapan malam, dan dari permukaan sungai terdengar teriakan unggas air. Hujan pun mulai turun. Suara-suara alam itu membuat Kaede tertidur, dan paginya ia terjaga karena mendengar teriakan keras burung gagak. Hujan telah reda dan udara pagi terasa gerah. Shizuka sedang berpakaian. Saat melihat Kaede bangun, dia lalu duduk berlutut di sampingnya dan berbisik, "Lady, aku hendak menemui Lord Otori. Maukah kau menulis surat atau puisi untuknya? Aku perlu alasan agar bisa menemuinya." "Ada apa?" tanya Kaede dengan cemas ketika melihat wajah Shizuka yang pucat. "Entahlah. Semalam aku mengharapkan sesuatu terjadi... Tapi ternyata tidak terjadi apa-apa. Aku harus tahu sebabnya." Dengan suara yang lebih keras, dia berkata, "Aku akan menyediakan tinta untukmu. Lady tidak perlu tergesa-gesa. Lady punya waktu seharian untuk menulis puisi yang indah." "Apa yang harus kutulis?" tanya Kaede berbisik. "Aku belum pernah menulis puisi. Aku tidak bisa." "Tidak masalah. Tulis saja sesuatu tentang cinta, tentang sepasang bebek mandarin atau bunga." Kaede hampir yakin kalau Shizuka sedang bergurau, jika ia tidak melihat sikap gadis itu yang bersungguh-sungguh. "Kalau begitu, bantu aku berpakaian," perintahnya. "Ya, aku tahu ini terlalu pagi, tapi berhentilah mengeluh. Aku harus menulis surat pada Lord Otori." Shizuka memaksakan senyuman di wajahnya yang pucat untuk membesarkan hati Kaede. Kaede menulis sesuatu lalu dengan suara lantang ia menyuruh Shizuka mengantar surat itu ke tempat Lord Shigeru. Shizuka melangkah dengan enggan, dan terdengar dia mengeluh pada penjaga dan mereka menanggapinya dengan tertawa. Kaede meminta teh pada pelayan, lalu ia minum sambil menatap taman untuk menenangkan diri dan berusaha mendapatkan keberaniannya. Beberapa kali ia menyentuh jarum di balik lengan bajunya, atau meraba gagang belati yang dingin di balik kimononya. Ia memikirkan alasan Lady Maruyama dan Shizuka mengajarinya cara bertarung. Apa yang akan terjadi? Ia kembali merasa dirinya adalah bidak yang dimainkan oleh orang di sekitarnya, tapi setidaknya mereka telah menyiapkan dirinya, memberinya senjata. Shizuka pulang sambil membawa surat balasan dari Lord Otori: sebuah puisi yang ditulis dengan ringan dan indah. Kaede menatapnya. "Apa maksudnya?" "Ini alasan saja. Dia harus menulis sesuatu sebagai balasan." "Lord Otori baik-baik saja?" tanya Kaede basa-basi. "Ya, bahkan dia merindukanmu." "Katakan yang sejujurnya," bisik Kaede. Ia menatap Shizuka, melihat ada keraguan di mata Shizuka. "Lord Takeo-apakah dia mati?" "Kami tidak tahu." Shizuka menarik napas dalamdalam. "Dia dan Kenji menghilang. Lord Otori yakin Tribe telah mengambilnya." "Apa maksudnya?" Ia merasa teh yang ia minum berputar-putar di perutnya, ia merasa mual. "Ayo kita jalan jalan di taman selagi cuaca masih sejuk," kata Shizuka dengan tenang. Kaede berdiri dan berpikir, ia merasa seperti hendak pingsan. Butiran keringat yang dingin dan lembab menggumpal di alisnya. Shizuka menggandeng tangan Kaede dan mengajaknya ke beranda. Dia lalu berlutut di depan Kaede, membantunya memakai sandal. Mereka berjalan lambat di antara pepohonan dan semak belukar, kerasnya bunyi aliran sungai melindungi suara mereka. Shizuka berbisik pada Kaede. "Seharusnya semalam Iida terbunuh. Arai dan seluruh pasukannya berjarak tiga puluh mil dari sini. Sedangkan para biarawan di Terayama telah siap untuk mengambil alih kota Yamagata. Tohan pasti kalah." "Apa hubungan semua itu dengan Lord Takeo?" "Dia yang seharusnya membunuh Iida. Dia yang seharusnya memanjat dinding kastil semalam. Sayangnya Tribe mengambilnya lebih dulu." "Takeo? Pembunuh?" Kaede merasa ingin tertawa mendengar ucapan yang mustahil itu. Lalu ia teringat kekelaman yang Takeo tutup-tutupi selama ini, bagaimana dia selalu menyembunyikan kehebatannya. Kaede menyadari bila ia tidak tahu apa yang ada di balik permukaan, meskipun begitu ia tahu ada sesuatu yang lebih dari apa yang terlihat pada Takeo. Kaede menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. "Dia anggota Tribe?" "Ayah Takeo berasal dari kalangan Tribe, dan dia terlahir dengan bakat istimewa." "Sepertimu?" tanya Kaede. "Dan pamanmu?" "Dia jauh lebih hebat dari kami," kata Shizuka. "Tapi kau benar: kami juga berasal dari Tribe." "Kau mata-mata? Pembunuh? Itukah alasannya kau berpura-pura menjadi pelayanku?" 'Aku tidak berpura-pura menjadi temanmu," balas Shizuka dengan cepat. "Sudah kukatakan bahwa kau dapat mempercayaiku. Sebenarnya, Arai yang menyuruhku untuk menjagamu." "Bagaimana aku bisa mempercayaimu setelah sekian lama kau berbohong?" kata Kaede, sudut matanya terasa mulai panas. "Aku akan jujur kepadamu," kata Shizuka dengan sangat tenang. Kaede merasa adanya gelombang kekagetan dalam dirinya, namun berangsur-angsur hilang, dan ia kembali tenang dan pikiran kembali jernih. "Jadi pernikahanku dengan Lord Otori-hanyalah alasan agar dia bisa ke Inuyama?" "Bukan dia yang mengatur semua ini. Bagi Lord Otori, pernikahan ini adalah syarat agar dapat mengangkat Takeo. Tapi saat dia terpaksa menyetujui perjodohan ini, dia melihat adanya alasan untuk membawa Takeo ke wilayah Tohan yang dijaga ketat," Shizuka berhenti bicara, lalu berkata sangat pelan. "Iida dan pernimpin Otori menggunakan pernikahan ini untuk membunuh Shigeru. Karena itulah aku dikirim kepadamu, untuk melindungi kalian berdua." "Mereka memanfaatkan reputasiku," kata Kaede pedih, ia sangat menyadari semua pengaruh laki-laki, pada dirinya, dan bagaimana mereka memanfaatkan dirinya tanpa belas kasihan. Kembali, ia merasa lelah yang amat sangat. "Kau harus duduk sejenak," kata Shizuka. Semak belukar membuat taman lebih terbuka dengan pemandangan yang mengarah ke sungai di sekitar kastil dan juga sungai besar di kaki gunung. Sebuah paviliun dibangun melintasi aliran sungai agar terkena hembusan angin. Kaede dan Shizuka berjalan ke paviliun, mereka melangkah di bebatuan dengan hati-hati. Beberapa alas duduk telah tersedia di lantai, dan mereka pun duduk. Air yang mengalir memberi kesan sejuk, dan burung pekakak dan burung layang-layang terbang saling menyambar di atas paviliun. Di kolam, di bawah paviliun, teratai menyembulkan kelopak yang berwarna merah jambu keungu-unguan. Di tepi sungai, bunga iris biru gelap sedang mekar, warna daunnya sama seperti alas duduk di paviliun. "Apa maksudnya, dibawa oleh Tribe?" tanya Kaede gelisah, jari-jarinya menggosok-gosok bahan pakaian. "Keluarga Takeo, Kikuta, menduga usaha membunuh Iida akan gagal. Karena tidak ingin kehilangan dia maka mereka mengambil langkah pencegahan. Pamanku berperan dalam hal ini." "Dan kau?" "Tidak, aku justru merasa kalau Iida seharusnya dibunuh. Takeo bisa berhasil, dan lagi tidak ada yang berani memberontak selama Iida masih hidup." Sungguh tak bisa dipercaya, pikir Kaede. Aku terjebak dalam rencana jahat. Shizuka mengatakan soal membunuh Iida dengan entengnya, seakan-akan Iida hanyalah petani atau orang biasa. Bila ada yang mendengar, kami pasti akan disiksa sampai mati. Meskipun udara panas, tubuhnya menggigil kedinginan. "Apa yang akan Tribe lakukan pada Takeo?" "Dia akan menjadi bagian dari mereka, dan hidupnya akan menjadi sebuah rahasia." Jadi aku tak akan bertemu dengannya lagi, piker Kaede. Terdengar suara dari jalan setapak, Lady Maruyama dan anaknya, Mariko, serta pembantunya, Sachie, melintasi sungai lalu duduk bersama. Lady Maruyama nampak pucat, sepucat Shizuka tadi pagi. Sikapnya berubah. Dia telah kehilangan kendali dirinya yang kuat. Dia menyuruh Mariko dan Sachie pergi bermain bulu tangkis yang mereka bawa. Kaede berusaha berkata dengan normal. "Lady Mariko adalah gadis yang cantik." "Tidak terlalu cantik, tapi pintar dan baik," balas Lady Maruyama. "Dia lebih mirip ayahnya. Mungkin dia beruntung. Kecantikan hanya akan membawa bencana bagi seorang wanita." Dia tersenyum pahit, lalu berbisik kepada Shizuka. "Hanya tersisa sedikit waktu. Kuharap Lady Shirakawa bisa dipercaya." "Rahasiamu aman bersamaku," kata Kaede pelan. "Shizuka, katakan apa yang terjadi." kata Lady Maruyama. "Takeo diambil oleh Tribe. Hanya itu yang Lord Shigeru tahu." "Aku tidak menyangka Kenji akan berkhianat. Sungguh menyakitkan." "Shigeru mengatakan bahwa semua ini adalah pertaruhan yang sia-sia. Dia tidak menyalahkan siapa pun. Dia mencemaskan keselamatanmu. Kau dan anak itu." Semula Kaede mengira anak yang dimaksud oleh Shizuka adalah Mariko, tapi begitu melihat kilasan rona memerah di wajah Lady Maruyama. Ia tak bicara lagi. "Apa yang harus kita lakukan? Haruskah kita melarikan diri?" Lady Maruyama memilin-milin lengan kimono dengan jarinya yang putih. "Jangan melakukan sesuatu yang mencurigakan." "Shigeru tidak akan melarikan diri?" Suara Lady Maruyama terdengar tipis, setipis alang-alang. "Aku telah menyarankan itu, tapi dia menolak. Dia diawasi ketat dan selain itu, dia merasa hanya bisa bertahan bila dia menunjukkan keberaniannya. Dia bertingkah seakan-akan dia percaya pada Iida dan menyetujui persekutuan Tohan dengan Otori." "Dia akan tetap melanjutkan pernikahan?" suara Lady Maruyama meninggi. "Dia harus lakukan itu, seolah-olah pernikahan itu adalah keinginannya," kata Shizuka berhati-hati. "Kita juga harus begitu, jika ingin Lord Shigeru tetap hidup." "Iida telah mengirim pesan, dia memaksaku menerima pinangannya," kata Lady Maruyama. "Selama inl aku selalu menolak demi Shigeru." Dia menatap gundah wajah Shizuka. "Lady," kata Shizuka. "Jangan bicara soal ini lagi. Bersabarlah, kuatkan dirimu. Yang dapat kita lakukan hanyalah menunggu. Kita harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa, dan kita harus menyiapkan pernikahan Lady Kaede." "Mereka akan gunakan itu untuk membunuhnya," ujar Lady Maruyama. "Kaede begitu cantik, tapi juga mematikan." "Aku juga tak ingin laki-laki mana pun mati karenaku," teriak Kaede, "apalagi Lord Otori." Tiba-tiba air matanya menetes, dan ia membuang muka. "Sayang sekali kau tidak menikahi Lord Iida dan mendatangkan kematian baginya!" seru Lady Maruyama. Kaede tersentak seakan terkena tamparan. "Maaf," bisik Lady Maruyama. "Aku bukanlah diriku yang sebenarnya. Akhir-akhir ini aku tidak bisa tidur. Aku putus asa-karena Shigeru, karena Mariko, karena diriku, karena anak kami. Kau tidak pantas menerima kekasaranku. Kau terperangkap dalam hubungan kami, tak ada kesalahan yang harus ditimpakan kepadamu. Kuharap kau tidak berpikiran buruk kepadaku." Dia meraih dan menggenggam tangan Kaede. "Seandainya aku dan anakku mati, kaulah pewarisku. Aku mempercayakan wilayah dan rakyatku kepadamu. Jagalah mereka baik-baik." Dia membuang muka, menatap ke seberang sungai, matanya terang karena air mata. "Jika pernikahan ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan Shigeru, maka dia harus menikahimu. Tapi, Iida pasti akan membunuhnya setelah itu." Di ujung taman ada anak tangga yang dibatasi kubu dan dindingnya berada di tepi parit. Di parit itu ada dua perahu yang terikat. Ada pintu yang terbuka di seberang anak tangga, Kaede menduga gerbang itu akan ditutup bila malam tiba. Parit dan sungai terlihat dari pintu gerbang yang terbuka itu. Dua orang penjaga sedang duduk bermalas-malasan di dekat dinding, terbius oleh panasnya cuaca. "Udara akan terasa dingin bila berada di atas air," kata Lady Maruyama. "Pendayung itu mungkin mau dibayar... " "Sebaiknya jangan, Lady!" kata Shizuka. "Jika kau melarikan diri, Iida akan curiga. Satu-satunya kesempatan kita untuk bisa keluar dari sini yaitu saat Arai mendekat." "Arai tidak akan mendekati Inuyama selama Iida masih hidup," kata Lady Maruyama. "Dia tidak akan berani. Kastil ini sangat sulit diserang. Iida hanya bisa diserang dari dalam kastil." Dia mengalihkan pandangan ke menara penjaga. "Kita terperangkap di kastil ini," katanya. "Kita dalam genggaman bangunan ini, tapi aku harus keluar dari sini." "Jangan bertindak gegabah," Shizuka memohon. Mariko datang, dia mengeluhkan cuaca yang terlalu panas untuk bermain. Sachie ikut dari belakangnya. "Aku akan mengajaknya ke kamar," kata Lady Maruyama. "Dia juga harus belajar... " Suaranya tercekat, dan air matanya menetes lagi. "Sungguh malang nasib anakku," katanya. "Kasihan kedua anakku ini." Tangannya mengelus-ngelus perutnya. "Lady," kata Sachie. "Kau harus beristirahat." Kaede meneteskan air mata simpati pada Lady Maruyama. Batu-batu yang menyusun menara dan dinding serasa menekan tubuhnya. Lengkingan jangkrik semakin meninggi dan menusuk kepala; hawa panas terasa bergaung dari dalam tanah. Lady Maruyama benar, pikirnya: mereka telah terperangkap, dan tidak ada jalan untuk lolos. "Kau ingin kembali ke kamar?" tanya Shizuka. "Nanti saja." Ada satu hal yang ingin Kaede tanyakan. "Shizuka, sepertinya kau bisa datang dan pergi dengan begitu mudah. Penjaga pasti mempercayaimu." Shizuka mengangguk. "Aku memiliki kemahiran dari Tribe dalam hal ini." "Dari sekian banyak wanita di sini, hanya kau yang bisa melarikan diri." Kaede bimbang, ia tidak yakin bisa merangkai kata-kata yang tepat. Akhirnya dia berkata dengan kesal, "Jika kau ingin pergi, aku tidak melarangmu. Aku tidak ingin kau tetap di sini karenaku." Lalu ia menggigit bibirnya dan langsung membuang muka, ia tidak tahu bagaimana ia bisa bertahan tanpa gadis yang telah menjadi tempatnya bergantung. "Kita akan selamat jika tidak ada yang mencoba pergi," bisik Shizuka. "Tapi jika ada yang mencoba melarikan diri, akan timbul masalah. Aku tak akan pergi kecuali kau menyuruhku pergi, aku tidak akan meninggalkanmu. Kini hidup kita saling terikat." Dia menambahkan, seakan berkata pada dirinya sendiri, "Bukan hanya laki-laki yang memiliki kehormatan." "Lord Arai yang mengirimmu," ujar Kaede. "Dan kau berasal dari Tribe, pihak yang telah mengambil Lord Takeo. Apakah kau bebas menentukan pilihan? Dan kau memilih kehormatan?" "Untuk orang yang tidak pernah diajarkan apa pun, Lady Shirakawa tahu banyak hal," kata Shizuka sambil tersenyum, dan untuk sesaat Kaede merasa lega. Ia di paviliun seharian, ia hanya makan sedikit. Kadang wanita di rumah Iida menemaninya, dan mereka berbicara tentang keindahan taman juga persiapan pernikahan. Salah seorang yang pernah ke Hagi menggambarkan kota itu dengan penuh kekaguman, menceritakan legenda tentang Otori kepada Kaede, dan membisikkan tentang permusuhan lama antara Otori dengan Tohan. Mereka semua bergembira karena pernikahan Kaede akan mengakhiri semua permusuhan itu, dan memberitahukan padanya betapa senangnya Iida atas persekutuan yang telah disepakati. Tak tahu bagaimana menanggapi, dan juga karena tahu tentang rencana pengkhianatan di balik rencana pernikahannya, Kaede lebih memilih untuk berpura-pura malu, tersenyum sampai wajahnya sakit, namun tidak banyak bicara. Saat memandang ke arah lain, ia melihat Lord Iida sedang melintasi taman, menuju ke paviliun. Dia ditemani tiga orang pengawal. Semua langsung diam. Kaede memanggil Shizuka, "Aku mau ke dalam. Kepalaku sakit." "Aku akan memijat dan menyisir rambutmu," kata Shizuka, dan Kaede merasa rambutnya terlalu berat. Badannya terasa lengket dan gerah di balik kimono. Ia menantikan kesejukan saat malam tiba. Namun, ketika ia menjauh dari paviliun, Lord Abe segera meninggalkan rombongan laki-laki dan menghampiri mereka. Shizuka segera berlutut, dan Kaede membungkuk, walaupun tidak terlalu dalam. "Lady Shirakawa," katanya, "Lord Iida hendak berbicara denganmu." Dengan berusaha menyembunyikan rasa enggannya, Kaede kembali ke paviliun. Iida telah menunggu sambil bersila. Para pelayan menarik diri, menyibukkan diri dengan melihat-lihat sungai. Kaede duduk lalu berlutut di lantai kayu sambil menunduk, sadar kalau tatapan Iida yang dalam seperti kolam lelehan besi sedang menatap seluruh tubuhnya. "Kau boleh duduk," ujarnya singkat. Suaranya kasar dan kalimat sopan tidak mudah terlontar dari Iidahnya. Kaede merasakan tatapan anak buah Iida. Suasana berubah hening karena gairah dan rasa kagum mereka padanya. Kaede sudah mulai akrab dengan situasi seperti ini. "Shigeru sungguh beruntung," kata Iida, dan Kaede dapat mendengar ancaman serta kekejaman dalam tawa para laki-laki itu. Ia menduga Iida akan membicarakan tentang pernikahannya atau tentang ayahnya yang tak bisa hadir karena isterinya sakit. Tapi kalimat berikutnya membuat Kaede kaget. "Apakah Arai adalah kenalan lamamu?" "Aku mengenalnya saat dia melayani Lord Noguchi," jawab Kaede dengan berhati-hati. "Kaulah yang membuat Noguchi mengucilkan dia," kata Iida. "Noguchi telah membuat kesalahan fatal, dan dia sudah membayar impas kesalahannya itu. Saat ini tampaknya aku akan berurusan dengan Arai di wilayahku." Dia menarik napas dalam-dalam. "Pernikahanmu dengan Lord Otori berlangsung di saat yang tepat." Kaede berpikir, Aku gadis dungu, dibesarkan di Noguchi, setia dan bodoh. Aku tidak tahu apa pun tentang intrik antar klan. Kaede membuat wajahnya seperti boneka, dan suara yang kekanak-kanakan, "Aku hanya ingin melaksanakan keinginan Lord Iida dan ayahku." "Kau tidak mendengar tentang Arai selama perjalanan? Shigeru tidak pernah bicara tentang dia?" "Aku tidak pernah mendengar kabar tentang Lord Arai sejak dia pergi dari Noguchi," jawab Kaede. "Tapi mereka mengatakan kalau Arai selalu membelamu." Kaede memberanikan diri menatap Iida melalui bulu matanya. "Aku tidak bisa bertanggung jawab atas semua perasaan laki-laki padaku, Lord." Mata mereka bertemu sejenak. Tatapan Iida menusuk tajam, ganas. Kaede merasa kalau Iida juga menyimpan hasrat padanya, dan seperti laki-laki lain, Iida kesal sekaligus tergoda akan gagasan kematian bila berhubungan dengan dirinya. Rasa ingin muntah merayap di tenggorokannya. Ia memikirkan jarum yang disembunyikan di balik lengan kimononya, dan membayangkan benda itu tergelincir menusuk daging laki-laki ini. "Tentu saja tidak," Iida menyetujui, "Tapi kami tidak bisa menyalahkan laki-laki karena mengagumi dirimu." Lalu dia mengatakan pada Abe tanpa menoleh, "Kau benar. Gadis ini cantik sekali." Seolah-olah dia sedang membicarakan sebuah karya seni yang tidak bernyawa. "Kau hendak masuk kamar, kan? Jangan biarkan aku menahanmu. Aku yakin kau kurang sehat." "Lord Iida." Kaede membungkuk hingga menyentuh lantai lalu mundur hingga ke tepi paviliun dalam keadaan membrtngkuk. Shizuka membantunya berdiri dan mereka pun berjalan pergi. Mereka tidak berbicara hingga sampai di kamar. Kaede berbisik, "Dia tahu semua." "Tidak," balas Shizuka seraya mengambil sisir, dan mulai menyisiri rambut Kaede. "Dia memang belum yakin, dan dia tidak mempunyai bukti. Kau melakukan dengan sangat baik." Kemudian jari-jarinya memijat kulit kepala dan pelipis Kaede. Rasa tegang Kaede mulai berkurang. Kaede bersandar ke Shizuka. "Ingin sekali aku pergi ke Hagi. Maukah kau temani aku ke sana?" "Jika tiba waktunya, kau tak akan membutuhkan aku lagi," balas Shizuka, tersenyum. "Aku akan selalu membutuhkanmu," balas Kaede. Nada melankolik merambat di suaranya. "Mungkin aku akan bahagia bersama Lord Shigeru, andai saja aku tidak bertemu Takeo, andai saja Lord Shigeru tidak mencintai-" "Shush, shush," Shizuka mendesis, jarinya tetap bergerak dan memijat. "Mungkin kami akan punya anak," lanjut Kaede, suaranya penuh dengan mimpi. "Sayang sekali hal itu tak terjadi saat ini, tapi aku harus terus berharap bahwa semua itu akan terwujud." "Kita berada di ambang peperangan," bisik Shizuka. "Kita tak tahu apa yang terjadi esok, biarkan masa depan yang menjawabnya." "Di mana Lord Takeo? Tahukah kau?" "Jika masih di kota ini berarti dia ada di salah satu rumah milik anggota Tribe. Tapi mungkin mereka sudah keluar dari wilayah ini." "Apakah aku bisa bertemu dengannya lagi?" tanya Kaede tanpa mengharapkan jawaban, Shizuka pun tidak menjawab. Dia terus memijat. Dari pintu yang terbuka terlihat taman yang berkilauan terkena cahaya matahati, lengkingan jangkrik terdengar lebih tajam dari biasanya. Perlahan-lahan cahaya matahari kian memudar dan bayangan pun mulai memanjang.* SEBELAS KETIKA siuman, aku berada di ruangan yang gelap, seperti di dalam gerobak. Setidaknya ada dua orang yang menemaniku. Salah seorang di antaranya, dari caranya bernapas, adalah Kenji, sedangkan seorang lagi pastilah perempuan karena aroma wangi keluar dari tubuhnya. Mereka memegang erat kedua tanganku. Aku merasa kesakitan, seperti ada yang telah memukul kepalaku. Gerakan gerobak emakin membuatku kesakitan. "Aku mau muntah," kataku. Kenji lalu melepaskan satu tanganku. Saat mencoba duduk tegak, muncul rasa mual. Gadis itu juga melepas tanganku. Rasa mualku langsung hilang begitu sadar kalau aku tak mungkin lolos. Aku melindungi kepalaku dengan dua lengan, lalu aku terjang tirai gerobak, berusaha keluar dari gerobak. Ternyata pintunya sangat kokoh. Tanganku seperti robek karena terkena paku. Kenji dan gadis itu menarik ku kasar, memaksaku berbaring meskipun aku terus meronta dan memukuli mereka. Dari depan gerobak ada orang yang membentak, memperingatkan kami agar jangan ribut. Kenji membentakku. "Diam! Tetap berbaring! Jika kita bertemu orang Tohan sekarang, kau akan mati!" Tapi aku telah kehilangan akal. Sewaktu kecil, aku sering membawa hewan liar ke rumah: anak musang, rase, atau bayi kelinci. Aku tidak pernah bisa menjinakkan mereka. Mereka selalu ingin melepaskan diri dengan cara membabi-buta dan liar. Kini aku merasakan hal yang sama seperti yang mereka rasakan. Saat ini tidak ada yang paling penting bagiku selain hendak meyakinkan Shigeru bahwa aku tidak berkhianat. Aku tak akan pernah tinggal bersama Tribe. Mereka tak akan mampu menahanku. "Bungkam dia," bisik Kenji pada gadis itu sambil bersusah payah memegangku agar tak bisa bergerak. Dan di bawah kekuatan tangan gadis itu, duniaku pun mulai berputar-putar dan kembali gelap. Ketika sadar untuk yang kedua kalinya, aku yakin sekali kalau aku sudah mati. Aku tidak dapat melihat maupun mendengar apa pun. Keadaannya sangat gelap dan sunyi. Lalu aku mulai tenang kembali. Seluruh tubuhku mati rasa. Tenggorokanku lecet, tanganku sakit berdenyut-denyut, pergelangan tanganku terluka, dan tanganku terikat. Aku berusaha duduk, namun tanganku yang terikat di belakang membuat gerakanku tertahan. Aku menggeleng-gelengkan kepala, tapi kain penutup mataku tidak juga terlepas. Dan yang membuat aku ketakutan adalah aku tak bisa mendengar. Tapi aku langsung bersyukur begitu tahu bahwa aku tidak biss mendengar karena ada yang menyumbat telingaku. Ketika ada yang menyentuh wajahku, aku langsung terloncat kaget. Kain penutup mataku dibuka dan aku melihat Kenji sedang berlutut di sampingku. Ada lampu minyak di sebelah Kenji, cahaya lampu itu menerangi wajahnya. Aku menyimpulkan kalau dia berbahaya. Dia pernah bersumpah untuk melindungiku dengan nyawanya. Tapi kini aku yang ingin terlindung darinya. Mulutnya bergerak saat dia berbicara. "Aku tak bisa mendengar," ujarku, "Cabut dulu sumbatnya." Kenji mencabut sumbat telingaku, dan duniaku pun kembali. Selama beberapa saat aku diam, berusaha memulihkan diri. Aku mendengar arus sungai di kejauhan, berarti aku masih di Inuyama. Rumah ini sunyi senyap, semua orang telah tertidur selain beberapa penjaga. Aku mendengar mereka berbisik di balik gerbang kastil. Kurasa hari telah larut malam karena terdengar dentang lonceng malam dari biara yang tidak begitu jauh. Aku masih di dalam kastil. "Maaf telah menyakitimu," kata Kenji. "Kau tidak perlu melawan kami terlalu keras." Marahku hampir meledak, tapi aku berusaha untuk mengendalikannya. "Di mana aku?" "Rumah salah seorang anggota Tribe. Satu atau dua hari lagi kami akan membawamu keluar dari ibukota." Suaranya yang tenang membuatku semakin marah. "Saat malam pengangkatanku kau mengatakan tak akan mengkhianati Shigeru. Ingat?" Kenji menghela napas. "Malam itu kami berbicara tentang kewajiban yang saling bertentangan. Shigeru tahu aku akan mendahulukan Tribe. Aku telah mengingatkan dia kalau Tribe juga berkepentingan padamu dan, cepat atau lambat, mereka akan mengambilmu." "Kenapa sekarang?" tanyaku tajam. "Kau kan bisa membiarkan aku satu malam lagi." "Secara pribadi aku bisa memberimu kesempatan itu. Namun, kejadian di Yamagata membuat banyak hal berada di luar kendaliku. Lagi pula, sekarang ini kau pasti sudah mati dan tidak berguna lagi bagi siapa-siapa bila Tribe tidak segera mengambilmu." "Aku bisa membunuh Iida lebih dulu," gerutuku. "Itu juga telah dipertimbangkan," kata Kenji, "dan itu dianggap tidak ada untungnya bagi Tribe." "Banyak dari kalian yang bekerja pada Iida?" "Kami bekerja pada orang yang bisa membayar dengan lebih baik. Kami menginginkan masyarakat yang stabil, dan itu sulit terwujud jika terjadi perang. Iida memang kejam, tapi keadaan tetap stabil. Dia cocok dengan tujuan kami." "Jadi, selama ini kau telah menipu Shigeru?" "Dia juga sering menipuku." Setelah diam, Kenji melanjutkan, "Sejak awal Shigeru sudah ditakdirkan untuk mati. Banyak penguasa yang ingin menyingkirkan dia. Sungguh luar biasa dia masih bisa bertahan sampai sekarang." Rasa takut menjalari diriku. "Dia tidak boleh mati," bisikku. "Iida akan melakukan apa saja untuk dapat membunuhnya," ujar Kenji lembut. "Shigeru terlalu berbahaya bila dibiarkan hidup. Selain telah menyinggung Iida secara pribadi-karena memiliki hubungan dengan Lady Maruyama dan mengangkatmu-kejadian di Yamagata juga membuat Tohan waspada." Lampu di ruangan berkelap-kelip dan berasap. Kenji menambahkan, "Masalah yang ada pada Shigeru adalah karena semua orang begitu mencintainya." "Kita tidak boleh meninggalkan dia! Ijinkan aku kembali padanya." "Aku tak berhak memutuskan," kata Kenji. "Bahkan jika aku yang berhak memutuskan, aku tak akan melepasmu sekarang. Iida sudah tahu kau berasal dari Hidden. Dia akan menyerahkanmu pada Ando, seperti yang telah dia janjikan. Shigeru akan mati secara ksatria, cepat, dan terhormat. Sedangkan kau akan disiksa: kau sudah tahu apa yang bisa mereka lakukan." Aku tidak berkata lagi. Kepalaku masih sakit, dan perasaan gagal yang sulit kutanggung ini merayap ke dalam diriku. Tujuanku hanya satu, ibarat tombak yang tertuju ke satu sasaran. Tangan yang tadinya memegangku dilepaskan dan aku pun jatuh, tak berdaya. "Menyerah sajalah, Takeo," kata Kenji sambil menatapku. "Semuanya telah berakhir." Aku mengangguk perlahan, pura-pura setuju, "Aku haus." "Akan kubuatkan teh. Itu bisa membantumu tertidur. Kau ingin makan sesuatu?" "Tidak. Bisakah kau lepaskan aku?" "Tidak malam ini," jawab Kenji. Aku melayang di antara rasa kantuk dan terjaga, dan aku mencari posisi yang nyaman untuk berbaring dalam keadaan tangan dan kaki terikat. Aku yakin dia tahu kalau aku akan kabur bila dilepas. Hanya pikiran itulah yang bisa membuatku tenang, walaupun tidak lama. Hujan turun di saat fajar. Aku mendengar aliran air yang membanjiri selokan dan menetes dari tepi atap. Tak lama kemudian ayam mulai berkokok dan kota mulai terjaga dari tidurnya. Terdengar para pelayan berlalu-lalang di sekitar rumah, dan tercium bau asap dari dapur. Aku juga mendengar suara dan langkah kaki, berusaha menghitung jumlah mereka dan mengirangira denah rumah ini, membayangkan letaknya dari jalan dan apa saja yang ada di kedua sisi rumah ini. Dari bau dan suaranya, aku menduga tempat ini adalah gudang pembuatan sake, di salah satu rumah besar di sudut kota kastil. Ruanganku tidak berjendela. Ukurannya sesempit tempat tidur belut dan tetap gelap, walaupun di luar matahari bersinar terang. Pernikahan Lord Shigeru akan dilangsungkan dua hari lagi. Apakah Shigeru akan bertahan setelah pernikahan? Dan jika dia dibunuh sebelum hari pernikahan, apa yang akan terjadi pada Kaede? Semua pikiran di kepalaku hanya membuatku kian tersiksa. Bagaimana Lord Shigeru menjalani sisa dua harinya? Apa yang sedang dia lakukan saat ini? Apakah dia juga memikirkan diriku? Membayangkan kalau Lord Shigeru mengira aku melarikan diri sangat menyiksaku. Dan bagaimana pendapat pengawal Otori? Mereka pasti akan membenciku. Aku memanggil Kenji karena aku perlu ke kamar mandi. Dia melepaskan ikatan kakiku dan mengantarku ke kamar mandi. Kami berjalan dari ruangan sempit ini ke ruangan lebih luas, dan menaiki anak tangga ke halaman belakang. Seorang pelayan datang membawa semangkuk air, lalu mencucikan tanganku. Ada banyak darah di tubuhku, darah sebanyak itu tidak mungkin berasal dari luka karena terkena paku. Aku pasti telah melukai seseorang dengan belati. Aku ingin tahu di manakah belatiku saat ini. Ketika kembali ke ruangan rahasia, Kenji tak lagi mengikat kakiku. "Apa yang akan terjadi?" tanyaku. "Cobalah tidur lebih lama. Tak akan terjadi apa-apa hari ini." "Tidur! Aku tidak mau tidur lagi!" Kenji menatapku dengan tatapan menyelidik, lalu berkata, "Semuanya akan segera berlalu." Jika tanganku tidak terikat, pasti sudah kubunuh dia. Kuterkam dia dengan mengayunkan tanganku yang masih terikat. Gerakanku membuatnya kaget, dan kami melayang, tapi secepat ular dia berbalik sehingga aku yang tertindih badannya. Bila tadinya hanya aku yang marah, maka sekarang dia juga marah. Aku pernah melihat dia marah, tapi sekarang ini dia murka. Dia memukul wajahku dua kali, begitu keras pukulannya hingga gigiku bergetar dan kepalaku pusing. "Menyerah sajalah!" teriaknya. "Akan kuhajar kau bila terpaksa. Itukah yang kau mau?" "Ya!" aku balas berteriak. "Pukul dan bunuh saja aku. Hanya itu yang dapat menahanku di sini!" Aku melengkungkan punggung dan berguling ke belakang, menjegal tubuhnya, dan berusaha menendang dan menggigitnya. Dia memukulku lagi, tapi aku berhasil menghindar dan, sambil menyumpahi dirinya, aku hempaskan tubuhku ke tubuhnya. Terdengar langkah kaki dari luar, kemudian pintu terbuka. Gadis dari Yamagata dan seorang pemuda berlari masuk. Akhirnya mereka bertiga menahanku, tapi karena aku begitu marah sehingga mereka perlu waktu untuk bisa mengikat kakiku. Darah Kenji mendidih karena murka. Gadis dan pemuda itu menatapku, lalu menatap Kenji, kemudian menatapku lagi. "Guru," kata gadis itu, "Biar kami yang mengawasi dia. Kau perlu istirahat." Jelas sekali kalau mereka sangat kaget dan terpana melihat Kenji kehilangan kendali. Aku dan Kenji telah bersama selama beberapa bulan sebagai guru dan murid. Dia telah mengajarkan hampir semua yang dia tahu, dan aku patuh tanpa banyak tanya. Selama ini aku telah terbiasa dengan sikapnya yang cerewet, kasar, tapi juga sederhana. Aku telah menyingkirkan rasa curigaku yang ada saat pertama kali berjumpa dengannya, dan aku mulai mempercayainya. Kini semuanya telah hancur, dan tak akan bisa diperbaiki lagi. Dia berlutut di depanku, memegang kepalaku dan memaksaku untuk menatapnya. "Aku berusaha menyelamatkan nyawamu!" teriaknya. "Bisakah kau pahami itu dalam batok kepalamu yang keras ini?" Aku meludahinya, dan berusaha menguatkan diri untuk menerima sebuah pukulan lagi, tapi pemuda itu menahannya. "Pergilah, guru," pemuda itu mendesaknya. Kenji lalu melepasku, kemudian berdiri. "Apakah kepala batu dan darah sintingmu itu kau peroleh dari ibumu?" ujarnya. Sewaktu di pintu dia berbalik dan berkata, "Awasi terus. Jangan lepas ikatannya." Setelah kepergiannya, ingin rasanya aku menjerit dan menangis seperti anak kecil yang marah. Air mata kemarahan dan putus asa menusuk kelopak di mataku. Aku berbaring di kasur, lalu membalikkan wajah ke dinding. Gadis itu keluar, kemudian datang membawa air dingin dan sehelai kain. Dia membantuku duduk, lalu membasuh wajahku. Bibirku robek, dan aku dapat merasakan memar di sekitar mata dan leherku. Dia membasuh dengan lembut, dan ini membuatku tahu kalau dia bersimpati padaku, meskipun dia tidak mengatakan apa-apa. Pemuda yang menjagaku hanya diam. Gadis itu memberiku teh dan makanan. Kuhirup tehnya, tapi menolak untuk makan. "Di mana belatiku?" tanyaku. "Kami simpan," jawabnya. "Apakah aku melukaimu?" "Bukan aku, tapi Keiko. Dia dan Akio terluka di tangan, tapi tidak parah." "Ingin sekali kubunuh kalian semua." "Aku tahu," balasnya. "Tidak ada yang mengatakan kalau kau tidak bertarung mati-matian melawan kami. Hanya saja, kau menghadapi lima orang Tribe. Jadi, kau tidak perlu malu." Sebaliknya, rasa malu meresap ke dalam diriku, seakan-akan rasa malu telah menodai tulangku yang putih. Hari yang panjang ini akhirnya berlalu, meskipun terasa lambat dan mencekam. Lonceng malam baru saja berdentang dari biara di ujung jalan saat Keiko mendekat ke pintu dan berbisik pada kedua orang yang menjagaku. Sebenarnya, aku bisa mendengar kata-katanya dengan jelas, tapi di luar kebiasaan, aku seakanakan tidak mendengar. Orang yang bernama Kikuta, menurutnya, akan datang melihatku. Tak lama kemudian datang Kenji dan seorang lakilaki kurus yang tidak begitu tinggi. Mereka mirip, penampilan mereka berubah-ubah sehingga sulit dikenali dengan pasti. Hanya saja dia berkulit lebih gelap, mirip kulitku. Rambutnya hitam, meskipun usianya sudah sekitar empat puluh tahun. Dia menatapku sambil berdiri, lalu mendekat dan berlutut di sampingku. Sama seperti yang Kenji lakukan ketika pertama kali bertemu denganku, dia meraih kedua tanganku dan membalikkannya, melihat telapak tanganku. "Mengapa dia diikat?" tanya orang itu. Suaranya biasa, sulit memastikan asalnya, meskipun terkesan ada logat daerah utara. "Dia berusaha kabur, ketua," kata si gadis. "Kini dia lebih tenang, tadi dia sangat liar." "Kenapa hendak kabur?" Dia berkata. "Ini kan kerabatmu." "Kalian bukan kerabatku," balasku. "Sebelum tahu tentang Tribe, aku telah memberi janji setia kepada Lord Otori. Aku telah resmi diangkat menjadi anggota klan Otori." "Uhhh," gerutunya. "Kudengar bangsawan Otori itu memanggilmu Takeo. Itu nama aslimu?" Aku tidak menjawab. "Dia dibesarkan di antara kaum Hidden," kata Kenji perlahan. "Nama aslinya Tomasu." Kikuta mendesis melalui giginya. "Nama itu memang sebaiknya dilupakan," katanya. "dan untuk sementara, kau tetap pakai nama Takeo, meskipun itu bukan nama Tribe. Kau tahu siapa aku?" "Tidak," kataku, walaupun aku bisa menebak. "Tidak, ketua." Pemuda yang menjagaku sudah tidak tahan untuk memarahiku. Kikuta tersenyum. "Apakah kau tidak mengajari dia sopan-santun, Kenji?" "Sopan santun hanya diberikan pada orang yang pantas menerimanya," jawab Kenji. "Kelak dia akan pantas diajari sopan-santun. Aku adalah kepala keluargamu, Kikuta Kotaro. Aku sepupu pertama ayahmu." "Aku tidak pernah mengenal ayahku, dan aku tak pernah menggunakan namanya." "Tapi kau mewarisi semua kelebihan Kikuta: pendengaran yang tajam, kemampuan seni, dan kemampuan lainnya yang kau miliki. Begitu juga dengan garis di telapak tanganmu. Itu semua bukan sesuatu yang dapat kau hindari." Secara samar-samar aku mendengar langkah kaki di pintu toko yang letaknya di bawah tempat aku disekap. Aku mendengar ada yang menggeser pintu agar terbuka, lalu bicara, tidak begitu penting, hanya bicara tentang sake. Kikuta berbalik perlahan. Aku merasakan sesuatu: awal dari suatu pengakuan. "Kau juga mendengarnya?" tanyaku. "Tidak sebanyak yang kau dengar. Pendengaranku semakin berkurang seiring bertambahnya usia. Tetapi masih cukup baik hingga saat ini." "Ada biarawan muda di Terayama yang mengatakan bahwa pendengaranku 'Seperti anjing'." Aku berkata dengan nada pahit. "'Berguna bagi tuanmu,' begitu yang dia katakan. Itukah alasannya kau menculikku, karena aku berguna untukmu?" "Bukan itu alasannya," ujar Kepala Kikuta itu. "Tapi karena kau terlahir sebagai Tribe. Di sinilah tempatmu. Kau tetap menjadi keluarga kami meskipun kau tidak mewarisi sifat Tribe. Kalau pun kau memiliki semua kemampuan yang ada di dunia, tapi kau tidak terlahir sebagai Tribe, maka bukanlah keluarga kami, dan kami pun tak akan berurusan denganmu. Tapi, karena ayahmu seorang Kikuta, maka kau adalah Kikuta." ''Aku tidak punya pilihan?" Dia kembali tersenyum. "Menjadi Tribe bukan sesuatu yang bisa kau pilih, sama halnya dengan memiliki kemampuan pendengaran yang tajam." Entah mengapa, orang ini membuatku tenang, sama seperti ketika aku menenangkan kudaku: dia memahami sifatku. Belum pernah aku bertemu orang yang tahu bagaimana rasanya menjadi Kikuta. Dia membangkitkan ketertarikanku. "Bila aku menerima; apa yang akan kau lakukan padaku?" ''Akan kucarikan kau tempat yang aman, jauh dari Tohan, agar kau bisa menuntaskan latihanmu." "Aku tidak ingin berlatih lagi. Aku sudah muak dengan guru!" "Muto Kenji dikirim ke Hagi karena dia sahabat Shigeru. Dia telah mengajarimu banyak hal, tapi Kikuta harus diajarkan oleh Kikuta." Aku tidak mendengarkan kalimat selanjutnya. "Sahabat? Dia telah menipu Shigeru!" Suara Kikuta berubah pelan. "Kau memiliki kemampuan yang luar biasa, Takeo, dan tak ada orang yang meragukan keberanian dan ketulusanmu. Hanya saja kepalamu yang perlu kau kuasai. Kau harus belajar mengendalikan emosi." 'Agar aku dapat mengkhianati sahabatku, seperti yang Muto Kenji lakukan?" Saat-saat tenang segera berlalu. Rasa marahku kembali meledak. Kuserahkan diriku pada rasa marah karena hanya marah yang bisa menyapu rasa malu yang kini kurasakan. Kedua penjaga di dekatku bersiap menahanku, namun Kikuta melambaikan tangannya sehingga mereka tidak jadi menahanku. Dan, dia mengambil tali ikatanku dan menggenggamnya erat. "Lihat aku," katanya. Meskipun enggan, mataku menatap matanya. Aku merasa terhanyut dalam lautan emosi, dan hanya mata orang itu yang mampu menahanku agar tidak tenggelam ke dasarnya. Perlahan-lahan marahku reda. Rasa letih mengambil alih diriku. Aku tak mampu menahan rasa kantuk yang datang seperti gumpalan awan di puncak gunung. Kikuta terus menatapku, mataku tertutup, dan aku pun ditelan kabut. Hari beranjak siang sewaktu aku terbangun. Cahaya matahari masuk ke ruangan di atas ruangan tempatku disekap sehingga memantulkan cahaya jingga di tempatku berbaring. Aku tak percaya bila hari telah siang lagi: aku pasti tertidur seharian. Ada seorang gadis duduk di lantai, tidak jauh dariku. Aku pun menyadari kalau pintu baru saja digeser agar tertutup karena bunyi itu yang membuatku terbangun. Orang lain yang menjagaku pasti baru saja keluar. "Siapa namamu?" tanyaku. Suaraku tercekat, tenggorokanku masih sakit. "Yuki." "Dan pemuda tadi?" Pemuda itu yang aku lukai tangannya, menurut pengakuan Yuki beberapa waktu lalu. "Apa yang dia lakukan padaku?" "Ketua Kikuta? Dia hanya membuatmu tidur. Itu salah satu kemampuan Kikuta." Aku teringat anjing-anjing yang ada di Hagi. Salah satu kemampuan Kikuta... "Waktu apa sekarang?" tanyaku. "Separuh pertama dari Waktu Ayam Jago*." "Ada kabar lain?" "Tentang Lord Otori? Tidak ada." Kemudian dia mendekat dan berbisik, "Kau ingin aku mengantarkan pesan untuknya?" Aku menatapnya. "Kau bisa?" "Aku bekerja sebagai pelayan di tempat tinggalnya, seperti yang kulakukan di Yamagata." Dia melayangkan tatapan yang penuh arti. "Aku akan coba menemuinya malam ini atau esok pagi." "Sampaikan bahwa aku dibawa dengan paksa. Sampaikan permintaan maafku... " Aku sulit menyusun kata-kata. Aku memotong, "Mengapa kau lakukan ini?" Dia menggelengkan kepala, tersenyum, dan menunjukkan kalau kami jangan berbicara lagi. Akio kembali masuk ke ruangan. Salah satu tangannya dibalut dan dia memperlakukan aku dengan dingin. Mereka membuka ikatan kakiku dan membawaku ke kamar mandi, melepas bajuku, dan membantuku masuk ke bak yang berisi air panas. Aku bergerak seperti orang lumpuh, semua ototku sakit. "Itulah yang kau lakukan saat kau marah," kata Yuki. "Kau telah menyakiti dirimu dengan kekuatan yang kau miliki." "Itu alasannya kau harus belajar menahan diri," Akio menambahkan. "Jika tidak, kau akan membahayakan orang lain, sama seperti yang kau lakukan pada dirimu." Saat membawaku kembali ke ruangan, Akio berkata, "Kau telah melanggar semua aturan Tribe dengan ketidakpatuhanmu. Semoga rasa sakitmu bisa menjadi hukuman buatmu." Ternyata Akio bukan hanya marah karena kulukai: dia juga benci dan cemburu padaku. Namun, aku tak peduli. Sakit kepalaku semakin menusuk, dan meskipun marahku telah reda, tapi kini rasa duka yang menggantikannya. Menganggap aku sudah tenang, mereka biarkan aku tidak terikat. Kondisikulah yang rnembuat aku tak bisa pergi ke mana-mana. Aku hampir tak bisa berjalan, apalagi memanjat dinding dan atap. Aku hanya makan sedikit, inilah pertama kalinya aku makan sejak dua hari di sini. Yuki dan Akio pergi, dan digantikan oleh Keiko dan pemuda yang bernama Yoshinori. Tangan Keiko juga dibalut. Mereka berdua, sama seperti Akio, memperlakukanku dengan tidak bersahabat. Kami semua bungkam. Aku teringat Lord Shigeru, dan berharap Yuki berhasil menyampaikan pesanku. Dan tanpa sadar aku berdoa dengan cara kaum Hidden, semua kata-kata keluar begitu saja dari mulutku. Aku telah menyerap semua doa itu sejak bayi. Layaknya anak-anak, aku membisikkan kata-kata itu pada diriku dan sepertinya doaku itu membuatku tenang karena tak lama kemudian aku tertidur pulas. Tidur membuatku segar. Ketika terbangun, hari telah berganti pagi. Tubuhku mulai pulih dan aku dapat bergerak tanpa terasa sakit. Yuki sudah datang, dan ketika melihatku bangun, dia meminta Akio melakukan sesuatu. Sepertinya dia lebih tua dan juga mempunyai wewenang atas mereka. Dia langsung mengatakan berita yang selama ini kutunggu. "Semalam aku sempat berbicara dengan Lord Otori. Dia sangat lega mendengar kau dalam keadaan baik-baik saja. Dia takut kau tertangkap atau dibunuh orang Tohan. Dia menitipkan surat dan berharap kau dapat membalasnya." "Kau membawanya?" Yuki mengangguk. "Dia juga membawakan sesuatu untukmu, aku menyembunyikannya di lemari." Dia menggeser pintu lemari tempat menyimpan alas tidurku, dan dari balik selimut, dia mengeluarkan sebuah bungkusan yang panjang. Aku mengenali kain pembungkusnya: itu adalah baju yang Lord Shigeru pakai ketika menyelamatkanku di Mino. Yuki meletakkan bungkusan itu di tanganku dan kuangkat ke depan wajahku. Ada sesuatu yang keras di dalamnya. Aku tahu isi bungkusan ini. Aku membentangkan pakaian itu dan mengangkat Jato. Serasa mati dalam duka yang mendalam, air mataku berlinang: aku tak kuasa menahannya. Yuki berkata dengan lembut, "Dia akan pergi menikah tanpa membawa senjata. Shigeru tak ingin pedang ini hilang jika dia tidak kembali dari sana." "Dia tak akan pernah kembali," kataku, air mata mengalir deras di pipiku seperti arus sungai. Yuki mengambil Jato dari tanganku dan membungkusnya. Dia menyimpannya ke dalam lemari. "Mengapa kau lakukan ini?" kataku. "Kau telah melanggar aturan Tribe?" "Aku berasal dari Yamagata," balasnya. "Aku di sana saat Takeshi dibunuh. Keluarga kekasihnya yang mati bersamanya-anak mereka adalah teman bermainku. Ketika di Yamagata, kau bisa melihat betapa besar cinta orang-orang di sana pada Shigeru. Aku juga salah seorang di antara mereka. Dan aku yakin Kenji, ketua Muto, salah menilai kalian." Ada nada menantang dalam suaranya, dia mirip anak yang sedang marah dan memberontak. Aku tak bertanya lagi. Aku hanya bersyukur atas apa yang telah dia lakukan untukku. "Berikan suratnya," kataku setelah itu. Shigeru belajar menulis langsung dari Ichiro dan tulisannya sangat rapi, sesuatu yang sulit kupelajari: Takeo, akulah orang yang paling bahagia mendengar kau selamat. Tak ada yang perlu disesalkan. Aku tahu kau tak akan mengkhianatiku, dan aku pun tahu Tribe akan berusaha mengambilmu. Ingatlah aku kelak. Lalu isi suratnya... Takeo, karena beberapa alasan kita tidak bisa meneruskan rencana kita. Aku sangat menyesal, tapi juga lega karena tidak jadi mengirimmu ke kematian. Aku percaya kau harus bersama Tribe, maka takdirmu di luar kuasaku. Namun, kau juga anakku dan satu-satunya pewarisku. Kuharap kelak kau menjadi penerus klan Otori. Jika aku mati di tangan Iida, kuminta kau membalaskan kematianku, tapi jangan berduka karena aku akan mendapatkan lebih banyak bila aku mati. Bersabarlah. Aku juga memintamu untuk menjaga Lady Shirakawa. Ikatan di masa lalu pasti akan memperkuat perasaan kita. Aku senang kita bertemu di Mino. Salam peluk. Ayah angkatmu, Shigeru. Surat ini dibubuhi cap. "Para pengawal Otori yakin kalau kau dan guru Muto dibunuh," kata Yuki. "Mereka tak percaya kau meninggalkan Shigeru dengan begitu saja. Kurasa kau perlu tahu itu." Aku mengenang mereka, orang-orang yang selalu mengganggu sekaligus memanjakanku, mengajarkan dan menjagaku. Mereka sangat bangga padaku, dan masih tetap berpikir yang terbaik tentangku. Mereka pasti akan mati, dan ini membuatku iri karena mereka akan mati bersama Shigeru, sedangkan aku dihukum untuk tetap hidup, dan dimulai dengan hari yang buruk. Setiap ada suara di luar membuatku terjaga. Suatu ketika, tak lama setelah tengah hari, aku mendengar bunyi pedang beradu dan teriakan beberapa orang, tapi tidak ada yang memberitahukan tentang kejadian itu. Kesunyian yang mencekam dan tidak biasa melanda seluruh kota. Satu-satunya yang membuatku tenang adalah Jato yang diletakkan tersembunyi, tak jauh dariku. Aku sering berpikir untuk mengambilnya dan berusaha keluar dari sini, namun pesan terakhir Lord Shigeru memintaku bersabar. Kemarahan telah membuatku bersedih, tapi kini, saat air mataku mengering, rasa sedih memperkuat tekadku. Iida harus mati lebih dulu dariku. Sekitar Waktu Monyet, aku mendengar suara Yuki di bawah. Jantungku berhenti berdetak, sadar kalau aku akan mendapat kabar mengenai peristiwa di kastil. Aku sedang di ruangan bersama Keiko dan Yoshinori ketika Yuki datang dan menyuruh mereka pergi. Dia berlutut di sampingku, lalu dia menggenggam kedua tanganku. "Muto Shizuka mengirim pesan dari kastil, dan tak lama lagi ketua akan menemuimu." "Shigeru mati?" "Tidak, lebih buruk: dia ditangkap. Nanti mereka yang akan mengatakan kepadamu." "Dia bunuh diri?" Yuki bimbang. Dia berkata tanpa menoleh padaku. "Iida menuduh Shigeru adalah anggota Hidden-dan juga menyembunyikan orang Hidden. Ando menuntut agar dia dihukum. Lord Iida mencabut hak-hak istimewa Lord Shigeru sebagai ksatria dan memperlakukan dia seperti penjahat biasa." "Iida tak akan berani," kataku. "Dia telah melakukannya." Ketika mendengar ada langkah kaki mendekat dari luar, kemarahan dan shock mengirimkan energi yang membanjiri tubuhku. Aku meloncat ke lemari untuk mengambil Jato, dan menariknya dari sarung. Kupegang Jato dengan erat. Kuangkat Jato ke atas kepalaku. Kenji dan Kikuta masuk. Mereka berjalan perlahan ketika melihat Jato ada di tanganku. Kikuta langsung meraih belati dari balik kimononya, Kenji diam tak bergerak. "Aku tak akan menyerangmu," kataku pada Kenji. "Meskipun kau layak mati. Aku akan bunuh diri... " Kenji memutar bola matanya ke atas. Kikuta berkata lembut, "Kami harap kau tidak mengambil jalan itu." Dan tak berapa lama dia melanjutkan dengan nada tidak sabar. "Duduklah Takeo. Kau sudah menjelaskan maksudmu." Kami semua berlutut di lantai. Aku meletakkan Jato di sampingku. "Kulihat Jato menemukanmu," kata Kenji. "Seharusnya aku sudah bisa menduganya." "Aku yang membawanya, guru," kata Yuki. "Bukan kau, pedang itu yang memanfaatkanmu. Pedang itu yang berpindah dari tangan ke tangan hingga sampai ke dia. Seharusnya aku tahu: pedang itu yang membuatku mencari Shigeru setelah perang Yaegahara." "Di mana Shizuka?" tanyaku. "Di kastil. Dia tidak bisa datang. Terlalu berbahaya bila dia datang hanya untuk menyampaikan pesan, tapi dia ingin kami tahu apa yang terjadi, dan menanyakan apa yang akan kita lakukan." "Kemarin Lady Maruyama, anak serta pelayannya, berusaha melarikan diri dari kastil." Suara Kikuta datar, tidak semangat. "Dia menyuap pemilik perahu untuk membawa mereka ke seberang sungai. Sayangnya dia dikhianati dan dihadang. Ketiga wanita itu menceburkan diri ke sungai, dan hanya si pelayan yang selamat. Padahal lebih baik seandainya dia tenggelam karena dia akhirnya disiksa. Dia lalu membocorkan hubungan Lady Maruyama dengan Shigeru, dan persekutuan mereka dengan Arai, serta hubungan Lady Maruyama dengan kaum Hidden." "Pernikahan tetap dilangsungkan sampai Shigeru tiba di kastil," ujar Kenji. "Setelah pengawal Otori di dalam kastil, mereka lalu dibunuh dan Shigeru dituduh berkhianat." Dia diam sejenak, lalu melanjutkan dengan lirih. "Saat ini Shigeru digantung di dinding kastil." "Katakan." "Disalib?" bisikku. ' "Kedua lengannya digantung." Aku menutup mata, membayangkan rasa sakit, bahu yang terlepas dari sendinya, mati secara perlahan. Ini adalah penghinaan yang sangat dahsyat. "Kematian secara ksatria, cepat dan terhormat, ya?" kataku, menyindir pada Kenji. Dia tidak membalas. Wajahnya, yang biasanya bergerak-gerak, kini tegang, kulitnya pucat, putih. Kusentuh Jato. Aku berkata pada Kikuta, "Aku mempunyai syarat sebelum bergabung dengan Tribe. Aku yakin kalian bekerja pada orang yang mau membayar paling tinggi. Dan aku akan membayar kalian dengan sesuatu yang kalian inginkan, jiwa dan ragaku. Ijinkan aku menurunkan Shigeru malam ini. Jika kembali dengan selamat, aku akan melepas nama Otori dan bergabung dengan Tribe. Jika kalian tidak setuju, aku akan bunuh diri saat ini juga. Aku tak akan keluar dari sini hidup-hidup." Dua ketua saling bertukar pandang. Kenji mengangguk. Kikuta berkata, "Aku terima syaratmu karena situasinya telah berubah, dan kelihatannya kita menemui jalan buntu." Tiba-tiba, terdengar keriuhan dari jalan, orang-orang berlarian dan suara-suara teriakan. Kami berdua mendengarkan sebagaimana yang Kikuta selalu lakukan. Suara-suara tadi menghilang, lalu dia melanjutkan, "Kuijinkan kau pergi ke kastil malam ini." "Aku akan ikut bersamanya," kata Yuki, "aku akan menyediakan semua keperluan." "Jika guru Muto setuju," lanjutnya lagi. "Boleh," kata Kenji, "Aku juga akan ikut bersama kalian." "Kau tidak perlu ikut," kataku. "Aku akan tetap ikut." "Kalian tahu di mana Arai sekarang?" tanyaku. Kenji berkata, "Sekali pun berjalan semalaman, dia tidak akan tiba sebelum fajar." "Tapi dia dalam perjalanan?" "Shizuka yakin dia tidak akan menyerang kastil. Satu-satunya harapan yaitu memancing Iida berperang di perbatasan." "Dan Terayama?" "Mereka akan bangkit jika mendengar perlakuan biadab Iida," kata Yuki. "Begitu juga Yamagata." "Pemberontakan tak akan berhasil bila Iida masih hidup, tapi ini bukan urusan kita," kata Kikuta dengan marah. "Kau boleh mengeluarkan Shigeru, hanya itu kesepakatan kita, tidak lebih." Aku tidak bicara lagi. Bila Iida masih hidup... Hujan turun lagi, suara-suara lembut menyelimuti kota ini, membasuh atap dan jalan berbatu, menyegarkan udara yang pengap. "Bagaimana keadaan Lady Shirakawa?" tanyaku. "Menurut Shizuka, dia masih shock, tapi dia tetap tenang. Mereka tidak mencurigai dia, selain dituduh membawa sial. Semua orang mengatakan kalau dirinya dikutuk, tapi dia dianggap tidak terlibat dalam rencana pemberontakan. Sachie ternyata lebih lemah dari yang Tohan duga, dia mati tanpa sempat mengungkap keterlibatan Shizuka." "Dia mengatakan tentang aku?" Kenji menghela napas, "Dia hanya tahu bahwa kau adalah orang Hidden yang ditolong oleh Shigeru, sama seperti yang telah Iida tahu. Iida dan Ando menganggap pengangkatanmu murni hanyalah untuk menghina mereka. Mereka tidak curiga kalau kau adalah anggota Tribe, dan mereka juga tidak tahu kemampuan yang kau miliki." Ini menguntungkan. Apalagi malam ini begitu gelap. Hujan yang reda telah berganti dengan kabut disertai gerimis, awan mendung menggumpal, dan bulan serta bintang tidak menampakkan diri. Tidurku yang pulas karena pengaruh Kikuta telah membakar habis sifat lembutku dan yang tertinggal hanyalah sepotong baja dalam diriku. Diriku kini persis seperti apa yang kulihat pada diri Kenji yang sebenarnya, kejam seperti Jato. Setelah kami menyiapkan semua perlengkapan dan juga pakaian, aku berlatih untuk melemaskan ototku. Ototku masih kaku, walaupun sudah berkurang sakitnya. Pergelangan tangan kananku masih terasa mengganggu. Saat mengangkat Jato, sakitnya terasa hingga ke sikut. Akhirnya Yuki melilitkan pelindung tangan yang terbuat dari kulit. Saat paruh kedua Waktu Anjing*, setelah makan, kami lalu duduk diam untuk mengatur napas dan aliran darah. Kami mematikan lampu kamar agar ketajaman penglihatan di malam hari dapat meningkat. Jam malam mulai diberlakukan, para pengawal berkuda berkeliling mengawasi setiap ruas jalan, memerintahkan penduduk masuk ke rumah, dan jalan jalan pun sunyi. Rumah mulai melantunkan lagunya di malam hari: bunyi piring yang dicuci, anjing diberi makan, beberapa penjaga yang sedang duduk mengawasi. Aku mendengar langkah pelayan ketika membentangkan alas tidur, bunyi sempoa dari ruang depan saat si pemilik rumah menghitung penghasilannya hari ini. Alunan malam mulai berkurang dan nadanya menjadi teratur: tarikan napas orang yang tidur, umumnya dengkuran, dan kadang desahan. Suara-suara orang dalam keseharian sangat menyentuh jiwaku. Aku memikirkan keinginan ayahku untuk hidup seperti orang biasa. Menangiskah dia saat aku lahir? Setelah menyuruh Yuki meninggalkan kami berdua, Kenji lalu duduk di sampingku. Dia berkata dalam nada rendah, "Shigeru dituduh memiliki kaitan dengan Hidden-seberapa jauh keterlibatannya?" "Dia tidak pernah mengatakannya, selain mengganti namaku, dan memperingatkanku agar tidak berdoa." "Rumor mengatakan kalau dia tidak menyangkal keterlibatannya; dia juga menolak untuk menjelek-jelekkan Hidden," suara Kenji bingung, nyaris kesal. "Saat pertama kali bertemu, Lady Maruyama menggambar simbol Hidden di tanganku," kataku perlahan. "Banyak sekali yang Shigeru sembunyikan," kata Kenji, "Kupikir aku mengenalnya!" "Dia tahu Lady Maruyama sudah meninggal?" "Iida pasti sudah mengatakan padanya dengan senang." Aku memikirkan hal ini selama beberapa saat. Aku tahu Shigeru akan menolak untuk menyangkal kepercayaan yang selama ini dianut Lady Maruyama. Terlepas Shigeru percaya atau tidak, dia tak akan mau digertak Iida. Dan hingga saat ini dia tetap memegang janjinya pada Lady Maruyama sewaktu di Chigawa. Dia tidak akan menikahi wanita lain dan dia tak akan hidup tanpa Lady Maruyama. "Tak kusangka Iida akan memperlakukan dia seperti itu," kata Kenji. Kurasa dia berusaha memaafkan dirinya, tapi pengkhianatannya terlalu sulit untuk dimaafkan. Walaupun senang dan bersyukur dia akan menyertaiku malam ini, tapi setelah ini aku tidak mau lagi bertemu dengannya. "Ayo kita lepaskan Shigeru," kataku. Aku berdiri dan memanggil Yuki dengan pelan. Dia datang, dan kami pun segera mengenakan pakaian malam Tribe yang berwarna gelap, lalu menutup wajah dan tangan karrrl sehingga tak seinci pun kulit yang terlihat. Kami mengambil garrotte, tali dan pengait besi, belati panjang dan pendek, dan juga kapsul racun yang mematikan. Ketika aku mengambil Jato. Kenji berkata, "Tinggalkan saja benda itu. Kau tidak akan dapat memanjat dinding dengan pedang panjang itu." Aku tidak mengacuhkan perintahnya. Aku tahu apo yang kuperlukan. Rumah tempatku disekap terletak di sebelah barat kastil, di antara rumah-rumah pedagang di sisi utara sungai. Di daerah ini banyak gang sempit dan jalan setapak sehingga memudahkan kami bergerak tanpa terlihat. Di ujung jalan kami melewati sebuah biara yang lampunya masih menyala dan ada beberapa biarawan sedang bersiap melakukan ritual tengah malam. Seekor kucing yang duduk di sisi lentera batu hanya diam saat kami lewat di depannya. Di dekat sungai aku mendengar dentingan baja dan langkah kaki berderap. Begitu sampai di pintu gerbang, Kenji menghilangkan diri. Yuki dan aku melompat ke atas tembok dan merapatkan diri ke atap. Ada patroli yang terdiri dari seorang berkuda dan enam orang berjalan kaki. Dua orang membawa obor. Mereka bergerak maju di sepanjang jalan dan berlari di tepi sungai, menerangi setiap gang dan memperhatikan sungai. Mereka begitu ribut sehingga kami tidak perlu terlalu waspada. Atap yang tepat di bawah wajahku basah dan licin. Hujan gerimis masih berlanjut, membungkam semua suara. Hujan akan membasahi wajah Shigeru.... Setelah patroli lewat, kami menjatuhkan diri dari atap lalu berjalan ke arah sungai. Ada kanal kecil terbentang di bawah jalan setapak. Yuki memimpin kami masuk ke gorong-gorong yang ada di bawah jalan. Kami merayap ke dalam saluran air itu, dan muncul di tepi sungai. Air menutupi jejak kami. Bayangan gelap kastil berada di depan. Lapisan awan begitu rendah sehingga aku hampir tidak bisa melihat ' menara kastil yang tinggi. Antara kami dan tembok kubu terbentang sungai, lalu tanah kosong, dan setelah itu ada parit yang menyerupai sungai kecil. "Di mana dia?" aku berbisik pada Kenji. "Di timur, tepat di bawah rumah Iida. Dinding yang ada rantai-rantai besi." Empedu serasa melompat ke tenggorokanku. Sambil melawannya, aku bertanya, "Penjaga?" "Di koridor tepat di atasnya. Mereka berjaga di situ, Sedangkan di bawahnya ada patroli." Seperti yang pernah kulakukan di Yamagata, aku duduk dan menatap kastil beberapa saat. Kami bertixa diam. Aku merasakan darah Kikuta menjalar di sekujur tubuhku, mengalir dalam nadi dan otot-ototku. Aku pun akan mengalir seperti air ke kastil dan memaksa kastil untuk menyerahkan apa yang ada dalam genggamannya. Kuambil Jato dari sabuk dan kusembunyikan di tepi sungai, di rumput. "Tunggu di sini," bisikku. "Aku akan membawa tuanmu kemari." Kami turun ke sungai dan menyelam ke seberang. Ketika muncul, aku mendengar ada patroli yang melintas di taman, tepat di seberang parit. Kami bersembunyi di alang-alang sampai mereka lewat, setelah itu kami lalu berlari melintasi rawa kemudian berenang menyeberangi parit. Dinding kubu pertama terletak di tepi parit. Di atasnya ada tembok kecil beratap yang mengelilingi taman di depan rumah Iida. Di antara dinding rumah dan dinding kubu terdapat rawa-rawa. Kenji melompat ke tanah untuk mengawasi patroli, sementara aku dan Yuki merayap menyusuri atap genteng ke sudut tenggara. Dua kali aku mendengar Kenji memperingatkan kami dengan cara menirukan suara jangkrik, dan kami pun bersembunyi di bagian atas tembok ketika patroli lewat di bawah. Aku duduk berlutut dan memandang ke atas. Di atasku berderet jendela koridor yang terletak tepat di belakang rumah Iida. Semua jendela tertutup dan dipalang, kecuali satu jendela yang jaraknya paling dekat dengan rantai besi tempat Shigeru digantung. Pergelangan tangannya diikat dengan tali. Kepalanya terkulai. Aku mengira dia sudah mati, tapi kemudian aku melihat kakinya bergerak perlahan di tembok, berusaha mencari pijakan. Aku mendengar desah napasnya yang lambat. Dia masih hidup. Nightingale floor tiba-tiba bernyanyi. Aku langsung tiarap kembali di atap. Aku mendengar jendela dibuka, lalu jerit kesakitan Shigeru ketika rantai disentakkan dan kakinya tergelincir. "Menarilah Shigeru, ini hari pernikahanmu!" seorang penjaga mencemoohnya. Kemarahanku memuncak. Yuki lalu menyentuh tanganku untuk menenangkan. Kemarahanku pun mereda dan berubah menjadi kekuatan. Kami menunggu selama beberapa saat. Tidak ada lagi yang berpatroli di bawah kami. Apakah Kenji telah membungkam mereka semua? Lampu di jendela berkelap-kelip dan berasap. Dalam jeda waktu yang tidak lama, selalu saja ada penjaga yang datang. Setiap kali Lord Shigeru, yang menderita di ujung tali itu, mendapat tempat berpijak di dinding, ada saja penjaga yang datang dan menggoyangkan talinya sehingga dia hilang keseimbangan. Jendela itu tetap terbuka. Aku berbisik pada Yuki. "Kita harus memanjat dinding. Kau bunuh orang yang muncul di jendela, sedangkan aku turun menggunakan tali untuk meraih tubuh Shigeru. Kau potong tali yang mengikat pergelangan tangannya yang ada di dekat jendela itu bila kau mendengar suara kijang. Saat itulah aku akan menurunkan tubuh Shigeru." "Kita bertemu di kanal," kata Yuki. Segera setelah para penyiksa itu pergi, kami menjatuhkan diri ke tanah, melintasi lahan sempit, dan mulai memanjat dinding kastil. Yuki memanjat ke arah jendela, sementara aku berpegangan pada tepi bawah jendela, mengambil tali dari pinggangku dan mengikatkannya pada salah satu rantai besi. Lantai kembali berbunyi. Aku menghilangkan diri dengan merapat ke tembok. Aku mendengar ada yang keluar dari jendela tepat di atasku, lalu terdengar sentakan perlahan, suara kaki menendang tidak berdaya melawan garrotte, kemudian sunyi. Yuki berbisik, "Cepat." Aku lalu menuruni dinding ke arah Shigeru, tali terulur saat aku merayap. Hampir saja aku dapat meraih tubuhnya ketika aku mendengar bunyi jangkrik. Sekali lagi aku menghilangkan diri, sambil berdoa semoga kabut bisa menyembunyikan tali yang terulur. Patroli lewat di bawahku. Ada bunyi percikan air dari arah parit. Perhatian mereka langsung tertuju ke sana. Salah seorang penjaga berjalan ke sudut tembok, menerangi air dengan obor. Cahaya yang berpindah membuat warna dinding yang putih menjadi pudar. "Tikus air," teriaknya. Rombongan patroli itu pun pergi dan langkah kaki mereka lambat-laun tak terdengar lagi. Kini saatnya bagiku untuk bergerak cepat. Aku tahu kalau penjaga yang lain tak lama lagi akan muncul dari jendela di atasku. Berapa lama lagi Yuki dapat membunuh mereka satu demi satu? Temboknya licin, tapi taliku lebih licin lagi. Aku merayap turun hingga sejajar dengan Shigeru. Matanya tertutup, tapi dia bisa mendengar dan merasakan kehadiranku. Dia membuka mata, membisikkan namaku tanpa ada nada kaget, dan memberi senyuman yang tulus, hatiku kembali hancur. Aku berkata, "Ini akan terasa sakit. Tapi jangan bersuara." Dia menutup mata dan menempelkan kakinya ke dinding. Setelah mengikat erat tubuhnya ke tubuhku, aku lalu menirukan suara kijang. Yuki memotong tali yang menggantung Shigeru. Terdengar napas lega Shigeru karena lengannya kini bebas, meskipun dia belum bebas. Tambahan beban tubuh Shigeru membuatku hilang keseimbangan di permukaan dinding yang licin ini, dan ketika kami berdua jatuh, aku berdoa agar tali ini mampu menahan berat kami. Akhirnya tali ini membawa kami turun hingga beberapa depa di atas tanah dengan sentakan yang benar-benar sakit. Kenji muncul dari gelap, dan bersama-sama, kami melepaskan ikatan Shigeru dan membawanya ke dinding. Setelah Kenji melemparkan pengait, kami lalu menarik tubuh Shigeru. Kami ikatkan tali ke tubuhnya lagi, lalu Kenji menurunkan dia ke bawah sementara aku turun melalui dinding sambil memeganginya, berusaha mengurangi rasa sakitnya. Tanpa berhenti saat melewati rawa, kami bawa dia berenang melintasi parit yang mengelilingi kastil, menutupi wajahnya dengan kain hitam. Bila cuaca tidak berkabut, kami pasti akan terlihat karena kami tidak mungkin membawa Shigeru menyelam. Kemudian kami bawa dia melintasi sebidang tanah yang masih berada di kastil ke tepi sungai. Shigeru hampir pingsan, berkeringat karena rasa sakit, bibirnya pecah-pecah karena dia gigit agar tidak bersuara. Kedua bahunya terkilir, seperti yang kucemaskan, dan dia juga muntah darah karena luka dalam. Hujan kian deras. Kijang berlarian melihat kehadiran kami; namun tak ada kegaduhan di kastil. Kami lalu membawa Lord Shigeru ke sungai dan berenang secara perlahan ke seberang. Hujan menjadi anugrah karena menutupi kami, menyamarkan setiap bunyi, tapi itu juga berarti aku tidak bisa melihat Yuki waktu aku menoleh ke kastil. Ketika sampai di tepi sungai, kami membaringkan Shigeru di rerumputan. Kenji lalu membukakan kain penutup kepala dan menyeka air di wajah Shigeru. "Maafkan aku, Shigeru," kata Kenji. Lord Shigeru hanya tersenyum, tidak bicara. Setelah mengumpulkan kekuatan, dia membisikkan namaku. "Aku di sini." "Kau menyimpan Jato?" "Ya, Lord Shigeru." "Gunakan Jato sekarang. Bawalah kepalaku ke Terayama dan kuburkan aku di sisi makam Takeshi." Dia berhenti bicara saat getaran rasa sakit menyapu seluruh tubuhnya, kemudian dia berkata, "Dan bawa kepala Iida kepadaku di sana." Saat Kenji membantunya duduk, Shigeru berkata lirih, "Takeo tak pernah membuatku kecewa." Aku menarik Jato dari sarung. Shigeru meregangkan lehernya dan menggumamkan beberapa kata: doa orang Hidden menjelang ajal, lalu dia menyebut nama Sang Pencerah. Aku pun berdoa semoga aku tak membuatnya kecewa. Malam ini jauh lebih gelap dibanding saat Jato ada di tangannya ketika menyelamatkan diriku di Mino. Kuangkat Jato, pergelangan tanganku terasa sakit, dan memohon maaf pada Shigeru. Pedang ular ini melompat dan menggigit saat terakhir kali mengabdi pada tuannya, dia membebaskan tuannya ke dunia yang berikutnya. Malam begitu hening. Semburan darahnya begitu dahsyat. Kami mencuci kepala Shigeru di sungai, lalu membungkusnya, di matanya tidak nampak rasa sedih atau pun menyesal. Ada bunyi percikan air, dan tidak lama kemudian Yuki muncul seperti berang-berang. Dengan kemampuan penglihatannya yang tajam, dia mengawasi situasi di depannya, lalu berlutut di samping tubuh Shigeru, berdoa. Kuangkat kepala Shigeru dan kuletakkan di atas tangan gadis itu. "Bawalah ini ke Terayama," kataku. "Kita akan bertemu di sana." Dia mengangguk, dan kulihat cahaya dari giginya yang putih saat dia tersenyum. "Kita harus pergi," bisik Kenji. "Kita telah bekerja dengan sangat baik, dan kini semua telah berakhir." "Aku harus mempersembahkan tubuhnya pada sungai." Aku tidak tega meninggalkan tubuh Shigeru tergeletak begitu saja di tepi sungai. Kuambil batu dari mulut kanal lalu kuikat di pinggang Shigeru karena hanya bagian itu yang tersisa dari pakaiannya. Kenji dan Yuki membantuku mengangkat tubuh Shigeru ke sungai. Aku berenang ke dasar sungai yang paling dalam dan melepaskan tubuhnya. Aku merasa terseret arus dan melayang-layang bersama jasad Shigeru. Darah menyembul ke permukaan air, kegelapan bertemu dengan putihnya kabut, dan sungai segera membawanya. Aku terkenang rumah kami di Hagi, di mana setiap sore selalu ada bangau yang datang ke kolam di depan pintu. Kini Lord Otori Shigeru telah tiada. Air mataku berlinang dan arus sungai membawa linangan air mataku. Bagiku, semua ini belum berakhir. Aku kembali ke tepi sungai untuk mengambil Jato. Ada noda darah di mata pedang. Aku membersihkan bekas darah itu lalu memasukkan ke sarung. Kenji benar-Jato akan merintangiku memanjat tembok-namun aku memerlukannya saat ini. Aku tak berkata apa-apa pada Kenji dan Yuki, selain, "Kita akan bertemu di Terayama." Kenji berbisik, "Takeo," dengan nada tidak yakin, tapi dia tahu aku tidak bisa dihalangi. Dia merangkul Yuki. Saat itulah aku sadar kalau Yuki adalah anaknya. Setelah itu, Kenji mengikutiku kembali ke sungai.* DUA BELAS KAEDE menunggu datangnya malam. Ia sadar kalau tidak mempunyai pilihan lain kecuali bunuh diri. ia memikirkan tentang bunuh diri sama seperti ia memikul semua bebannya. Kehormatan keluarganya bergantung pada perkawinan ini-begitulah yang ayahnya katakan. Kini, dalam keadaan bingung dan situasi yang kacau, ia sampai pada keyakinan bahwa bunuh diri merupakan satu-satunya cara untuk melindungi nama dan kehormatan keluarganya. Kaede seharusnya menikah malam ini. Saat ini ia masih memakai pakaian pengantin buatan para wanita Tohan. Kimono ini lebih mewah dan anggun dari pakaian mana pun yang pernah ia pakai, namun di balik baju ini ia merasa begitu kecil dan rapuh seperti boneka. Mata para pelayan nampak merah karena menangisi kematian Lady Maruyama, namun Kaede baru mengetahui kejadian itu setelah semua pengawal Otori dibantai. Kemudian kengerian demi kengerian diungkapkan padanya sehingga Kaede merasa seperti akan gila karena marah sekaligus sedih. Rumah dengan kamar yang anggun, yang penuh dengan karya seni dan taman yang begitu indah, berubah menjadi tempat penyiksaan dan kekerasan. Dinding luar, di seberang nightingale floor, tergantung orang yang seharusnya ia nikahi. Sepanjang sore ia selalu mendengar para penjaga mencemooh dan tertawa. Hatinya hancur, dan ia pun menangis tiada henti. Kadang ada yang menyebut namanya, dan ia sadar kalau reputasinya semakin buruk. Ia merasa bersalah atas semua kejadian ini. Ia menangis karena penghinaan Iida pada Lord Shigeru. ia juga menangis karena rasa malu kedua orangtuanya akibat dirinya. Saat ia mengira air matanya telah habis karena menangis, air mata menetes lagi hingga membasahi wajahnya. Lady Maruyama, Mariko, Sachie... telah pergi, hanyut oleh arus kekejaman Tohan. Semua orang yang ia sayangi mati atau hilang. Dan ia pun menangisi dirinya karena baru berumur lima belas tahun tapi hidupnya telah berakhir. Ia berduka atas suami yang tidak pernah ia nikahi, anak-anak yang belum ia lahirkan, dan masa depan yang akan segera berakhir pada sebilah belati. Hanya satu yang membuat ia tenang: lukisan pemberian Takeo. Ia menggenggam dan menatap lukisan itu lekat-lekat. Tak lama lagi ia akan bebas, sebebas burung dalam lukisan itu. Shizuka pergi ke dapur untuk mengambil makanan, dan di saat melewati penjaga, ia bersenda-gurau tanpa menunjukkan rasa duka. Tapi, saat ia kembali ke kamar, topeng yang dia pakai dilepas. Di wajahnya nampak kesedihan yang mendalam. "Lady," dia berkata dengan ceria, berpura-pura ceria. "Akan kusisir rambutmu. Rambutmu kusut. Dan kau juga harus mengganti pakaian." Shizuka membantu Kaede melepas pakaian dan memanggil pelayan untuk membawa pergi berlapis-lapis kimono yang berat itu. "Aku ingin memakai pakaian tidur," kata Kaede. "Aku tak mau bertemu siapa-siapa lagi hari ini." Dalam balutan pakaian dari bahan katun ringan, Kaede duduk di lantai dekat jendela yang terbuka. Air hujan menetes dengan lembut dan dingin. Taman yang diselimuti kabut seakan-akan turut berduka-cita. Shizuka lalu duduk berlutut, mengangkat rambut Kaede yang berat dan mengelusnya hingga ke ujung rambut. Dia berbisik, "Aku telah mengirim pesan ke rumah Muto di kota. Aku sudah menerima balasannya. Takeo memang disembunyikan di sana, seperti yang kuduga. Takeo diijinkan untuk mengambil tubuh Lord Otori." "Lord Otori sudah mati?" "Tidak, belum." Suara Shizuka tersendat karena luapan emosi. "Perbuatan biadab itu," gumamnya, "Penghinaan padanya. Dia tidak boleh dibiarkan seperti itu. Takeo harus menjemputnya." Kaede berkata, "Kalau begitu, Takeo juga akan mati hari ini." "Orang suruhanku juga sedang ke tempat Arai," bisik Shizuka. "Tapi aku tidak tahu apakah dia bisa datang menolong kita tepat pada waktunya." "Aku tidak yakin ada orang yang mampu menantang Tohan," kata Kaede. "Lord Iida tak mungkin dikalahkan. Kekejamannya yang telah membuat dia kuat." Kaede menatap keluar jendela, di luar hujan gerimis, kabut menutupi gunung. "Mengapa kaum lelaki selalu membuat dunia menjadi keras?" ia bertanya dengan nada rendah. Sepasang angsa yang terbang menjerit dengan nada duka. Di kejauhan, di dekat dinding, terdengar teriakan seekor kijang. Kaede mengelus rambutnya. Rambutnya basah oleh air mata Shizuka. "Kapan Takeo datang?" "Jika jadi, tengah malam ini." Keduanya terdiam beberapa saat. Kemudian Shizuka melanjutkan, "Tapi jangan terlalu berharap." Kaede diam tidak membalas. Aku akan menunggunya, ia berjanji pada dirinya. Aku akan melihatnya sekali lagi. Ia menyentuh gagang belati yang dingin di balik kimononya. Shizuka yang memperhatikan gerakkannya, mendekat, lalu memeluknya. "Jangan takut. Apa pun yang kau lakukan, aku akan selalu bersamamu. Aku akan ikut denganmu ke dunia berikutnya." Mereka berpegangan tangan cukup lama. Letih karena emosi, Kaede menjadi bingung dan sedih. Ia merasa seakan sedang bermimpi dan masuk ke dunia lain, dunia di mana ia berbaring dalam pelukan Takeo, tanpa ada rasa takut. Hanya dia yang bisa menyelamatkanku, pikirnya. Hanya dia yang bisa membawa kembali kehidupan padaku. Kemudian ia mengatakan ingin mandi, dan meminta Shizuka mencabut alis serta menggosok telapak dan tungkai kakinya. Setelah itu Kaede makan sedikit kemudian duduk menghadap keluar untuk menenangkan diri, bermeditasi seperti yang pernah diajarkan saat ia masih kanak-kanak, sambil mengingat wajah damai Sang Pencerah di Terayama. "Kasihanilah diriku," doanya. "Bantulah aku untuk mendapatkan keberanian." Seorang pelayan datang membentangkan alas tidur. Kaede bersiap merebahkan diri dan meletakkan belatinya di bawah kasur. Malam mendekati Waktu Tikus*, dan penghuni rumah pun telah tertidur, selain tawa penjaga di kejauhan saat terdengar nightingale floor bernyanyi. Ada yang mengetuk pintu. Shizuka membuka pintu dan langsung bersujud. Kaede mendengar suare Lord Abe. Dia datang menangkap Shizuka, pikir Kaede ketakutan. Shizuka berkata, "Hari telah larut malam, tuan, Lady Shirakawa ingin beristirahat," tapi suara Abe memaksa. Abe melangkah mundur. Shizuka menoleh pada Kaede dan berbisik, "Lord Iida ingin bertemu," sebelum lantai kembali bernyanyi. Iida masuk ke kamar, diikuti Abe dan orang bertangan satu, orang yang ia tahu bernama Ando. Kaede melihat wajah mereka, ada rona merah karena minuman sake dan rasa senang karena telah membalas dendam. Kaede segera menyembah hingga kepalanya menyentuh lantai, jantungnya berpacu cepat. Iida duduk bersila. "Duduk tegak, Lady Shirakawa." Kaede mengangkat kepala dengan enggan. Iida memakai pakaian malam, tapi ada pedang di sabuknya. Kedua orang yang duduk di belakangnya juga membawa pedang. Mereka duduk tegak sambil mengamati Kaede dengan rasa ingin tahu. "Maaf telah mengganggumu di larut malam ini," kata Iida, "Tapi aku merasa hariku belum berakhir tanpa menyampaikan rasa penyesalanku karena telah menempatkan dirimu dalam posisi yang tidak menguntungkan." Dia tersenyum, menunjukkan giginya yang besar-besar. Dari balik bahu, dia memberi perintah pada Shizuka, "Pergilah." Mata Kaede membelalak dan deru napasnya semakin kencang, namun ia tak berani untuk melihat ke arah Shizuka. Ia mendengar pintu ditutup dan yakin Shizuka akan tetap berada di dekatnya, di ruangan sebelah. Kaede duduk tanpa bergerak, menunduk, menunggu Iida melanjutkan perkataannya. "Pernikahanmu yang kupikir dapat mempererat persekutuanku dengan Otori malah dijadikan alasan bagi ular berbisa untuk menggigitku. Tapi, kurasa, sarangnya telah musnah." Mata Iida tetap terpaku pada wajah Kaede. "Kau telah menghabiskan waktu bersama Otori Shigeru dan Maruyama Naomi. Apakah menurutmu mereka merencanakan sesuatu untuk melawanku?" "Aku tidak tahu apa-apa, Lord," kata Kaede dan menambahkan perlahan. "Jika ada, rencana itu hanya akan berhasil bila aku tidak tahu." "Uhhh," gerutunya, dan setelah keheningan yang panjang, dia berkata, "Di mana pemuda itu?" Kaede tak menyangka kalau jantungnya bisa berdetak lebih cepat lagi, debarannya mampu membuat pelipisnya berdenyut dan ia seperti akan pingsan. "Pemuda yang mana, Lord Iida?" "Anak angkat Shigeru yang bernama Takeo." "Aku tidak tahu apa-apa tentang dia," balasnya, seakan-akan bingung. "Kenapa aku harus tahu?" "Apa pendapatmu tentang dia?" "Dia masih muda, sangat pendiam. Tampaknya dia juga kutu buku; dia senang melukis." Kaede memaksakan diri untuk tersenyum. "Dia agak kikuk dan.. mungkin kurang berani." "Lord Abe juga menganggap seperti itu. Kami baru tahu kalau dia itu orang Hidden. Dia berhasil lolos dari hukumannya setahun lalu. Apakah ada alasan lain, selain untuk menghina dan mengejekku, sampai Shigeru berani menyembunyikan, dan bahkan mengangkat dia sebagai anak?" Kaede tidak menjawab. Jaringan intrik tampak sulit dia mengerti. "Lord Abe yakin anak itu melarikan diri ketika Ando mengenalinya. Kelihatannya anak itu penakut. Cepat atau lambat kami akan menangkapnya dan akan aku gantung dia di samping ayah angkatnya." Mata Iida mengerling ke arahnya, tapi Kaede tidak menanggapi. "Sehingga semua dendamku pada Shigeru lunas." Giginya bersinar ketika dia menyeringai. "Tapi, ada pertanyaan yang lebih penting lagi: bagaimana denganmu? Mendekatlah!" Kaede bergerak maju sambil membungkuk. Detak jantungnya melambat, bahkan seperti hendak berhenti. Waktu pun berjalan lambat. Malam semakin senyap. Hujan berbisik lembut. Seekor jangkrik sedang bernyanyi riuh. Iida mencondongkan badan ke depan dan mengamati Kaede. Cahaya lampu jatuh tepat di wajah Iida, dan ketika Kaede mengangkat mata, ia melihat wajah Iida penuh dengan nafsu. "Aku turut berduka, Lady Shirakawa. Peristiwa ini telah membuat namamu semakin tercemar, tapi karena ayahmu setia padaku, maka aku merasa bertanggung jawab padamu. Apa yang harus kulakukan?" "Aku hanya ingin mati," balas Kaede. "Biarkan aku mati dengan terhormat. Ayahku akan lega." "Namun itu akan menimbulkan masalah tentang penerus klan Maruyama," katanya. "Mungkin aku yang akan menikahimu. Dengan begitu, masalah wilayah kekuasaan akan selesai, dan akan mengakhiri rumor tentang dirimu yang mendatangkan bahaya pada laki-laki." "Kehormatan itu terlalu besar bagiku," ujar Kaede. Iida tersenyum dan kukunya yang panjang menyentuh gigi depannya. "Aku tahu kau mempunyai dua adik perempuan. Aku akan menikahi adikmu yang tertua. Dan kurasa, sebaiknya kau yang mencabut nyawamu sendiri." "Lord Iida." Kaede membungkuk. "Dia gadis yang luar biasa, bukan?" kata Iida tanpa menoleh pada orang di belakangnya. "Cantik, pintar, dan berani. Tapi semua itu akan sia-sia." Kaede kembali duduk tegak, memalingkan wajahnya dari Iida, dan bertekad untuk tidak memperlihatkan wajahnya pada laki-laki itu. "Aku yakin kau masih perawan," kata Iida sambil mengulurkan tangan untuk menyentuh rambut Kaede. Kini Kaede sadar bahwa Iida ternyata jauh lebih mabuk dari yang ia duga. Kaede mencium bau sake dari napasnya saat orang itu mencondongkan badan untuk mendekat. Sentuhan Iida membuat ia gemetar ketakutan. Iida tertawa melihat Kaede gemetar. "Menyedihkan Nla kau mati perawan. Setidaknya kau harus alami satu malam bercinta." Kaede merasa tidak percaya atas perkataan Iida, Kini ia bisa membuktikan semua kebejatan moral orang ini, seberapa jauh dia telah terperosok ke dalam lubang nafsu dan kekejaman. Kekuasaan yang besar telah membuatnya sombong dan kejam. Kaede merasa seakan sedang bermimpi, ia dapat melihat apa yang akan terjadi, tapi ia tidak mampu mencegahnya. Ia tidak bisa mempercayai apa yang akan orang ini lakukan. Iida memegang kepala Kaede dengan kedua tangannya lalu membungkuk untuk menciumnya. Kaede segera memalingkan wajah sehingga bibir Iida hanya menyentuh lehernya. "Jangan," katanya. "Jangan, Lord. Jangan permalukan diriku. Biarkan saja aku mati!" "Bukanlah sesuatu yang memalukan untuk membuatku senang," katanya. "Kumohon, tidak di depan orang-orang ini," pinta Kaede sambil menangis, seolah ia akan menyerahkan diri. Rambutnya terurai ke depan hingga menutupi wajahnya. "Tinggalkan kami," kata Iida dengan kasar pada kedua pengawalnya itu. "Tak ada yang boleh menggangguku hingga fajar." Kaede mendengar langkah kedua orang itu menjauh dari kamar. Ia mendengar Shizuka menyapa mereka, ingin rasanya ia berteriak, namun ia tak berani. Iida berlutut di sampingnya, menggendong, dan membawanya ke alas tidur. Iida lalu melepas korset dan kimono Kaede. Kemudian Iida membuka pakaiannya, lalu berbaring di samping Kaede. Kulit Kaede bergidik oleh rasa takut dan jijik. "Malam ini milik kita," adalah kata-kata terakhir yang Iida ucapkan. Ketika tubuh Iida menekan tubuhnya, Kaede teringat pada penjaga di kastil Noguchi. Mulut Iida yang menyentuh mulutnya membuat Kaede marah dan jijik. Kedua tangan Kaede menjangkau ke belakang kepala, gerakan ini membuat Iida mengerang senang karena tubuh Kaede melengkung di tubuhnya. Dan dengan tangan kiri Kaede memegang jarum di balik lengan kiri kimononya. Kaede langsung menusuk mata Iida ketika wajah orang itu mendekat ke wajahnya. Iida berteriak, jeritannya tak jauh berbeda dengan jeritan nafsunya. Kaede menarik belati dari bawah kasur dengan tangan kanannya, lalu ia tikam ke tubuh Iida. Iida jatuh dengan belati tertusuk dijantungnya.* TIGA BELAS AIR di rambut dan bulu mataku menetes berdesakkan seperti pohon willow dan bambu. Aku pun basah dengan darah, walaupun darah tidak meninggalkan noda di pakaianku yang berwarna gelap. Kabut kian tebal. Kenji dan aku bergerak dalam dunia hantu, tidak nyata dan tidak dapat dilihat dengan mata. Aku bertanya-tanya, apakah aku sudah mati, dan muncul sebagai malaikat pembalas dendam. Saat tugasku malam ini selesai, aku akan menghilang, kembali ke nirwana. Kesedihan mulai melantunkan lagi nyanyian kepedihan di hatiku, namun aku belum boleh mendengarnya. Kami muncul dari parit dan memanjat dinding. Aku merasakan beratnya Jato di panggulku, seakan aku sedang membawa Shigeru. Aku merasa seakan-akan roh Shigeru telah masuk ke tubuhku dan mengukirkan dirinya di tulang-tulangku. Dari atas dinding taman aku mendengar langkah kaki patroli. Mereka panik; mereka mencurigai adanya penyelusup, dan saat mereka melihat tali gantungan Shigeru terpotong, mereka langsung berhenti, berseru kaget, dan menatap tajam ke atas, ke rantai besi tempat Shigeru digantung. Aku dan Kenji masing-masing membunuh dua penjaga. Mereka mati dalam empat tusukan sebelum sempat melihat ke bawah lagi. Shigeru benar. Pedang melompat dari tanganku seakan bergerak atas kemauannya sendiri. Rasa kasihanku tidak mampu menghalanginya. Jendela di atasku masih terbuka, lampunya bersinar remang-remang. Istana Iida sunyi, diselimuti oleh nyenyaknya Waktu Kerbau*. Ketika kami memanjat dan masuk melalui jendela yang terbuka itu, kami jatuh di atas beberapa mayat penjaga yang telah dibunuh Yuki. Kenji mengeluarkan suara pujian dengan pelan. Aku berjalan ke pintu yang berada di antara koridor dan ruang penjaga. Aku tahu ada empat ruangan yang terletak di sepanjang koridor. Ruangan pertama terbuka dan mengarah ke ruang tunggu, ruangan tempat aku dan Shigeru pernah menunggu sambil melihat lukisan bangau. Tiga ruangan lainnya tersembunyi di balik kamar Iida. Nightingale floor mengitari seluruh rumah dan juga di bagian tengah yang menjadi batas antara ruangan laki-laki dan ruangan wanita. Lantai itu kini ada di depanku, berkilauan di sinari lampu, sunyi senyap. Aku merunduk dalam gelap. Dari jauh, di ujung bangunan, aku mendengar ada suara: dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Beberapa saat kemudian baru aku tahu kalau kedua orang itu adalah Abe dan Ando; tapi aku tak yakin berapa banyak jumlah penjaga: Mungkin ada dua orang bersama mereka, dan sepuluh orang atau lebih yang berada di ruangan rahasia. Aku mengenal suara yang berasal dari ujung ruangan, suara Iida. Mungkin Abe dan Ando sedang menunggu Iida di sana-tapi di mana Iida, dan mengapa Shizuka bersama mereka? Shizuka bersuara ringan, nyaris genit, sedangkan suara kedua orang itu terdengar letih, mengantuk, dan agak mabuk. "Aku akan mengambil sake lagi," aku mendengar suara Shizuka. "Ya, nampaknya malam ini akan menjadi malam yang panjang," balas Abe. "Malam terakhir akan selalu terasa pendek," balas Shizuka, ada maksud tertentu di balik nada suaranya. "Malam ini tidak perlu menjadi malam terakhir, andai kau mau bertindak cepat," kata Abe dengan nada berat. "Kau menarik dan tahu bagaimana memanfaatkannya. Kujamin kau akan aman." Shizuka. "Lord Abe!" Shizuka tertawa pelan. "Bisakah aku mempercayaimu?" "Ambilkan lagi sake dan akan kutunjukkan seberapa banyak kau bisa mempercayaiku." Lantai bernyanyi saat Shizuka melangkah keluar ruangan dan menapaki lantai itu. Langkah lebih berat mengikutinya, dan Ando berkata, "Aku ingin melihat Shigeru menari lagi. Sudah setahun aku menantikan peristiwa ini." Begitu mereka berjalan ke tengah ruangan, aku lalu berlari mengelilingi tepi lantai dan meringkuk di dekat ' pintu ruang tunggu. Lantai tetap hening di bawah telapak kakiku. Ketika Shizuka berjalan melewatiku, Kenji menirukan suara jangkrik. Shizuka melangkah ke tempat yang gelap. Ando masuk ke ruangan tunggu, lalu berjalan ke ruang penjaga. Dengan marah dia berteriak membangunkan penjaga yang kelihatan seperti tertidur, dan di saat itulah Kenji mengait Ando dengan pengait besi. Aku masuk ke dalam, lalu membuka penutup kepalaku sambil memegang lampu agar dia dapat melihat wajahku. "Kau ingat aku?" bisikku. "Kau tahu siapa aku? Aku adalah pemuda dari Mino. Ini untuk orang-orang di desaku. Dan untuk Lord Otori." Matanya menunjukkan rasa tidak percaya dan juga marah. Aku tidak menggunakan Jato. Kupakai garrotte untuk membunuhnya, sementara Kenji memegangnya sedangkan Shizuka hanya menyaksikan. Aku berbisik pada Shizuka, "Di mana Iida?" Dia menjawab, "Dengan Kaede. Di kamar paling ujung. Aku akan menjaga Abe agar dia tidak keluar ruangan saat kau ke sana. Iida hanya berdua dengan Kaede. Jika ada masalah di sini, aku dan Kenji yang akan mengurusnya." Aku tidak memperhatikan apa yang dia katakan. Darahku yang semula terasa dingin, kini membeku. Aku menghela napas dalam-dalam, membiarkan kegelapan Kikuta masuk dan mengambil alih seluruh tubuhku, lalu aku berlari di atas nightingale floor. Di taman, hujan mendesis dengan lembut. Kodok-kodok bernyanyi di kolam. Aku mendengar napas para penghuni wanita yang masih tertidur lelap. Aku mencium wangi bunga, kayu pinus, dan juga bau sengit dari kamar mandi. Aku melayang melintasi lantai tanpa menggunakan berat tubuh, seperti hantu. Ada bayangan kastil di belakangku, di depanku ada sungai mengalir. Iida sedang menungguku. Ada lampu menyala di ruang kecil di kamar paling ujung. Jendela kayunya terbuka, tapi tirai dari kertas tertutup. Dari pantulan sinar jingga lampu, aku melihat seorang wanita sedang duduk tidak bergerak, rambutnya terurai. Dengan Jato di tangan, aku dorong jendela hingga terbuka lalu meloncat masuk ke dalam kamar. Kaede sedang berdiri dengan pedang di tangannya, penuh darah. Iida terbaring menelungkup di atas kasur. Kaede berkata. "Cara terbaik untuk membunuh laki-laki yaitu dengan menggunakan pedangnya. Itulah yang Shizuka ajarkan." Matanya terbelalak, tubuhnya menggigil. Pemandangan ini hampir tak dapat dipercaya: seorang gadis muda dan lemah berdiri di samping seorang laki-laki kuat dan berkuasa yang tergeletak tanpa nyawa. Aku letakkan Jato ke lantai. Kaede menurunkan pedang Iida dan mendekatiku. "Takeo," ucapnya, seakan-akan baru terjaga dari mimpi. "Dia mencoba... Aku membunuhnya... " Kemudian ia berada dalam pelukanku. Kupeluk dia hingga gemetarnya berhenti. "Kau basah," bisiknya. "Kau tidak kedinginan?" Sebelumnya aku tidak merasa kedinginan, namun kini aku kedinginan, gemetar seperti dia. Iida sudah mati, tapi bukan aku yang membunuhnya. Aku merasa seperti telah mengkhianati pembalasan dendamku, tapi takdir tidak bisa diperdebatkan, takdir telah menentukan kematian Iida di tangan Kaede. Aku kecewa tapi juga lega. Kini aku dapat memeluk Kaede seperti yang selama ini kuimpikan. "Aku berharap mati malam ini," kata Kaede. "Kurasa kita berdua akan mati," kataku. "Tapi, kita akan mati bersama," dia bernapas di telingaku. "Tak akan ada yang datang ke kamar ini sebelum fajar." Suara dan sentuhannya membuatku sakit karena cinta dan gairah. "Kau menginginkan diriku?" katanya. "Kau tahu aku menginginkanmu." Kami jatuh berlutut, tetap berpelukan. "Kau tidak takut padaku? Bagaimana dengan apa yang terjadi pada laki-laki karenaku?" "Tidak. Kau tak berbahaya bagiku. Kau takut?" "Tidak," Kaede berkata dengan ragu. "Aku ingin bersamamu sebelum mati." Mulutnya bertemu dengan mulutku. Dia melepaskan korsetnya, dan kimononya pun jatuh terbuka. Aku melepas pakaianku yang basah dan menyentuh kulitnya yang selama ini sangat kurindukan. Tubuh kami bersentuhan, diliputi gairah dan kegilaan. Aku bisa mati bahagia setelah ini, namun ibarat sungai, hidup menyeret kami ke depan. Nampaknya keabadian segera berlalu karena beberapa saat kemudian aku mendengar lantai bernyanyi dan suara Shizuka berkata kepada Abe. Di kamar sebelah, seorang pelayan mengigau, diikuti tawa yang membuatku merinding. "Apa yang Ando lakukan?" tanya Abe. "Dia tertidur," jawab Shizuka terkekeh-kekeh. "Dia tidak bisa bertahan seperti Lord Abe." Terdengar cairan bergelegak saat dituang dari botol ke mangkuk. Aku mendengar Abe meneguk. Aku mencium kelopak mata dan rambut Kaede. "Aku harus kembali ke Kenji," bisikku. "Aku tidak bisa meninggalkan dia dan Shizuka begitu saja." "Kenapa kita tidak mati bersama?" balasku, "Di saat kita bahagia?" "Kenji kemari karenaku," balasku. "Jika bisa menyelamatkan dia, maka aku harus melakukannya." "Aku ikut." Dia segera berdiri, memakai kimono, lalu mengambil pedang. Lampu meredup, nyaris padam. Di kejauhan, ayam mulai berkokok. "Jangan. Kau tunggu di sini. Aku akan menjemputmu kernari lalu kita keluar melalui taman. Kau bisa berenang?" Dia menggelengkan kepala. "Aku tak bisa berenang. Tapi, ada perahu di parit. Mungkin bisa kita gunakan." Kemudian aku mengenakan pakaian, merasa ngilu saat pakaian yang lembab menyentuh kulitku. Ketika aku mengambil Jato, pergelangan tanganku terasa sakit, pasti akibat salah satu pukulan tadi. Teringat untuk mengambil kepala Iida, aku lalu meminta Kaede untuk meregangkan leher Iida dengan menarik rambutnya. Dia melakukan apa yang aku pinta dengan sedikit tersentak. "Ini untuk Lord Shigeru," bisikku saat Jato menebas lehernya. Iida telah mengeluarkan banyak darah sehingga tidak ada darah yang menyembur. Kupotong kimono Iida untuk membungkus kepalanya, beratnya sama seperti berat kepala Shigeru saat aku serahkan pada Yuki. Aku seperti tidak percaya semua ini terjadi dalam semalam. Aku meletakkan bungkusan kepala di lantai, merangkul Kaede sekali lagi, lalu kembali berjalan di jalan yang sama waktu aku datang. Kenji masih di ruang penjaga, dan aku mendengar Shizuka tertawa-tawa kecil dengan Abe. Kenji berbisik, "Patroli sebentar lagi datang. Mereka akan menemukan mayat-mayat ini." "Sudah selesai," kataku. "Iida sudah mati." "Kalau begitu, ayo pergi. Aku akan membuat perhitungan dengan Abe." "Biarkan saja dia dengan Shizuka." "Kita juga harus membawa Kaede." Kenji menatapku tajam. "Lady Shirakawa? Apa kau sudah gila?" Hampir gila, kurasa. Aku tak menjawab. Sebaliknya, aku sengaja melangkah di atas nightingale floor dengan menginjak keras-keras. Lantai langsung menjerit. Abe berteriak, "Siapa di sana?" Dia bergegas keluar ruangan tanpa kimono, dan pedang ada di tangannya. Dari belakang, datang dua orang penjaga, salah seorang membawa obor. Diterangi cahaya obor, Abe melihatku. Semula dia menatapku heran, tapi kemudian berubah menjadi tatapan menghina. Dia mendatangiku dengan cepat sehingga lantai bersuara keras sekali. Shizuka yang berada di belakangnya melompat dan menggorok seorang penjaga. Seorang penjaga lain kaget dan berusaha menarik pedangnya dengan gugup sehingga obor yang dia pegang terjatuh. Sambil berteriak meminta bantuan, Abe mendekat, pedang besar di tangannya. Dia menebas ke arahku. Aku mengelak. Dia sangat kuat sedangkan lenganku lemah karena sakit. Aku menghindar dari tebasannya yang kedua dan segera menghilang. Dia sungguh kuat dan buas. Kenji berada di sampingku, dan penjaga mulai berdatangan. Shizuka berhasil mengatasi dua dari mereka; Kenji meninggalkan sosok keduanya yang berada dalam ancaman pedang seorang penjaga, lalu menusuk dengan belatinya dari belakang. Perhatianku tercurah pada Abe yang telah mendesakku hingga di ujung bangunan. Para pelayan wanita terbangun dan berlari sambil menjerit, mengganggu Abe karena mereka berhamburan melewatinya. Ini memberiku kesempatan untuk memulihkan napas. Aku yakin kami bisa mengatasi para penjaga, asalkan Abe telah dilumpuhkan. Tapi ternyata Abe lebih mahir dan juga lebih berpengalaman dariku. Dia memojokkanku sampai ke sudut bangunan di mana tidak ada tempat lagi untuk mengelak. Aku kembali menghilangkan diri, tapi dia tahu kalau tak ada ruang bagiku untuk menghindar. Meskipun aku menghilang, pedangnya tetap saja dapat membelah tubuhku di sudut yang sempit itu. Namun ketika dia tampak telah menguasaiku, dia terhuyung-huyung dengan mulut menganga. Dia melotot, wajahnya menampakkan rasa sakit yang tak terkira. Saat itu pedangku sedang menebas ke bawah, dan tanpa bisa kutahan, mengenai kepala Abe yang merosot ke bawah. Otak menyembur dari kepalanya yang terbelah dua oleh Jato. Di depanku berdiri Kaede. Satu tangannya menggenggam pedang Iida, dan di tangan lainnya kepala Iida. Kami bertarung secara berdampingan saat melintasi nightingale floor. Setiap kali menebas, aku langsung terhuyung kesakitan. Tanpa Kaede di samping kiriku, aku pasti sudah mati. Semua yang ada di depanku nampak kabur dan samar-samar. Aku mengira kabut dari arah sungai telah masuk rumah ini, tapi kemudian aku mencium bau asap. Obor penjaga yang jatuh saat ia menarik pedang telah membakar jendela yang terbuat dari kertas. Terdengar tangis dan jerit ketakutan di mana-mana. Para pelayan berlarian menghindari kobaran api, keluar dari rumah Iida menuju pintu kastil, sedangkan para penjaga justru datang dari arah yang berlawanan. Dalam bingung dan asap yang menutupi pandangan, kami pergi ke taman. Kobaran api telah melalap rumah Iida. Tak ada yang tahu di mana Iida berada atau apakah dia hidup atau sudah mati. Tak seorang pun tahu siapa penyerang kastil yang dianggap mustahil untuk diserang ini. Apakah penyerangnya manusia atau setan? Shigeru juga telah hilang. Apakah dia dibawa oleh manusia atau malaikat? Kini hujan mulai reda, tapi kabut semakin tebal seiring fajar yang kian mendekat. Shizuka memimpin kami melalui taman ke gerbang dan menuruni anak tangga ke parit. Para penjaga berdatangan. Dalam keadaan kacau dan bingung, di antara mereka sendiri hampir terjadi perkelahian. Dari dalam kastil kami mencapai gerbang dengan mudah lalu naik ke salah satu perahu, dan melepas talinya. Parit terhubung dengan sungai melalui rawa yang kami lintasi sebelumnya. Di belakang kami, kastil telah dilalap api. Kertas-kertas jendela yang telah menghitam karena terbakar, berterbangan dan berjatuhan di rambut kami. Sungai bergelombang, dan ombak membentur perahu kayu saat arus membawa kami ke sungai itu. Perahu yang kami naiki hanyalah perahu biasa, dan aku cemas perahu ini akan terbalik jika arus semakin liar. Di depan terlihat tiang jembatan. Aku sempat berpikir perahu akan menabrak tiang-tiang itu, tapi untungnya perahu berlayar melewatinya, dan sungai pun membawa kami melaju melalui kota. Tak seorang pun di antara kami yang bersuara. Kami masih tegang, terbebani oleh konfrontasi yang baru saja terjadi, dan ditaklukkan oleh ingatan tentang mereka yang telah kami kirim ke alam lain, tapi kami juga gembira karena bukan kami yang menjadi korban. Setidaknya, itu yang kurasakan. Aku mendekat ke buritan dan berusaha mendayung, tapi arus terlalu deras untuk menggerakkan perahu. Kami terpaksa pasrah ke mana pun arus membawa kami. Kabut berubah putih seiring datangnya fajar, tapi pandangan kami masih terbatas. Selain kobaran api dari arah kastil, yang lainnya tidak terlihat. Aku mendengar bunyi aneh, bukan bunyi sungai. Bunyi itu seperti -gemuruh, seolah berasal dari kerumunan serangga yang terbang merendah di atas kota. "Kau dengar itu?" tanyaku pada Shizuka. Dia mengerutkan dahi. "Bunyi apa itu?" "Aku tidak tahu." Cahaya mentari yang cerah menghapus kabut. Dengungan dan dentuman dari tepi sungai kian keras, sampai akhirnya bunyi itu berubah menjadi bunyi yang aku kenal: derap kaki ribuan orang dan kuda, serta gemerincing besi yang bersentuhan. Nampak warnawarni berkilauan di hadapan kami melalui sela-sela kabut, lambang dan umbul-umbul klan Barat. "Arai sudah di sini!" teriak Shizuka. Ada beberapa kejadian pada saat Inuyama direbut, tapi aku tidak mengambil bagian lebih jauh di dalamnya sehingga aku tidak tahu detailnya. Aku tidak menyangka masih hidup. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Telah kuserahkan hidupku pada Tribe, tapi masih ada kewajiban yang harus kulakukan demi Shigeru. Kaede tidak mengetahui perjanjianku dengan Kikuta. Karena aku adalah Otori, pewaris Shigeru, maka sudah menjadi kewajibanku untuk menikahinya, dan memang itulah yang paling kuinginkan. Sedangkan bila aku menjadi bagian Kikuta, Lady Shirakawa akan menjadi sulit dijangkau, sama jauhnya seperti jarak ke bulan. Apa yang terjadi pada kami berdua bagai mimpi. Jika aku mengenangnya, aku merasa malu sehingga, seperti seorang pengecut, aku membuang jauh pikiran itu. Setelah perahu menepi, kami langsung pergi ke rumah Muto, tempatku disekap, untuk mengganti pakaian dan mengambil sedikit bekal. Shizuka segera pergi menemui Arai, meninggalkan Kaede dengan seorang wanita di rumah ini. Aku tak ingin bicara dengan Kenji atau siapa pun juga. Aku ingin ke Terayama dan meletakkan kepala Iida di makam Shigeru. Aku harus melakukan dengan cepat, sebelum Kikuta menjemputku. Aku sadar telah melanggar janjiku pada ketua dari keluargaku saat kembali lagi ke kastil setelah membawa Shigeru. Dan meskipun bukan aku yang membunuh Iida, tapi semua orang akan menganggap bahwa aku yang melakukannya, dan itu tidak sesuai dengan keinginan Tribe. Aku tidak bisa mengabaikan bahaya besar yang mengancam Kaede. Aku tak bermaksud untuk melanggar selamanya. Aku hanya perlu tambahan waktu sedikit lagi. Cukup mudah bagiku untuk menyelinap di saat keadaan sedang kacau. Aku ke penginapan, tempat aku dan Lord Shigeru menginap. Pemiliknya telah kabur dengan membawa semua barang mereka, tapi masih banyak barang kami yang tertinggal di kamar itu, termasuk beberapa sketsa yang kubuat saat di Terayama dan kotak tulis yang Lord Shigeru gunakan untuk menulis surat terakhirnya untukku. Aku pandangi semua itu dengan sedih. Jeritan kesedihan semakin keras di hatiku. Aku seperti dapat merasakan kehadiran Lord Shigeru di kamar ini, melihat dia sedang duduk menungguku di depan pintu, tapi aku tidak juga datang. Tak banyak yang kubawa, hanya beberapa pakaian, sedikit uang, dan kudaku, Raku. Kuda Shigeru, Kyu, telah hilang seperti juga sebagian besar kuda pengawal Otori lain, tapi Raku masih di sana, gelisah karena asap telah menyelimuti seluruh kota. Dia lega melihatku. Aku memasang pelana, lalu berkuda keluar dari kota, bergabung dengan gelombang manusia yang berusaha lari dari pasukan bersenjata yang mendekat. Aku hanya tidur sebentar di malam hari. Cuaca cerah, dan kering diiringi tanda-tanda musim gugur. Gunung memperlihatkan puncaknya dengan latar belakang langit yang berwarna biru cemerlang. Beberapa pohon memperlihatkan daunnya yang keemasan, dan rumput liar mulai berbunga. Mungkin pemandangan saat ini cukup indah, tapi aku tak menikmati keindahannya. Aku sedang berduka, aku seakan tak mampu berjalan. Aku hanya ingin kembali ke Hagi, kembali ke waktu di mana Shigeru masih hidup, sebelum kami pergi ke Inuyama. Di sore hari keempat, ketika aku baru saja melewati Kushimoto, aku menjadi waspada karena berbondong-bondong orang datang dari arah yang berlawanan. Aku bertanya pada petani yang sedang menuntun kuda beban, "Ada apa?" "Biarawan! Pasukan!" Dia berteriak membalas. "Yamagata sudah jatuh ke tangan mereka. Pasukan Tohan melarikan diri. Mereka mengatakan Lord Iida sudah mati!" Aku menyeringai, membayangkan apa yang dia lakukan bila melihat apa yang kubawa. Aku sedang memakai pakaian perjalanan, tak ada simbol mana pun. Tak ada yang tahu siapa aku, dan aku pun tak tahu kalau namaku sudah terkenal. Mendengar ada suara-suara orang bersenjata yang berada jauh di depan, aku menghindar dengan membawa Raku ke dalam hutan. Aku tak ingin kehilangan kudaku atau terlibat perang kecil dengan pasukan Tohan yang mundur. Mereka bergerak cepat, tentu saja, sambil berharap bisa mencapai Inuyama sebelum terkejar pasukan biarawan, tapi kurasa mereka akan berhenti di Kushimoto dan bertahan di sana. Pasukan Tohan berlalu-lalang selama sisa hari itu. Aku melanjutkan perjalanan ke utara melalui hutan, menghindari mereka sebisa mungkin, walaupun dua kali aku harus mengeluarkan Jato untuk membela diri. Pergelangan tanganku masih terasa sakit bila digerakkan. Saat matahari terbenam, aku kian gelisah-aku takut misiku tidak berhasil. Aku takut tidur karena keadaan masih berbahaya. Aku berkuda semalaman dan hanya ditemani bulan purnama, Raku berjalan dengan santai, satu telinga ke depan, satu telinga ke belakang. Fajar telah menyingsing dan aku melihat siluet gunung yang mengelilingi Terayama. Aku akan tiba di sana sebelum malam tiba. Melihat ada kolam di tepi jalan, aku berhenti untuk memberi kesempatan pada Raku untuk minum. Matahari kian meninggi, kehangatannya membuatku mengantuk. Kuikat Raku ke pohon dan aku melepas pelana untuk dijadikan bantal. Aku berbaring dan langsung tertidur. Aku terbangun karena tanah bergetar. Aku berbaring sejenak sambil melihat cahaya jatuh ke kolam, mendengarkan gemericik air serta langkah kaki ratusan orang mendekat. Aku berdiri untuk membawa Raku lebih jauh ke dalam hutan untuk bersembunyi, namun di saat aku mendongak, aku tahu kalau itu bukan pasukan Tohan. Pasukan ini memakai baju besi, membawa senjata, dan membawa umbul-umbul lambang Otori dan biara Terayama. Ada beberapa orang gundul, orang yang tidak memakai pelindung kepala, dan di barisan paling depan aku mengenali biarawan muda yang pernah menunjukkan lukisan Sesshu kepada kami. "Makoto!" aku memanggil, mendaki tepi sungai ke arahnya. Dia berbalik, pandangan gembira dan heran terlihat di wajahnya. "Lord Otori? Itukah kau? Kami takut kau juga mati. Kami hendak membalas dendam atas kematian Lord Shigeru." "Aku hendak ke Terayama," kataku. "Aku membawa kepala Iida untuk Shigeru, seperti yang dia minta." Matanya sedikit membesar. "Iida mati?" "Ya, dan Inuyama telah jatuh ke tangan Arai. Kau akan bertemu pasukan Tohan di Kushimoto." "Maukah kau ikut bersama kami?" Tugasku hampir selesai. Aku harus segera menunaikan wasiat Lord Shigeru, lalu menghilang ke dunia rahasia Tribe. "Kau baik-baik saja?" tanyanya. "Kau tidak terluka?" Aku menggelengkan kepala. "Aku hendak meletakkan kepala Iida di atas makam Shigeru." Mata Makoto nampak bersinar. "Ayo tunjukkan!" Kuambil keranjang itu dan membukanya. Baunya sangat menyengat dan banyak lalat di sekitar darah. Makoto mengambil kepala itu dengan menggenggam rambutnya, lalu melompat ke atas batu besar di sisi jalan, dan mengangkat tinggi-tinggi ke arah para biarawan yang berkumpul melingkar. "Lihatlah apa yang dibawa Lord Otori!" teriaknya, dan semua orang membalas dengan bersorak. Gelombang emosi melanda mereka. Namaku disebut berulang-kali, dan seolah pikiran mereka menyatu, mereka menyembah di depanku. Kenji benar: Semua orang mencintai Shigeru-para biarawan, petani, klan Otori-dan karena aku sudah membalaskan dendamnya, maka cinta itu dialihkan kepadaku. Perlakuan mereka semakin menambah bebanku. Aku tak ingin dipuja berlebihan. Aku tidak layak mendapatkan semua itu, dan aku sedang tidak menikmatinya. Kuucapkan salam perpisahan kepada semua biarawan, mendoakan keberhasilan mereka, lalu aku melanjutkan perjalanan. Kepala Iida telah kumasukkan lagi ke dalam keranjang. Tak ingin aku pergi sendiri, mereka meminta Makoto menemaniku. Dia menceritakan kedatangan Yuki di Terayama dengan membawa kepala Shigeru, dan mereka telah menyiapkan upacara pemakaman. Yuki pasti telah berjalan siang dan malam agar bisa sampai di Terayama secepatnya. Aku sangat berterima kasih padanya. Menjelang malam kami tiba di biara. Dipimpin oleh biarawan tua, biarawan yang tak ikut berperang membacakan doa untuk Shigeru, dan ada batu nisan di makamnya. Aku berlutut di dekat batu nisan itu, lalu kuletakkan kepala Iida di atas makam Lord Shigeru. Dalam keremangan, batu-batu di taman Sesshu nampak seperti sekumpulan orang yang sedang berdoa. Gemuruh air terjun tampak lebih keras dari biasanya. Di balik bunyi gemuruh itu, aku mendengar bunyi dari pepohonan cedar saat angin sepoi-sepoi menggerakkan mereka. Jangkrik melengking dan kodok mengorek dari kolam di bawah air terjun. Aku mendengar kepakan sayap, dan melihat seekor burung hantu menukik melintasi taman pemakaman. Tidak lama lagi burung itu akan berimigrasi; tidak lama lagi musim semi akan berakhir. Di sinilah tempat yang indah untuk roh Shigeru beristirahat. Aku berlutut di makam, air mataku mengalir. Aku teringat dia pernah mengatakan bahwa hanya anak-anak yang menangis. Laki-laki dewasa akan tabah, katanya, namun yang tidak dapat kuterima yaitu aku harus menjadi dewasa dan menggantikan tempatnya. Aku dihantui perasaan bersalah karena memenggal kepalanya, apalagi dengan pedang miliknya. Aku bukan pewarisnya: akulah yang membunuhnya. Aku sangat merindukan rumahku, aku merindukan alunan nyanyian sungai dan alam di Hagi. Aku ingin melantunkan nyanyian itu pada anak-anakku. Aku ingin mereka tumbuh dalam naungan lembut rumah itu. Aku bermimpi Kaede akan menyiapkan teh di ruangan yang Shigeru bangun, dan anak-anak kami akan berusaha menaklukkan nightingale floor. Di malam hari kami bisa melihat bangau yang datang ke taman, siluetnya yang berwarna abu-abu berdiri sabar di kolam. Dari taman terdengar alunan seruling. Nadanya menusuk hatiku. Rasanya aku akan selalu bersedih. Hari-hari berlalu, namun aku tak mampu meninggalkan biara ini. Setiap hari aku merasa harus segera pergi, namun setiap hari pula aku menangguhkan. Aku sadar bahwa biarawan tua dan Makoto mencemaskan keadaanku, tapi mereka membiarkan aku sendiri, kecuali saat mengingatkan aku untuk makan, mandi, atau tidur. Setiap hari orang-orang datang untuk berdoa di makam Shigeru. Awalnya hanya segelintir orang, kemudian membanjir, pasukan yang telah kembali, para biarawan, petani, dan pedagang yang dengan hikmat mengelilingi batu nisan, bersujud di depan makamnya dengan wajah yang dibasahi air mata. Shigeru benar: dia bahkan lebih kuat dan lebih dicintai saat dia telah tiada. "Dia akan menjadi dewa," biarawan tua itu meramalkan. "Dia akan bergabung dengan yang lainnya di surga." Malam demi malam aku selalu bermimpi tentang Shigeru, seperti saat terakhir aku melihatnya, sosoknya yang coreng-moreng karena air dan darah, lalu aku terjaga, jantungku berdebar. Di saat terbangun aku mendengar alunan seruling, aku mencari nada memilukan itu karena aku berbaring tanpa bisa tidur. Alunan musik itu membuatku pedih sekaligus terhibur. Bulan nampak pucat; malam kian gelap. Kami mendengar kemenangan pasukan biarawan di Kushimoto dari mereka yang pulang. Kehidupan di biara kembali normal, upacara ritual dilakukan untuk mendoakan mereka yang gugur dalam perang. Lalu ada kabar bahwa Lord Arai, yang kini menjadi penguasa di sebagian besar Tiga Wilayah, akan datang ke Terayama untuk memberi penghormatan di makam Shigeru. Malam itu, sewaktu mendengar alunan seruling, aku berjalan untuk berbicara dengan si peniup. Dia adalah, seperti yang kuduga, Makoto. Aku sangat tersentuh karena dia telah menemaniku disaat aku sedang berduka. Dia duduk dekat kolam, di tempat ini kadang aku melihat dia sedang memberi makan ikan. Dia terus meniup suling hingga nada terakhir lalu meletakkan serulingnya. "Kau sudah harus mengambil keputusan sebelum Arai tiba," katanya. "Apa rencanamu?" Aku duduk di sampingnya. Embun membasahi bebatuan dan tanaman. "Apa yang harus kulakukan?" "Kaulah pewaris Shigeru. Kau harus meneruskan apa yang telah dia tinggalkan." Dia berhenti, kemudian dia berkata. "Tapi itu tidak mudah, kan? Ada sesuatu yang memanggilmu." "Bukan memanggil. Tapi memaksa. Aku dalam suatu kewajiban... aku sulit menjelaskannya." "Coba saja," katanya. "Kau tahu aku memiliki pendengaran yang tajam. Seperti anjing, kau pernah mengatakannya." "Tidak seharusnya aku berkata seperti itu. Kata-kataku telah menyinggungmu. Maaf." "Tidak, kau memang benar. Berguna bagi tuanmu, katamu. Aku memang berguna bagi tuanku, dan mereka itu bukanlah Otori." "Tribe?" "Kau tahu mereka?" "Hanya sedikit," ujarnya. "Kepala biara pernah menyebut tentang mereka." Saat itu aku merasa Makoto seperti sedang menungguku untuk bertanya. Tapi, aku tidak tahu apa yang akan kutanyakan karena aku larut dalam pikiran dan keinginan untuk menjelaskannya. "Ayahku anggota Tribe, dan bakat yang kumiliki adalah warisannya. Mereka merasa berhak atas diriku. Aku membuat kesepakatan dengan mereka: aku diijinkan menyelamatkan Lord Shigeru, dan imbalannya aku harus bergabung dengan mereka." "Apa hak mereka menuntut imbalan karena kau adalah pewaris sah Shigeru?" dia berkata, kesal. "Jika aku lari, mereka akan membunuhku," balasku. "Mereka yakin kalau mereka memiliki hak itu, dan karena aku telah membuat penawaran, berarti aku juga mempercayainya. Kini hidupku menjadi milik mereka." "Kau membuat kesepakatan dalam keadaan yang terpaksa," katanya. "Tak ada kewajiban bagimu untuk menepatinya. Kau adalah Otori, Takeo. Kurasa kau tak sadar betapa terkenalnya kau kini, betapa besar arti namamu." "Akulah yang membunuhnya," kataku, dan karena malu, air mataku mengalir lagi. "Aku tidak bisa memaafkan diriku. Aku tak mampu menyandang namanya. Dia mati ditanganku." "Kau memberinya kematian yang terhormat," kata Makoto berbisik. "Kau telah memenuhi semua kewajiban seorang anak kepada ayahnya. Itu sebabnya orang-orang sangat mengagumi dan memujamu. Dan juga karena kau telah membunuh Iida. Kini kau sudah menjadi legenda." "Belum semua kewajiban kupenuhi," balasku. "Kedua pamannya, yang merencanakan semua ini bersama Iida, lolos dari hukuman. Dan permintaan Lord Shigeru untuk menjaga Lady Shirakawa, yang menderita atas kesalahan yang tidak dia lakukan, tidak bisa kupenuhi." "Itu bukanlah suatu beban yang besar," katanya sambil menatapku ironis, dan aku merasa darah menjalar di wajahku. "Aku melihat tangan kalian saling bersentuhan," katanya, dan setelah diam, dia melanjutkan "Aku memperhatikan." "Ingin rasanya kupenuhi harapan Shigeru, tapi aku merasa tidak pantas. Dan, aku terikat oleh janjiku pada Tribe." "Janji bisa dilanggar, jika kau mau." Makoto mungkin benar. Namun Tribe tidak akan membiarkan aku hidup. Selain itu, aku tidak bisa menyembunyikan satu hal dari diriku: sesuatu dalam diri ini menyeretku ke mereka. Aku selalu teringat bagaimana Kikuta memahami sifatku. Aku tahu sisi terdalam diriku. Ingin kuungkapkan isi hatiku, tapi itu berarti aku harus menceritakan semuanya, sedangkan aku tak boleh mengatakan kalau aku lahir dalam kaum Hidden pada biarawan yang menjadi pengikut Sang Pencerah. Aku telah melanggar semua ajarannya. Aku sudah banyak membunuh. Taman begitu hening sehingga obrolan kami bisa terganggu hanya oleh percikan air akibat gerakan ikan. Makoto memelukku. "Apa pun keputusanmu, kau harus membuang semua dukamu," katanya. "Kau telah melakukan yang terbaik. Lord Shigeru pasti bangga padamu. Ini saatnya kau harus memaafkan dan bangga pada dirimu!" Perkataan serta sentuhannya membuat air mataku berlinang. Dalam rangkulannya, aku merasa hidup kembali. Dia telah menarikku dari jurang dan membuatku ingin hidup lagi. Sejak itu, aku bisa tidur nyenyak tanpa bermimpi buruk lagi. Arai datang hanya diiringi beberapa pengawal dan lebih dari dua puluh orang. Sebagian besar pasukannya dia tinggalkan untuk menjaga keamanan di Timur. Dia bermaksud melanjutkan perjalanan dan menentukan perbatasan sebelum musim dingin tiba. Arai bukan orang yang sabar; saat ini dia sangat bersemangat. Dia lebih muda dari Lord Shigeru, sekitar dua puluh enam tahun, dan dia sedang berada pada masa puncak sebagai seorang laki-laki, laki-laki besar yang pemarah dan berkemauan baja. Dia tidak menyembunyikan keinginannya untuk menjadikanku sebagai sekutunya untuk melawan klan Otori yang dipimpin oleh kedua paman Lord Shi-geru. Dia bahkan telah memutuskan untuk menikahkan aku dengan Kaede. Kaede datang bersamanya, karena adat-istiadat memaksa dia untuk berziarah ke makam Shigeru. Arai mengharuskan aku dan Kaede tetap di biara saat dia menyusun rencana pernikahan kami. Shizuka yang selalu menemani Kaede sempat berbicara denganku secara pribadi. "Aku tahu kita akan bertemu di sini," katanya. "Kikuta marah sekali, namun pamanku memintanya untuk memberimu waktu. Dan waktumu kini sudah habis." "Aku akan segera menemui mereka," balasku. "Mereka akan menjemputmu malam ini." "Lady Shirakawa tahu?" "Aku telah mengatakan padanya dan aku juga telah mengingatkan Arai," suara Shizuka terdengar berat karena frustasi. Arai memiliki rencana yang berbeda. "Kaulah pewaris Shigeru yang sah," katanya, saat aku dan dia duduk di ruang tamu biara setelah dia menyambangi makam Shigeru. "Tepat sekali bila kau menikahi Lady Shirakawa. Kita amankan Maruyama untuknya, lalu kita alihkan perhatian pada Otori saat musim semi. Aku perlu sekutu di Hagi." Dia mengamati wajahku. "Aku tidak keberatan mengatakan bahwa reputasimu yang membuatku ingin bersekutu denganmu." "Lord Arai sungguh dermawan," balasku. "Tapi, ada pertimbangan lain yang membuatku tidak mampu memenuhi keinginanmu itu." "Jangan bodoh," katanya singkat. "Aku yakin sekali keinginanku dan keinginanmu sama." Kepalaku kosong: Pikiranku melayang seperti burung dalam lukisan Sesshu. Aku tahu Shizuka mendengar dari luar. Arai adalah sekutu Shigeru; dia telah melindungi Kaede; dan kini dia berhasil menaklukkan sebagian besar Tiga Wilayah. Jika aku berhutang kesetiaan pada seseorang, maka orang itu adalah Arai. Sulit rasanya menghilang tanpa memberinya penjelasan. "Semua yang aku lakukan berkat bantuan Tribe," kataku pelan. Wajahnya merona, tapi dia diam. "Aku telah berjanji pada mereka untuk meninggalkan nama Otori dan pergi bersama mereka." "Memangnya siapa Tribe itu?" Dia meledak. "Ke mana pun aku berpaling, aku selalu berlari ke arah mereka. Mereka seperti tikus-tikus di lumbung padi. Bahkan mereka begitu dekat...!" "Kami tak akan mampu mengalahkan Iida tanpa bantuan mereka," kataku. Dia menggelengkan kepala dan menarik napas. "Aku tak ingin mendengar omong kosong ini lagi. Kau diangkat anak oleh Shigeru, kau adalah Otori, kau harus menikahi Lady Shirakawa. Ini perintah." "Lord Arai." Aku menyembah, sadar kalau aku tak bisa memenuhi permintaannya. Kaede langsung ke rumah tamu khusus untuk wanita setelah menyambangi makam sehingga aku tidak sempat berbicara dengannya. Sebenarnya ingin sekali aku bertemu dengannya, tapi aku takut. Aku takut akan menyakitinya dan, lebih buruk lagi, aku tak sanggup menyakitinya. Malam itu, karena tidak bisa tidur, aku keluar dan duduk di taman. Aku ingin menyendiri. Aku akan ikut dengan Kikuta saat dia datang malam ini, tapi aku tak sanggup menyingkirkan kenanganku bersama Kaede, melihat dia di sisi mayat Iida, perasaan saat kami saling bersentuhan, dan kondisinya yang rapuh. Membayangkan kalau aku tak akan dapat merasakan perasaan seperti itu sangatlah menyakitkan, membuatku sulit bernapas. Aku tersadar dari lamunan saat mendengar ada langkah kaki. Shizuka menyentuh bahuku dan berbisik, "Lady Shirakawa ingin bertemu." "Aku tak mau," balasku. "Mereka akan datang sebelum fajar," kata Shizuka. "Aku telah mengatakan pada Kaede bahwa Tribe tak akan menarik pengakuan mereka padamu. Bahkan, karena ketidakpatuhan-mu di Inuyama, ketua sudah memutuskan jika kau menolak ikut bersama mereka malam ini, kau akan mati. Kaede hanya ingin mengucapkan salam perpisahan." Aku mengikutinya. Kaede sedang duduk di ujung beranda, tubuhnya bersinar remang-remang dilatarbelakangi cahaya bulan. Aku dapat mengenali siluetnya di mana pun juga, bentuk kepala, bahu, cara bergeraknya saat dia melirik kepadaku. Sinar rembulan berkilauan di matanya, membuat sepasang matanya terlihat seperti kolam air di pegunungan saat salju melapisi seluruh dataran, dan dunia hanyalah putih dan abu-abu. Aku berlutut di depannya. Dari kayu yang berwarna keperakan tercium bau hutan dan kuil, getah dan dupa. "Shizuka mengatakan kau akan pergi, dan tak mau menikahiku." Dia berkata dengan suara yang rendah dan bingung. "Tribe tidak mengijinkan aku melakukan itu. Aku tidak-tidak akan bisa- menjadi ketua klan Otori." "Tapi, Arai akan melindungimu. Tidak ada yang bisa menghalangi kita." "Aku telah membuat kesepakatan dengan ketua dalam keluargaku," kataku. "Kini hidupku menjadi milik mereka." Aku teringat pada ayahku yang berusaha lari dari takdir darahnya sehingga mati terbunuh. Aku tidak memikirkan kesedihanku bisa lebih dalam lagi, tapi pikiran itu menyeretku ke suatu tingkat kesedihan baru. Kaede berkata, "Selama delapan tahun menjadi tawanan, aku tidak pernah memohon sesuatu pada seseorang. Ketika Iida Sadamu menyuruhku bunuh diri: aku tidak membantah. Saat dia hendak membunuhku: aku tidak meminta belas kasihannya. Tapi kini aku memohon padamu: jangan tinggalkan aku. Kumohon kau nikahi aku. Aku berjanji tak akan pernah lagi meminta apa pun pada siapa pun juga." Dia menyembah di hadapanku, kimono dan rambutnya menyentuh lantai dengan satu desisan lembut. Dapat kucium harum rambutnya. Rambutnya begitu dekat hingga mampu membelai tanganku. "Aku takut," bisiknya. "Aku hanya aman bila bersamamu." Kejadian ini lebih menyakitkan dari yang pernah kubayangkan. Dan yang lebih buruk lagi, aku tahu bila kami bersamanya, maka semua rasa sakit kami akan sirna. "Tribe akan membunuhku," kataku. "Ada yang lebih buruk dari mati! Bila mereka membunuhmu, aku akan bunuh diri dan ikut bersamamu." Dia meraih tanganku dan mencondongkan tubuhnya ke arahku. Matanya berkaca-kaca, tangannya kering dan panas, tulangnya serapuh tulang burung. Darahku mengalir cepat. "Jika tidak bisa hidup bersama, maka kita bila mati bersama." Suaranya bersemangat. Udara malam terasa membeku. Dalam lagu dan kisah cinta, banyak diceritakan tentang sepasang kekasih yang mati bersama demi cinta. Aku teringat kata-kata Kenji pada Shigeru: Kau jatuh cinta pada kematian, seperti yang biasa dilakukan oleh orang dari kalanganmu. Kaede berasal dari klas dan latar belakang yang sama dengan Lord Shigeru, berbeda denganku. Aku belum mau mati. Umurku belum delapan belas tahun. Diamku sudah menjadi jawaban baginya. Dia menatapku. "Aku tak akan mencintai orang lain selain dirimu," katanya. Kami belum pernah saling memandang secara langsung, biasanya kami hanya mencuri pandang. Kini kami hanya berdua, dan kami bisa melihat ke dalam mata masing-masing tanpa rasa sungkan atau malu. Aku bisa merasakan rasa sakit dan rasa putus asanya. Ingin kulepas penderitaannya, namun aku tak kuasa memenuhi permintaannya. Selain bimbang, aku pun merasakan sesuatu kekuatan mengalir saat aku menggenggam erat kedua tangannya dan menatap matanya dalam-dalam. Pandanganku seakan membuat dia tenggelam. Dia menarik napas dan matanya menutup. Kaede terhuyung-huyung. Shizuka langsung melompat dari tempat gelap dan menangkap tubuhnya saat dia terjatuh. Kami membaringkan Kaede di lantai dengan hati-hati. Kaede tertidur pulas, sama seperti ketika Kikuta menatapku. Aku menggigil, tiba-tiba aku kedinginan. "Tidak pantas kau lakukan itu padanya," bisik Shizuka. Shizuka benar. "Aku tak berniat melakukan itu," kataku. "Belum pernah aku melakukan hal seperti itu pada orang. Hanya pada anjing." Dia menepuk lenganku. "Pergilah dengan Kikuta. Belajarlah mengendalikan kemampuanmu. Mungkin kau akan tumbuh dewasa di sana." "Apakah dia akan baik-baik saja?" "Aku belum tahu kemampuan Kikuta yang satu ini," kata Shizuka. "Aku pernah tertidur sehari semalam." "Siapa pun yang membuatmu tertidur, setidaknya dia tahu apa yang dia lakukan," balas Shizuka. Di kejauhan, di kaki gunung, aku mendengar ada orang berjalan mendekat: dua orang sedang berjalan perlahan, tapi tidak cukup perlahan bagiku. "Mereka datang," kataku. Shizuka mengangkat Kaede. "Selamat jalan, sepupu," ujarnya, masih ada kemarahan dalam suaranya. "Shizuka," aku memanggil ketika dia berjalan ke kamar. Dia berhenti sejenak, tanpa menoleh. "Kudaku, Raku-maukah kau usahakan agar Lady Shirakawa membawanya?" Hanya itu yang dapat kuberikan pada Kaede. Shizuka mengangguk, kemudian berjalan ke tempat gelap, hilang dari pandanganku. Aku mendengar pintu digeser, langkahnya di alas lantai, bunyi lantai saat dia membaringkan Kaede. Aku kembali ke kamar dan mengumpulkan semua barang-barangku. Tidak ada barang yang berarti: hanya surat dari Shigeru, belati, dan Jato. Lalu aku berjalan ke biara, ke tempat Makoto bermeditasi. Aku menyentuh bahunya, dia bangkit dan berjalan keluar bersamaku. "Aku akan pergi," bisikku. "Jangan memberitahukan pada siapa pun sebelum fajar tiba." "Kau bisa tinggal di sini." "Mustahil." "Kalau begitu, datanglah kapan pun kau mau. Kau bisa bersembunyi di sini. Ada banyak tempat rahasia di gunung ini. Tak akan ada yang bisa menemukanmu." "Mungkin kelak aku akan membutuhkannya," kataku. "Aku ingin kau menjaga pedang ini untukku." Dia mengambil Jato. "Kini aku tahu kau akan kembali." Dia mengulurkan tangan dan menyentuh bahuku. Kepalaku ringan karena kurang tidur, sedih dan gairah. Ingin rasanya aku berbaring di pelukan seseorang, tapi langkah kaki yang sedang melintasi batu kerikil semakin dekat. "Siapa di sana?" Makoto berbalik, pedang siaga di tangannya. "Perlukah kubangunkan penghuni biara?" "Jangan! Mereka datang menjemputku. Lord Arai tidak boleh tahu." Mereka, mantan guruku Muto Kenji dan ketua Kikuta, menungguku di bawah cahaya rembulan. Mereka memakai pakaian perjalanan, tidak menonjol, bahkan terlihat miskin. Mereka lebih mirip dua bersaudara dari kalangan orang terpelajar atau golongan pedagang yang kurang berhasil. Mereka berdiri dengan waspada, otot mereka menunjukkan kekuatan fisik yang luar biasa, telinga dan mata yang tidak luput dari apa pun juga, kecerdasan yang membuat bangsawan seperti Iida dan Arai kikuk. Aku menyembah di hadapan ketua Kikuta hingga menyentuh debu tanah. "Berdirilah, Takeo," kata Kikuta dan, dengan mengejutkan, mereka merangkulku. Makoto menggenggam erat tanganku. "Selamat jalan. Aku tahu kita akan bertemu lagi. Hidup kita terikat bersama." "Tunjukkan makam Lord Shigeru," kata Kikuta dengan lembut. Jika bukan karena ulahmu, dia tak akan dikubur, pikirku tanpa pernah mengucapkannya. Malam yang tenang membuatku bisa menerima kalau takdir menentukan Lord Shigeru harus mati, sama seperti takdirnya bahwa kini dia telah menjadi dewa dan pahlawan bagi banyak orang. Akan banyak orang yang datang berziarah untuk mendoakannya, untuk memohon bantuan darinya, selama ratusan tahun ke depan-selama Terayama berdiri, mungkin untuk selamanya. Kami membungkuk hormat di depan batu nisan yang baru saja diukir. Apa yang ada di hati Kenji dan Kikuta? Aku memohon ampunan Shigeru, dan berterima kasih karena telah menyelamatkanku di Mino, serta mengucapkan salam perpisahan. Aku seperti mendengar suaranya dan melihat senyumnya yang tulus. Ranting dan dedaunan pohon cedar bergoyang diterpa angin, dan serangga malam terus menjaga irama nyanyiannya. Semua akan tetap seperti ini, musim panas demi musim panas, musim dingin demi musim dingin, bulan menghilang di barat, memberi kesempatan kepada bintang untuk menampakkan diri, dan tak lama kemudian bintang akan pasrah digantikan oleh terangnya sinar mentari. Matahari akan melewati puncak gunung, mendorong bayang-bayang pohon cedar, lalu menghilang lagi di balik bukit. Itulah dunia, dan manusia hidup di antara semua itu, antara gelap dan terang.*** Catatan kaki: * Garrote : Seutas kawat dengan gagang kayu di kedua ujungnya sebagai pegangan oleh pelaku eksekusi. * Bailey : Tempat yang dilindungi dinding kastil dan beberapa menara. Bailey digunakan untuk menanam buah-buahan, memelihara ternak dan juga tempat berlindung di saat ada bahaya. * Festival of the Dead (atau dalam bahasa Jepang: Obon) dirayakan antara tanggal 13 sampai 15 Agustus. Masyarakat Jepang percaya bahwa pada tanggal tersebut roh para leluhur datang ke bumi untuk mengunjungi keluarganya. Keluarga berziarah ke makam untuk mendoakan serta menyediakan makanan bagi roh keluarganya. * Star festival (atau Tanabata dalam bahasa Jepang) dirayakan setiap tanggal 7 Juli. Menurut legenda, pada malam itu bintang Altair dan Vega (yang dianggap mewakili sepasang kekasih) akan bertemu atas seijin dewa. * Parapet adalah dinding rendah yang berguna untuk melindungi dari bahaya apabila jatuh, seperti dinding di pinggiran balkon, atap, atau jembatan. * Go adalah permainan yang dimainkan oleh 2 orang yang saling memperebutkan wilayah permainan. Satu pemain menggunakan biji permainan hitam dan satunya lagi menggunakan biji putih untuk menandai wilayah masing-masing. Pemenangnya adalah pemain yang berhasil menguasai lebih banyak wilayah di akhir permainan. * Waktu Monyet : Berkisar antara jam 15.00 s/d jam 17.00. * Waktu Ayam Jago : Berkisar antara jam 17.00 s/d jam 19.00. * Waktu Anjing : Berkisar antara jam 19.00 s/d jam 21.00. * Waktu Tikus : Berkisar antara jam 23.00 s/d jam 01.00. * Waktu Kerbau : Berkisar antara jam 01.00 s/d jam 03.00. TAMAT Baca lanjutannya dalam buku: Kisah Klan Otori 2 Grass for His Pillow Edit ulang oleh : zheraf http://www.zheraf.net Sumber Pdf: syauqy_arr@yahoo.co.id